KOLOM JUM’AT CXIX
Jum’at, 14 Maret 2025
Semakin derasnya arus teknologi dan informasi, masyarakat semakin dihadapkan dengan berbagai problem yang mengusik berbagai aspek kehidupan manusia. Berkembangnya teknologi seakan menjadi paradoks bagi penggunanya. Yang mulanya dirancang untuk memudahkan kehidupan manusia, justru menjadi sumber permasalahan bagi keberlangsungan umat manusia.
Dengan masifnya media sosial serta aplikasi-aplikasi hiburan, tanpa kita sadari sangat berdampak pada kemampuan berpikir kita. Hiburan tidak bermanfaat dan informasi-informasi singkat yang kita konsumsi sehari-hari dapat menyebabkan otak kita malas untuk berpikir secara mendalam, kritis dan komprehensif. Fenomena inilah yang saat ini kita kenal dengan istilah “Brain Rot”.
Mengenal Brain Rot
Brain rot sendiri memiliki arti “pembusukan otak”. Kondisi di mana seseorang mengalami kemerosotan mental dan intelektual akibat mengonsumsi konten-konten receh, remeh dan tidak bermanfaat secara berlebihan. Tahun 2024, Oxford University Press menobatkan frasa brain rot sebagai kata terpilih tahun 2024 (word of the year). Brain rot menjadi kata yang paling banyak dipilih responden sekaligus mengalahkan 5 finalis frasa lainnya, yaitu demure (sopan), slop (konten berkualitas rendah), dynamic pricing (penetapan harga yang fleksibel), romantasy (kombinasi antara romantis dan fantasi) dan lore (cerita atau latar belakang dari sesuatu).[1]
Walaupun dinobatkan sebagai word of the year 2024, frasa brain rot sebenarnya pertama kali muncul pada tahun 1854 dalam buku “Walde” karya Hanry David Thoreau yang menceritakan kisah hidupnya yang sederhana di alam. Thoreau menggunakan istilah brain rot untuk menggambarkan kondisi masyarakat pada zaman tersebut yang cenderung menganggap remeh hal-hal yang bersifat kompleks. Inilah yang dikritisi Thoreau dalam bukunya sebagai degradasi mental dan intelektual masyarakat.
Barulah setelah 170 tahun, istilah brain rot kembali muncul di permukaan menggunakan konteks yang berbeda dari pertama kali kemunculannya. Dalam konteks digital, brain rot diistilahkan sebagai kondisi kemerosotan nilai intelektual seseorang disebabkan berbagai konten dan informasi singkat, remeh dan instan. Yang pada gilirannya menyebabkan seseorang tak mampu memahami permasalahan-permasalahan rumit dalam hidupnya.
Faktor Munculnya Brain Rot
Sebagai problem digital yang kompleks, brain rot tentu memiliki berbagai faktor yang saling berkaitan. Di antaranya adalah terlalu banyak menerima informasi (information overload). Aplikasi-aplikasi hiburan seperti TikTok, Instagram dan Youtube Short seringkali menyuguhkan kita berbagai informasi secara singkat dan sederhana. Alih-alih memahami suatu informasi secara mendalam, kita justru hanya berpaling dari satu topik ke topik lain tanpa paham maksud dari topik tersebut. Akibatnya, otak kita hanya mampu mencerna suatu informasi secara instan dan dangkal. Lebih buruknya jika efek tersebut berdampak pada kehidupan manusia sehari-hari. Mereka sulit dalam memecahkan masalah kehidupannya yang membutuhkan pemahaman secara kompleks dan mendalam.
Nicholas Carr dalam bukunya The Swallows: What the Internet is Doing to Our Brains, juga menjelaskan bahwa internet atau sosial media dapat berpengaruh terhadap pola pikir otak kita. Kemudahan mengakses berbagai informasi baik yang berfaedah maupun unfaedah menyebabkan otak kita hanya memahami sesuatu di permukaan.
Selain itu, program algoritma aplikasi juga ikut mendukung isu kebusukan otak ini. Desain aplikasi-aplikasi hiburan yang sering kita gunakan dapat mendorong kita untuk terus menggulirkan jari ke layar (scroll) tanpa henti. Sehingga perhatian dan fokus kita menjadi terhambat dan akhirnya menyebabkan cara berpikir kita menjadi stagnan. Terlebih jika konten yang kita lihat merupakan berita-berita negatif. Fenomena ini di kenal dengan doomscroling dan doomsurfing yang kerap kali terjadi pada masa pandemi COVID-19.[2]
Hal paling yang paling krusial dari faktor-faktor di atas adalah ketergantungan terhadap teknologi dan media sosial. Seperti halnya narkoba, penggunaan media sosial secara berlebihan juga dapat menimbulkan kecanduan bagi penggunanya. Ketergantungan ini memicu seseorang untuk mengalihkan waktu produktifnya seperti belajar, berolahraga dan bersosial hanya untuk scroll-scroll konten yang tak jelas kemanfaatannya. Ironisnya, kecanduan ini membuat seseorang ingin terus mengecek media sosial dan merasa gelisah ketika tidak membukanya walau sekali dalam sehari. Lambat laun kita menjadi kesulitan dalam memanajemen waktu akibat efek dari bahayanya kecanduan sosial media.
Dampak Penderita Brain Rot
Dampak brain rot yang paling jelas kita saksikan adalah berkurangnya kemampuan kognitif seseorang. Konsekuensinya pemahaman mereka terhadap suatu hal menjadi dangkal. Akhirnya seringkali mereka mengambil keputusan dalam hidupnya tanpa didasari pertimbangan yang matang. Kondisi demikian sering membuat seseorang mudah marah dan kecewa terhadap keputusan yang telah mereka ambil.
Dari aspek psikis, penderita brain rot lebih mudah bosan, cemas dan gelisah ketika di hadapkan suatu permasalahan yang kompleks. Mereka enggan untuk mencoba berpikir secara kritis dan mendalam memecahkan permasalahan tersebut. Lebih buruk lagi jika kondisi demikian menyebabkan penderita brain rot menjadi depresi dan berujung pada penyakit kejiwaan. Paparan media sosial yang berlebih juga berdampak pada interaksi sosial seseorang. Mereka lebih memilih berkomunikasi di jejaring sosial media daripada harus berinteraksi secara tatap muka.
Pada aspek pendidikan, brain rot juga menjadi problem besar bagi orang tua dan guru dalam mendidik anak didiknya. Karena fenomena brain rot rawan terjadi pada remaja dan anak-anak yang cenderung lebih sering menggunakan gawai dalam kehidupannya sehari-hari. Paparan brain rot dapat berdampak pada kurangnya minat belajar siswa. Mereka enggan untuk membaca, mempelajari dan memahami materi pelajarannya.
Upaya Mengatasi dan Mencegah Brain Rot
Untuk mengatasi brain rot tidak cukup hanya dengan kesadaran perseorangan. Namun juga perlu adanya kesadaran bersama akan pentingnya pola hidup seimbang antara penggunaan media sosial dan perilaku produktif sehari-hari. Akan tetapi, sebelum kita beranjak ke ranah kolektif, kita juga harus tahu dan sadar betapa bahayanya efek dari brain rot yang tanpa kita sadari dapat mengikis kemampuan kognitif kita sedikit demi sedikit. Salah satu Langkah awal yang dapat kita terapkan adalah membatasi penggunaan gawai terlebih sosial media dan aplikasi-aplikasi hiburan. Sekaligus menetapkan batasan prioritas, kapan kita harus menggunakan gawai dan kapan kita harus melepas diri dari perangkat digital.
Selain itu, kita juga perlu melakukan aktivitas-aktivitas produktif yang mampu merangsang kemampuan berpikir kita. Seperti belajar, membaca, menulis, berdiskusi dan berolahraga. Kegiatan-kegiatan tersebut terbukti dapat mengoptimalkan kembali fungsi otak dan kualitas intelektual kita dalam memahami suatu hal.
Untuk langkah bersama, kita bisa mulai dari mendorong konten-konten positif di sosial media. Salah satunya dengan ikut membagikan konten yang menyajikan informasi secara jelas, lengkap dan mendalam. Literasi digital,seminar dan dialog juga harus kita kembangkan guna memotivasi khalayak ramai terkait pentingnya menjaga pola waktu dalam penggunaan gawai.
Di samping itu, peran pemerintah juga sangatlah penting. Sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, pemerintahan dapat menetapkan aturan dan memberikan batasan-batasan penggunaan sosial media. Kita bisa mencontoh Australia. Negeri Kanguru tersebut menjadi negara pertama di dunia yang melarang anak di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial.[3] Regulasi seperti ini merupakan langkah awal pemerintah dalam meminimalisir risiko terpapar brain rot. Negara juga harus menyediakan ruang-ruang publik bagi masyarakat sebagai sarana mereka untuk saling berinteraksi. Karena rasio kemunculan gejala brain rot bermula ketika seseorang mulai kecanduan menggunakan gawai. Dan hal ini tentunya bermuara pada kurangnya interaksi sosial antarpengguna gawai.
Syariat Islam sendiri secara implisit juga mengajarkan kita akan pentingnya menjaga kewarasan otak. Melalui aspek hifd al-‘aql yang terkandung dalam dhoruriatul khoms, islam melarang kita mengonsumsi atau melakukan suatu hal yang dapat menurunkan atau bahkan menghilangkan kemampuan otak untuk berpikir.[4] Dalam konteks digital, sesuatu tersebut dapat kita artikan penggunaan media sosial yang berlebihan. Karena hal ini mendorong munculnya fenomena pembusukan otak.
Poin terakhir yang dapat kita terapkan sebagai bentuk usaha kita dalam mencegah fenomena brain rot adalah menetapkan metode deep learning dalam sistem pembelajaran sekolah. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti beberapa lalu menjelaskan gagasan terkait deep learning (pembelajaran secara mendalam) sebagai model pendekatan belajar terbaru yang rencananya akan di terapkan pada sistem pembelajaran di Indonesia.[5] Melalui pendekatan deep learning di harapkan para siswa mampu memecahkan masalah dan menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari dalam konteks sehari-hari. Serta mampu melahirkan konten-konten positif yang berkualitas di sosial media sebagai sarana untuk meng-counter konten-konten receh yang berbau negatif, sekaligus mengedukasi dan memotivasi masyarakat umum mengenai baik-buruknya perangkat digital. Wallahu a’lam.
Oleh: Vicky Oktavianto, Redaktur EM-YU.
Daftar Pustaka:
- Zakaria al-Anshori, Ghoyatul Wushul, Haromain, Cet. II
- https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/
- https://www.alodokter.com/mengenal-doomscrolling-dan-bahaya-yang-mengintai
- https://www.detik.com/sumut/berita/d-7662495/anak-di-bawah-16-tahun-di-australia-resmi-dilarang-main-medsos
- https://www.kompas.id/artikel/brain-rot-selamat-datang-di-era-pembusukan-otak
- https://www.tempo.co/politik/mendikdasmen-abdul-mu-ti-pendekatan-deep-learning-akan-diterapkan-di-kurikulum-nasional-1188242
[1] https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/
[2] https://www.alodokter.com/mengenal-doomscrolling-dan-bahaya-yang-mengintai
[3] https://www.detik.com/sumut/berita/d-7662495/anak-di-bawah-16-tahun-di-australia-resmi-dilarang-main-medsos
[4] Ghoyatul Wushul, Zakaria al-Anshori, Haromain, Cet. 2 hal 138
[5] https://www.tempo.co/politik/mendikdasmen-abdul-mu-ti-pendekatan-deep-learning-akan-diterapkan-di-kurikulum-nasional-1188242