KOLOM JUM’AT XXXVI
Jum’at, 8 April 2022
Tiada terasa, kita telah berjumpa kembali dan bertegur sapa dengan bulan Ramadhan. Bulan yang penuh keberkahan, bulan penuh ampunan, dan bulan yang berlimpah ganjaran. Waktu telah berjalan begitu cepat. Ramadhan tahun lalu barangkali kita masih bersama saudara atau teman kita. Tetapi mereka kini telah meninggalkan kita. Bahkan mungkin salah satu diantara mereka adalah orang terdekat kita. Jika mengingat hal itu, kita harus bersyukur dan merasa sangat beruntung dibanding mereka, karena kita masih diberikan kesempatan oleh-Nya untuk bisa merasakan kembali manisnya berpuasa, serta ibadah lainnya. Itu adalah nikmat luar biasa yang musti kita syukuri.
Jika kita tengok ke belakang, kita akan mendapati bagaimana baginda Nabi SAW jatuh bangun dalam menunaikan amal ibadah juga kebaikan ketika datang bulan suci. Peningkatan ibadah ini bisa kita fahami bahwa rasa syukur Nabi sangat luar biasa saat bisa berjumpa dengan bulan istimewa ini. Keistimewaan ini membuat amal-amal yang ditunaikan di Ramadhan ini akan jauh berkali-kali lipat pahalanya jika dibanding dengan bulan lainnya.
Dalam buah karyanya yang berjudul Lathoiful Ma’arif, Al-Hafiz Ibnu Rojab Al-Hanbali menjelaskan tentang beberapa sebab dilipat gandakanya sebuah amal. Salah satunya adalah karena berhubungan dengan tempat atau waktu. Seseorang yang menunaikan shalat di Masjidil Haram, tentu pahalanya akan berbeda dengan yang menunaikan shalat di tempat lainnya. Karena Masjidil Haram dikatakan lebih mulia jika dibanding dengan tempat-tempat lain yang ada di muka bumi.
Sedangkan yang berhubungan dengan waktu, Al-Hafiz Ibnu Rojab mencontohkan bulan suci Ramadhan. Karena di bulan ini, Alquran diturunkan, dan dalam bulan ini pula, Lailatul Qodar ditempatkan. Dari sinilah kita tahu bahwa kemuliaan bulan inilah yang membuat pahala amal-amal dilipat gandakan bagi siapapun yang melakukannya. Maka tak heran, kalau Nabi dan para Ulama pewarisnya begitu total dalam menjalankan ibadah dan kebaikan.
Jujur saja, setelah cukup lama di Mesir, saya melihat perlombaan amal dan kebaikan yang sangat nyata saya dapati di sini. Seakan kekentalan nilai-nilai Ramadhan itu membaur bersama penduduk pribumi. Orang-orang Mesir -khususnya ketika bulan suci seperti ini- sangat gila-gilaan dalam berbuat kebaikan, baik yang sifatnya personal maupun sosial.
Misalnya, ketika menunaikan shalat tarawih. Saya melihat, jama’ah shalat tarawih di Mesir sangat berbeda dengan di Indonesia. Shalat tarawih di Indonesia, terutama di daerah Jawa Tengah tempat saya tinggal, terkesan siapa yang shalatnya lebih cepat itulah yang laku. Hal itu berbeda dengan di Mesir. Saya bisa pastikan, tidak ada jama’ah shalat yang terlihat terburu-buru dalam pelaksanaannya. Mereka dengan sangat tenang menikmati setiap gerakan shalatnya. Menikmati setiap ayat Qur’an yang dibaca. Bahkan sangat jarang ada masjid yang bacaan shalatnya berupa surat-surat pendek. Shalat tarawih yang sampai berjam-jam menjadi sangat biasa di sini. Bacaan Qur’annya tartil, beralun merdu, tak jarang dengan beragam qiro’ah di setiap malamnya, seperti yang ada di Masjid Al-Azhar. Thuma’ninahnya terpenuhi, gerakannya pelan penuh penjiwaan. Dan yang sangat penting, jama’ahnya tidak pernah ada yang menggerutu ketika shalatnya agak lama, apalagi trauma untuk shalat tarawih di tempat yang sama dengan durasi seperti itu. Mereka melakukan shalat benar-benar sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhannya. Sehingga mereka melakukannya dengan penuh ketenangan dan keikhlasan.
Selain tarawihnya, yang tak kalah menakjubkan adalah kecintaan warga Mesir terhadap Alquran. Di hari-hari biasa selain Ramadhan mereka sangat gemar membaca Alquran di mana-mana, apalagi ketika tiba bulan Ramadhan. Di jalan-jalan, di tempat-tempat umum, bahkan di dalam transportasi umum, cukup banyak kita saksikan orang dengan mushaf di genggamannya. Baik dari kalangan pekerja kantoran, tentara, atau bahkan ibu-ibu yang sambil menunggui anak-anaknya. Mereka seakan larut dengan lantunannya itu. Tidak ada rasa sungkan atau malu lantaran khawatir dibilang sok suci.
Berbicara tentang penduduk Mesir yang sangat mencintai Alquran -lebih-lebih di bulan Ramadhan-, saya teringat kisah-kisah Ulama kita yang mampu khatam Alquran berkali-kali dalam bulan Ramadhan. Seperti Imam Abu Hanifah yang khatam 61 kali selama bulan Ramadhan. Atau Imam Asy-Syafi’I yang khatam 60 kali. Bahkan dalam kitab Al-Adzkar, Imam Nawawi menyebutkan bahwa Ibnu Khatib mampu mengkhatamkan Alquran delapan kali dalam sehari di bulan Ramadhan. Itu artinya, dalam sebulan beliau bisa khatam 240 kali! Mungkinkah khataman sebanyak itu dilakukan dengan bacaan bertajwid? Saya jawab sangat mungkin! Tergantung siapa yang membaca. Ini pernah dibuktikan oleh Syekh Asran Jabir. Beliau mampu membaca satu juz dalam tujuh menit disertai dengan kefashihan lisan dan kaidah tajwid yang benar.
Dalam masalah kebaikan sosial, mereka juga sangat luar biasa. Setiap orang yang pernah tinggal di bumi Kinanah ini pasti bisa menyaksikannya dengan jelas. Mereka memiliki satu tradisi yang sangat populer di Mesir ketika datang bulan Ramadhan, yaitu “Maidatur Rahman”. Atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai “Hidangan Tuhan”. Masyarakat berlomba-lomba untuk bersedekah sebanyak-banyaknya pada bulan suci ini. Di sepanjang jalan raya, kita akan mendapati berjajar meja-meja dan kursi-kursi. Jarak antar satu tempat dengan yang lain tidaklah berjauhan. Hampir setiap kilo pasti ditemukan hidangan yang disediakan untuk umum. Bahkan terkadang baru 100 meter, bahkan ada yang 50 meter telah terdapat hidangan yang berjajar. Semua itu disediakan untuk umum. Siapapun boleh mampir makan gratis, dengan menu yang kadang lebih mewah dari restoran. Ada nasi, roti, kuah, buah, minuman, kurma, dll. Bahkan tak jarang di dalamnya diselipkan uang 200 ribuan.
Tidak hanya itu, di beberapa kawasan bahkan mereka minta izin masuk ke dalam bus yang sedang melintas. Di dalam bus, mereka membagikan minuman serta paketan makanan kepada seluruh penumpang tanpa terkecuali. Belum lagi di daerah Darrosah yang notabene daerah pemukiman pelajar Indonesia. Dulu, setiap sore saya selalu muter dan berkeliling kawasan ini. Jika bolik-balik bisa mendapatkan tiga sampai lima paketan makanan. Biasanya, makanan itu dimakan untuk berbuka, dan sebagian akan disisihkan untuk malam, jika lapar, dan terakhir untuk sahur. Pada musim Ramadhan tiba, kita hampir tidak pernah masak. Bahkan sekarang, saya lihat banyak orang Mesir yang menitipkan uangnya ke restoran Indonesia untuk dibuatkan makanan Indonesia dan menyedekahkannya secara khusus kepada mahasiswa Indonesia.
Selain berupa makanan, mereka juga tak jarang membagi-bagikan uang di jalan untuk mahasiswa. Setiap bertemu mahasiswa, mereka akan mengulurkan uang. Istri saya pernah bercerita. Dulu sewaktu jalan sendiri, tiba-tiba ada mobil berhenti dan bertanya “Enti Tholibah?”, “Aiwah, Ana Tholibah Azhar”. Tetiba orang itu mengulurkan tangan dengan menyerahkan uang 400 ribuan. Hal itu tidak sekali dua kali terjadi. Tetapi telah menjadi adat kebiasaan masyarakat di Mesir.
Itulah beberapa nuansa Ramadhan yang saya lihat di Mesir. Bulan Ramadhan tentunya bukanlah bulan yang hanya untuk formalitas puasa saja. Di bulan ini tersimpan segudang keajaiban dan tawaran pahala dan ampunan luar biasa dari Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka sungguh sangat merugi, bagi seseorang yang mendapati bulan ini, sedang dosanya masih berbuih-buih.
Nabi SAW bersabda :
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ….
“Celakalah seseorang, ketika bulan Ramadhan menemuinya, kemudian keluar sebelum ia mendapatkan ampunan,,,” (HR. Tirmidzi). Wallahu A’lam Bisshawab.
Oleh: Muhammad Kamal Abdillah, Mahasiswa Al Azhar, Cairo & Alumni Mansajul Ulum, 2018.