KOLOM JUM’AT LXXXI
Jum’at, 18 Agustus 2023
Islam di Nusantara identik dengan keramahan dan kesantunanya. Salah satu tradisi yang sudah melekat di masyarakat adalah berdiri menyambut kedatangan orang yang mulia. Mereka berdiri bukan bermaksud untuk mengkultuskan atau ingin menghinakan diri, tapi hanya sebatas menghormati.
Lantas bagaimanakah hukumnya berdiri menyambut orang yang mulia? Sebagian kelompok memang berpendapat itu hukumnya haram. Ini didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah:
من احب ان يتمثل له الناس قياما فليتبوا مقعده من النار
“Barangsiapa suka dihormati manusia dengan perhormatan dalam bentuk berdiri, maka hendaklah dia bersiap sedia dengan tempat duduknya di neraka.” (Hadis shahih, riwayat Imam Ahmad).
Sayangnya, mereka salah dalam memahami kandungan hadis di atas. Hadis di atas menunjukkan larangan terhadap orang yang merasa senang dihormati orang lain atau merasa bangga dihormati dengan cara berdiri, bukan untuk orang yang ingin melakukan atau memberikan penghormatan terhadap orang yang memiliki kemuliaan. Diterangkan oleh KH. Ahmad Sya’roni Ahmadi Kudus dalam karyanya “Al-Faraid As-Saniyah”:
ويسن القيام لأهل الفضل إكراما لهم لا رياء وتفخيما
“Disunnahkan berdiri untuk menghormati orang yang mulia, bukan karena sombong dan bangga.”
Dijelaskan juga dalam kitab tersebut bahwa pada suatu hari Rasulullah hadir dalam sebuah majlis yang sudah dipenuhi dengan para sahabat. Mereka menunggu kehadiran Rasulullah sambil berdiri. Lalu Baginda Nabi berkata: “Duduklah, kamu semua.” Namun Hasan ibnu Sabit masih tidak mau duduk, tetapi ia tetap berdiri dengan mengumandangkan sebuah syair :
قيامي للعزيز علي فرض # وترك الفرض ما هو مستقيم
عجبت لمن له عقل وفهم # يرى هذا الجمال ولا يقوم
“Berdiriku karena menghormati Nabi yang mulia adalah kewajiban # Meninggalkan kewajiban itu tidak benar. Aku heran pada orang cerdik pandai # Melihat keelokan ini (Nabi) tapi enggan berdiri”
Adanya riwayat di atas menunjukkan bahwa Nabi tidak memerintahkan para Sahabat untuk memberikan penghormatan kepadanya. Tetapi kita sebagai umatnya sudah seyogyanya memberikan penghormatan kepada Baginda Nabi. Begitu juga kepada orang-orang yang mulia seperti Ulama’, Kyai, Habaib, dan para Guru kita. Yang demikian ini bisa dikategorikan sebagai salah satu kebaikan yang dianjurkan.
Ajaran kebaikan lain yang diperbolehkan dan diakui oleh para ulama adalah berdiri saat ada penyebutan kelahiran Rasulullah Saw. Hal itu sebagaimana yang tercatat dalam kitab Al-Maulid Al-Barzanji:
هذا وقد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رواية وروية
Mengapa berdiri saat penyebutan kelahiran Rasulullah dikategorikan sebagai hal baik (Istihsan)? Karena hal itu sebagai bentuk memuliakan kedatangan Rasulullah ke alam dunia ini. Oleh karena itu disebutkan oleh Al-Barzanji setelah hal itu dengan kalimat:
فطوبى لمن كان تعظيمه صلى الله عليه وسلم غاية مرامه ومرماه
Berdiri menyambut orang mulia juga diisyaratkan oleh contoh dalam ilmu nahwu. Seperti apa yang terdapat kitab al-Ajurumiyyah saat mencontohkan maf’ul min Ajlih atau li Ajlih: قام زيد إجلالا لعمرو
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tradisi penghormatan kepada orang yang mulia dengan cara berdiri telah dilakukan oleh masyarakat sejak lama. Hal tersebut juga tidak dianulir oleh para ulama. Karena itu bagian dari ungkapan rasa cinta masyarakat kepada kebaikan yang itu merupakan ajaran yang diperintahkan oleh agama.
Meski demikian, penghormatan kepada sesama manusia, tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Karena penghormatan secara berlebihan dapat mengakibatkan sikap pengkultusan yang dilarang oleh agama. Karena pengkultusan kepada seseorang maupun benda mati bisa mengakibatkan kesyirikan yang dilarang oleh agama. Di sinilah pentingnya kita memahami batas antara larangan agama dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tradisi dan agama tidak perlu saling bertabrakan maupun ditabrakkan. Keduanya bisa diselaraskan dengan indah.
Kunci penyelarasan itu adalah pengenalan pada nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam keduanya. Praktek tradisi dan budaya memiliki nilai dan makna filosofis. Ajaran agama juga memiliki nilai dan tujuannya yang sering disebut dengan maqashid syari’ah (tujuan syari’at). Karena itu menggunakan ajaran agama tidak bisa hanya melakukannya secara harfiah tanpa mengenali tujuan. Sikap beragama yang demikian dapat melahirkan sikap fanatisme agama dan cenderung memusuhi tradisi dan budaya. Keduanya perlu difahami secara filosofis agar dapat melahirkan sikap saling menghormati. Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Mohammad Zaenal Anwar, salah satu muhibbun Mansajul Ulum.