KOLOM JUM’AT XCV
Jum’at, 5 April 2024
Seluruh syariat Islam, bangunan dan pondasinya senantiasa berlandaskan pada hikmah dan maslahah terhadap manusia, dalam menempuh kehidupan di dunia maupun untuk persiapan kehidupan di akhirat kelak. Demikian, kurang lebih kutipan dari buku Al-Fikr Al-Sāmiy, karya salah satu ulama Maroko, Syekh Muhammad Al-Hajwīy Al-Tsa’ālibiy. Sedangkan menurut Imam Ibnu Al-Qoyyim, Syariat selalu terliputi dengan keadilan, rahmat, maslahah, juga hikmah.
Dari sebuah ayat Al-Qur’an-pun kita tahu, bahwa syariat Islam yang dilahirkan untuk disebarluaskan di muka bumi ini, bukan tidak memiliki tujuan, melainkan pasti membawa rahmat dan hikmah. Karena Nabi diutus adalah sebagai rahmat sekaligus membawa rahmat bagi semesta alam.
Diwajibkannya zakat fitri atau yang biasa kita kenal dengan zakat fitrah, pun pasti memiliki banyak hikmah. Jika kita cermati lebih dalam, kewajiban ini mencakup hampir kepada seluruh umat muslim yang ada, karena syarat seseorang yang wajib mengeluarkan zakat ini, selain karena beragama Islam, merdeka, juga punya kelebihan kebutuhan untuk dirinya dan keluarganya hanya dalam sehari semalam. Itu artinya, hampir seluruh umat muslim di muka bumi ini, dan di hari dimana disunnahkan atau diwajibkannya mengeluarkan zakat ini, hampir seluruh umat muslim tampaknya telah memenuhi syarat ini, kecuali memang beberapa gelintir orang yang benar-benar tidak mampu dan terlewat dalam pembagian zakat fitri. Atau saudara-saudara kita yang sedang hidup dalam peperangan, seperti muslim Palestina. Selain penduduk itu akan masuk dalam naungan berkewajiban zakat ini.
Dengan melihat syarat-syarat yang hampir bisa dipastikan setiap muslim berkewajiban zakat fitrah ini, kita melihat betapa Islam hendak mengajarkan kepada kita umat muslim untuk ringan tangan dalam memberikan sesuatu kepada sesama. Tak peduli kita yang sudah punya banyak kelebihan, atau yang masih berkecukupan hanya untuk sehari semalam. Islam hendak mengajari kita bersyukur atas nikmat yang telah kita rasakan meskipun tampak kecil. Tak peduli juga muda ataupun telah beranjak tua, bahkan anak kecil yang mendapati beberapa waktu bulan Ramadhan dan bulan Syawal, ia wajib dikeluarkan zakatnya oleh walinya. Seakan dalam urusan memberi, anak usia dini-pun harus dilatih dan ditirakati.
Dengan melihat syarat-syarat di atas, Islam hendak mengajarkan kita akan makna kepedulian. Peduli akan nasib orang, peduli akan kekurangan orang. Di luar sana, pasti ada beberapa saudara kita yang dalam hidupnya sedang tidak seberuntung kita. Ada yang masih berjuang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Ada yang masih bergumul dengan banyaknya hutang yang harus segera dilunasi. Ada pula yang baru masuk Islam sehingga ia dikucilkan. ada yang masih diperjalanan dengan bekal ala kadarnya dan pas-pasan, dan masih banyak lagi orang-orang diluar sana yang membutuhkan uluran tangan.
Beranjak dari sinilah, Islam menuntut kita untuk peduli kepada mereka, khususnya bagi saudara-saudara kita yang benar-benar tidak mampu. Paling tidak, di hari raya yang harusnya semua umat muslim merayakan kebahagiaan, mereka-pun harus turut berbahagia dengan bantuan kita, sehingga mereka pada hari itu tidak lagi pusing untuk mencari sebiji nasi. Kebutuhannya mereka rasa telah tercukupi. Sehingga hatinya bisa lebih tenang dan damai ketika menunaikan sholat dan menikmati hari raya Idul Fitri.
Oleh karenanya, waktu yang paling utama untuk mengeluarkan zakat ini adalah mulai terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan sampai sebelum ditunaikannya sholat Idul Fitri di awal pagi Syawal. Hal tersebut semata-mata diwajibkan karena bertujuan untuk membekali para mustahiq di hari raya agar berkecukupan dan tidak sibuk mengemis untuk memenuhi kebutuhan. Demikian penjelasan yang ada dalam Ibanah al-Ahkam. Meskipun ta’jil zakat diperkenankan, hanya saja terkadang beras yang sudah diserahkan bisa saja telah lebih dulu habis sebelum waktu hari raya datang.
Selain sisi sosial, hikmah zakat ini juga meluas pada ranah kerohanian. Dalam melewati hari-hari di bulan Ramadhan, sebagai manusia biasa, pastinya akan sulit menghindari dosa atau ketersia-siaan amal. Itulah mengapa, zakat ini diwajibkan atas kita, sebagai pembersihan kesalahan-kesalahan kita yang sengaja ataupun yang tidak sengaja kita lakukan selama bulan suci Ramadhan. Pembersihan jiwa ini sangatlah penting, guna mengaktualisasi hadits Nabi SAW dari Jibril yang mengatakan rugi dan celaka, bagi siapapun yang mendapati bulan suci Ramadhan tapi dosa-dosanya belum terampuni.
شقي عبد أدرك رمضان فانسلخ منه ولم يغفر له
Selain dengan senantiasa beristighfar dan bertaubat setiap saat, salah satu cara untuk pembersihan jiwa ini juga bisa melalui zakat fitri. Syekh Hasan Sulaiman An-Nuriy dan Sayyid Alawi Abbas Al-Malikiy pernah dawuh dalam Ibanah al-Ahkam :
زكاة الفطر حسنة من الحسنات تكفر السيئات، قال تعالى إن الحسنات يذهبن السيئات
Artinya: “Zakat fitrah merupakan salah satu bentuk kebaikan yang dapat menghapus dosa. Allah berfirman, Kebaikan-kebaikan itu, bisa menghilangkan keburukan.”
Inilah alasan yang masuk akal, zakat ini dinamai dengan fitri atau fitrah, karena memang harapannya, seseorang diharapkan bisa kembali suci setelah mengeluarkan zakat ini. Ibnu Abbas pernah berkata, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri memang untuk penyucian bagi orang yang berpuasa, dan juga sebagai bantuan makan untuk orang-orang yang tak punya. Itu sebabnya pula, menurut sebagian besar Para Imam Madzhab, zakat ini diharuskan makanan pokok, karena fungsinya memang untuk mencukupi kebutuhan makan.
عن ابن عباس: فرض رسول الله صلّى الله عليه وسلم زكاة الفطر طُهْرةً للصائم من اللغو والرَّفَث، وطُعْمةً للمساكين، فمَنْ أدَّاها قبل الصلاة فهي زكاةٌ مقبولةٌ، ومَنْ أدَّاها بعد الصلاة فهي صدقةٌ من الصَّدَقات رواه أبو داود وابن ماجة وصححه “`الحاكم
Artinya, “Dari sahabat Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitri sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari ketersia-siaan dan perbuatan dosa, dan sebagai sarana memberikan makanan bagi orang miskin. Siapa saja yang membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat yang diterima. Tetapi siapa saja yang membayarnya setelah shalat Id, maka ia terhidup sedekah sunnah biasa,” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). Hadist ini shahih menurut Imam Al-Hakim.
Wallahu a’alam.
Oleh: Kamal Abdillah, LC., alumni Mansajul Ulum tahun 2018 dan Universitas Al-Azhar, Mesir.