KOLOM JUM’AT XVIII
Jum’at, 3 Desember 2021
Dalam bait-bait pembuka Alfiyyah karya Ibn Malik (w. 672 H/1274 M), kita berjumpa dengan nama yang amat penting peranannya dalam sejarah nahwu (“Arabic grammar“; tata bahasa Arab), yaitu Ibn Mu’thi, seorang ulama asal al-Jazair yang hidup pada Abad ke-7 Hijriyah/13 M. Dalam Alfiyyah-nya itu,, Ibn Malik, seorang ulama besar nahwu dari Andalusia (Spanyol), mengatakan: “Fa’iqatan Alfiyyata Ibni Mu’thi”; kitab Alfiyyah yang ia tulis lebih baik tinimbang Alfiyyah-nya Ibn Mu’thi.
Siapakah Ibn Mu’thi itu? Di pesantren, sejarah mengenai tokoh-tokoh penting dalam perkembangan nahwu, kurang banyak diajarkan. Konsentrasi pendidikan di pesantren dalam se=emua disiplin ilmu, lebih banyak menekankan aspek “content”, isi, dan agak mengabaikan sejarah. Padahal sejarah amat penting untuk memahami “isi” secara lebih baik dan kontekstual. Sebelum menjelaskan sosok Ibn Mu’thi ini, saya akan mulai tulisan ini dengan ulasan sedikit mengenai proses perkembangan ilmu-ilmu Islam.
Mari kita mulai. Tenggg…
Alfiyyah adalah “genre” atau jenis tulisan tertentu yang berkembang pada abad-abad ke -7 Hijriyah dan seterusnya. Jenis tulisan ini berkembang setelah ilmu-ilmu keislaman mengalami kematangan yang sempurna, bahkan nyaris “gosong” (matang sekali). Apa yang disebut dengan “al-‘ulum al-Islamiyyah” (“Islamic sciences”) muncul dan berkembang tidak secara ujug-ujug, melainkan “gradual“, setahap demi setahap. Ia muncul pertama kali pada awal-awal abad Hiriyah; kemudian berkembang pada abad-abad berikutnya. Abad pertama hingga Abad ke-3 Hijriyah bisa kita anggap sebagai masa formatif; masa pertumbuhan dan pembentukan. Ibarat manusia, ini adalah masa kanak-kanak hingga remaja dan mejelang dewasa. Abad-abad ke-4 hingga ke-5 adalah masa kematangan dan kedewasaan. Ulama-ulama “dug-deng”, besar seperti al-Haramain (w. 1085 M) dan muridnya, yaitu al-Ghazali (w. 1111 M) hidup pada era ini.
Setelah fase kedewasaan itu, muncullah generasi berikut yang hidup pada era konsolidasi pengetahuan. Ibarat manusia, ini adalah era ketika seseorang memasuki fase di mana secara fisik ia telah tumbh dengan sempuran dan “selesai”; sudah tidak akan “modot” atau berkembang lagi. Pada era inilah Ibn Mu’thi dan Ibn Malik yang menjadi tema pembicaraan dalam tulisan ini, hidup dan berkarir secara ilmiah. Dalam fase ini, kreativitas ulama hanya sebatas memberikan komentar, meringkas, menyadur, menulis ulang dengan rumusan yang sedikit berbeda (parafrase) ilmu-ilmu yang sudah dihasilkan oleh generasi sebelumnya. Dalam era inilah kemudian lahir sebuah gaya penulisan yang disebut “alfiyyah”, yaitu tulisan berbentuk syair/bait seribu bait. Dengan menulis kitab dalam bentuk syair seperti ini, para ulama berharap akan memudahkan para “santri” yang hedak mempelajari dasar-dasar ilmu-ilmu keislaman untuk menghafal dan kemudan memahami. Menghafal tentu bukan tujuan utama. Ia hanya sarana untuk memahami.
Pada era inilah para ulama berlomba-lomba menulis karya dalam bentuk bait (ada yang jumlahnya seribu, ada yang lebih, ada pula yang kurang) dalam hampir semua bidang ilmu — tafsir, hadis, kalam, tasawuf, filsafat, dan ilmu-ilmu alat seperti tata bahasa (nahwu/sharaf), balaghah, prosodi (ilmu ‘arud/ilmu tentang kaidah menulis syair dalam bahasa Arab). Sosok pertama yang merintis penulisan kitab dengan model seribu bait dalam bidang “Arabic grammar” adalah toko kita dalam tulisan ini, yaitu Imam Ibn Mu’thi.
Nama lengkap Ibn Mu’thi, sebagaimana direkam dalam “Bughyat al’Wu’ah” karya al- Suyuti (w. 1505 M), adalah Yahya ibn Mu’thi ibn ‘Abd al-Nur al-Zawawi al-Maghribi al-Nahwi. Tiga “nisbah” atau nama-sebutan di ujung itu merupakan “penanda” yang membantu kita memahami identitas tokoh kita ini. Al-Zawawii bermakna: ia berasal dari suku Zawawah, salah satu suku di dalam etnik Berber yang tinggal di kawasan “Maghrib” atau Afrika Utara. Al-Maghribi bermakna: ia berasa dari kawasan “maghrib” (barat) — sebutan untuk kawasan yang ada di Afrika Utara yang meliputi Libya, Tunisa, al-Jazair dan Maroko. Al-Nahwi bermakna: ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu nahwu (Arabic grammar). Dalam geografi Islam klasik, kawasan yang ada di sebelah barat Mesir disebut “maghrib”, sementara yang ada di timur disebut “masyriq”.
Ibn Mu’thi lahir pada 564 H (1168 M) di Bugia (dalam kitab-kitab “thabaqat“, kawasan ini biasa disebut Bejaya), sebuah daerah yang berada di sebelah timur Al-Jazair saat ini. Ia meninggal di Kairo, Mesir, pada 628 H (1231). Dengan demikian, Ibn Mu’thi lahir sekitar setengah abad setelah era al-Ghazali. Ibn Mu’thi hidup di era kerajaan al-Muwahidun (dalam literatur bahasa Inggris biasa disebut: “Almohad”), suatu dinasti politik yang muncul di kawasan Afrika Utara (Maghrib) pada Abad ke-12. Dinasti ini didirikan oleh seorang Ibn Tumart ((w. circa/sekitar 1228-30 M), seorang ulama yang mengembangkan pandangan keagamaan yang unik. Ia menggabungkan antara teologi Asy’ariyah dan Mu’tazilah; mengawinkan antara fiqh Maliki dan Zahiri; dan banyak menyerap ajaran-ajaran kesufian dari al-Ghazali.
Ibn Tumart memimpin sebuah gerakan keagamaan dan menyebut diri dan para pengikutnya sebagai “al-Muwahhidun”, orang-orang yang men-tauhid-kan Allah. Ia membawa ide pemurnian tauhid dari praktek-praktek tasawuf yang menyimpang pada zamannya. Gerakan Ibn Tumart ini bisa kita sebut sebagai semacam “gerakan puritan” yang paling awal dalam sejarah Islam. Pada puncak kekekuasaannya, wilayah dinasti al-Muwahidun meliputi seluruh kawasan Afrika Utara dan Andalusia. Pada masa ini, terjadi kebangkitan dunia intelektual di dunia Islam. Ibn Rusyd (w. 1198), filsuf besar Islam dari “maghrib” itu, hidup pada masa dinasti al-Muwahidun.
Sebagaimana lazimnya perjalanan “ngaji” seorang santri di manapun, Ibn Mu’thi memulai karir keilmuannya dengan belajar kepada ulama setempat. Pada fase ini, gurunya yang paling penting adalah Abu Musa al-Jazuli (w. 697 H/1211 M), seorang ulama besar yang ahli dalam ilmu nahwu dan leksikografi (‘ilm al-lughah) dari Maroko. Dalam sejarah perkambangan nahwu. Abu Musa al-Jazuli bukanlah sosok “cepethe-cepethe“, sembangan. Ia dikenal melalui karyanya yang legendaris: “al-Muqaddimah al-Jazuliyyah“. KItab ini merupakan pendahulu dari kitab lain yang jauh lebih populer di seantero duna Islam sebagai teks pengantar; yaitu “Kitab Jurumiyyah” karya Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Muhammad ibn Dawud al-Sanhaji (w. 723 H/1323 M), seorang “grammarian” (ahli nahwu) asal Maroko. Sebelum Jurumiyah lahir dan “viral” ke seluruh dunia Islam, kitab karya al-Jazuli itulah bacaan pengantar yang populer.
Kepada Imam al-Jazuli itulah Ibn Mu’thi mula-mula berguru. Dalam tradisi keulamaan klasik, wilayah timur atau “masyriq” dianggap sebagai pusat ilmu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, setiap santri yang berasal dari kawasan “maghrib”, barat, akan cenderung meneruskan pendidikan tingkat lanjutnya di daerah timur. Jika disebandingkan dengan konteks Jawa, wilayah timur bisa disejajarkan dengan Lirboyo dan Ploso-nya duna keilmuan pada zaman klasik Islam.
Dan itulah yang dilakukan oleh Ibn Mu’thi: setelah selesai belajar di kampungnya sendiri di kawasan maghrb, ia bertolak ke “masyrq”, timur; persisnya ke Damaskus, Syiria, salah satu kota pengetahuan yang utama pada pada masa klasik. Di sana ia berguru kepada sejumlah ulama, salah satunya Ibn Asakir (w. 571 H/1176 M), seorah ulama ahli hadis dan sekaligus sejarawan yang dikenal melalui karyanya yang masyhur: “Tarikh Dimasyq” (Sejarah Damaskus). Sejak di Damaskus ini, Ibn Mu’thi telah muncul sebagai seorang ulama dengan reputasi yang tinggi, terutama dalam ilmu-ilmu kebahasaan. Ia sempat memperoleh posisi terhormat sebagai pengajar/profesor di sebuah masjid di Damaskus.
Secara “politik”, Ibn Mu’thi adalah ulama yang dekat dengan penguasa. Ia sangat akrab dengan : Isa ibn Muhammad al-Ayyubi, seorang sultan/raja dalam dinasti Mamluk yang berkuasa dari kota Damaskus. Setelah wafat, sultan ini digantikan oleh puteranya, Sultan al-Kamil, yang memindahkan kekuasaannya ke Kairo, Mesir. Ibn Mu’thi dibawa serta oleh raja baru ke Mesir, dan diberikan jabatan mengajar di Masjid Amr ibn ‘Ash di kota itu. Tentu saja, ini jabatan yang cukup prestisius, setara dengan “kursi keprofesoran” (chairship) dalam tradisi universitas modern saat ini.
Ibn Mu’thi bisa kita anggap sebagai ulama yang “keranjingan mengarang”.
Sebagaimana dicatat oleh al-Suyuti dalam kitabnya yang sudah saya sebut di atas, Ibn Mu’thi menulis beberapa karya penting, antara lain: (1) “al-‘Uqud wa al-Qawanin” (ditulis dengan mengikuti model “al-Muqaddimah al-Jazuliyyah” karya al-Jazuli, gurunya sendiri); (2) hasyiyah atau catatan pinggir atas “Kitab al-Ushul” karya Abu Bakr ibn al-Sarraj (w. 316 H/929 M), salah seorang “mujtahid” dalam bidang ilmu nahwu yang sering kita jumpai namanya dalam banyak literatur nahwu klasik; (3) komentar atau syarah atas “Kitab al-Jumal” karya Imam Khalil al-Farihidi (w. 170 H/791 M), guru dari ulama yang dianggap sebagai peletak dasar ilmu nahwu, yaitu Imam Sibawayh (w. 180 H/796 M); dan (4) “al-Fushul al-Khamsun.” Agak mengherankan bahwa karya ini sama sekali tidak disinggung oleh al-Suyuti dalam “Bughyat al-Wu’ah” (referensi penting tentang biografi dan karya para ulama nahwu yang hidup hingga era al-Suyuti, yaitu Abad ke-16).
Karya Ibn Mu’thi yang terakhir itu dipandang sebagai salah satu sumbangan penting dalam upaya sistmatisasi atas ilmu nahwu. Seperti saya kemukakan sebelumnya, era Ibn Mu’thi telah menyaksikan kematangan perkembangan ilmu nahwu. Seluruh masalah-masalah pokok dalam tata-bahasa Arab sudah dikupas habis-bis oleh para sarjana/ulama pada abad-abad sebelumnya. Era Ibn Mu’thi dan Ibn Malik hanya mendapatkan sisa dan “koretan” saja.
Upaya para “al-nuhah” (ulama nahwu) di era Ibn Mu’thi hanya sebatas menyistematisir, menyusun kembali dalam urut-urutan yang memudahkan para santri untuk mempelajari. Dalam konteks sistematisasi ini, kitab “al-Fushul al-Khamsun” karya Ibn Mu’thi tersebut merupakan tonggak penting. Para ulama yang datang belakangan sangat berhutang besar pada kitab ini. Kita tak bisa membayangkan “Kitab Jurumiyah” bisa lahir tanpa di-muqaddimah-i oleh kitab-kitab “pendahulu” seperti “al-Muqaddimah al-Jazuliyyah” atau “al-Fushul” itu.
Ibn Mu’thi bisa dianggap sebagai ulama yang “babat alas“, merintis untuk pertama kali tradisi menulis “primer” atau kitab pengantar dalam bentuk seribu bait atau “alfiyyah” (dari kata “alfun” yang artinya seribu). Judul resmi Alfiyyah Ibn Mu’thi itu adalah “al-Durrah al-Alfiyyah” (Seribu Mutiara). Dari segi kemenyelurhan, Alfiyyah Ibn Mu’thi memang kalah dibandingkan Alfiyyah-nya Ibn Malik. Tentu saja, ini bisa dimaklumi. Ibn Malik datang setelah Ibn Mu’thi. Ia mengarang Alfiyyah-nya itu sebagai semacam “penyempurnaan” atas karya Ibn Mu’thi. Dari segi gaya penulisan, Alfiyyah Ibn Malik ini juga lebih mudah dihafalkan karena secara konsisten menggunakan skala atau “wazan” yang sama dari awal hingga akhir, yaitu apa yang disebut dalam ilmu prosodi/’arudL sebagai “bahar rajaz”. Sementara Alfiyyah Ibn Mu’thi menggunakan dua wazan, yaitu “rajaz” dan “sari'”.
Tetapi, menurut penilaian seorang biografer asal al-Jazair, Ahmad al-Maqqari (w. ,1632 M), “Alfiyyah Ibn Mu’thi dianggap lebih megalir dan enak dinikmati” (a’dzab wa aslas). Dengan kata lain, dari segi mutu kesastraan, Alfiyyah Ibn Mu’thi lebih baik ketimbang Alfiyyah Ibn Malik, meskipun dari kelengkapan isi, Alfiyyah Ibn Malik jauh lebih unggul. Meski demikian, Ibn Malik menulis Alfiyyah-nya itu dengan menjadikan karya Ibn Mu’thi teresebut sebagai model yang ditulis kembali dengan ungkapan yang berbeda. Walau menggunakan ungkapan yang lain, tetapi Alfiyyah Ibn Malik itu nyaris seperti sebuah “kelanjutan” saja dari Alfiyyah-nya Ibn Mu’thi. Mari kita bandingkan dua Alfiyyah ini melalui bait pembukanya:
Alfiyyah Ibn Mu’thi dibuka dengan bait seperti ini:
Yaqulu raji Rabbihi-l-Ghafuri
Yahya-bnu Mu’thi-ni-bni ‘Abdin nuri
Sementara Alfiyyah Ibn Malik dibuka dengab bait:
Qala Muhammadun Huwa-bnu Maliki
Ahmadu Rabbi-l-Laha Khaira Maliki
Saya membayangkan, Ibn Malik mengarang Alfiyyah-nya itu dengan meletakkan Alifyyah Ibn Mu’thi di depannya sebagai semacam pemandu. Tak heran, Ibn Malik memberikan “kredit” yang besar kepada Ibn Mu’thi sebagai pendahulunya.. Kata Ibnu Malik, “Wahwa bi-sabqin kha’izun tafdzila/ mustawjibun tsana’iya al-jamila“. (Ibnu Mu’thi layak memperoleh keunggulan, karena ia adalah pendahulu yang merintis jalan. Ia layak mendapatkan kredit/pujian). Tradisi “pengakuan” dan memberikan kredit kepada pendahulu semacam ini sudah diteladankan oleh ulama Islam sejak dahulu. Ini bagian dari “intellectual honesty“, kejujuran ilmiah.
Pada Abad ke-6 dan 7 Hijriyah, dunia persilatan ilmu nahwu menyaksikan tiga bintang yang cemerlang. Ketiganya berjasa besar dalam melakukan sistematisasi terhadap “Arabic grammar“. Mereka itu ialah (1) Ibn al-Hajib (w. 646 H/1259 M) yang dikenal melalui dua kitabnya: “al-Kafiyah” (dalam bidang nahwu/sintaksis) dan “al-Syafiyah” (dalam bidang saraf/morfologi); (2) Ibn Mu’thi, tokoh kita dalam tulisan ini; dan (3) Ibn Malik. Mereka ini bisa kita sebut sebagai “three musketeers” dalam sejarah nahwu dan saraf. Berkat mereka inilah, kedua ilmu itu bisa dinikmati dengan mudah oleh para santri yang datang belakangan. Ibarat tepung, tiga ulama besar itu telah bejasa melakukan penapisan, “filtering“, “ngayaki“, sehingga yang kita peroleh adalah tepung akhir yang sudah lembut, siap dimasak menjadi bubur sumsum yang lezat.
Apa yang dapat dipelajari dari penuturan panjang di atas? Ulama-ulama yang telah saya kisahkan itu adalah para sarjana yang “keranjingan mengarang”. Hidup mereka dibaktikan untuk menulis, merawat, dan mengembangkan pengetahuan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. Sudah selayaknya kita merawat ilmu-ilmu para leluhur itu dengan cara yang sama: me-nu-lis!
Sekian.
Oleh: Ulil Abshar Abdalla, Penasehat Pondok Pesantren Mansajul Ulum.