Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 6 Jun 2025 11:48 WIB ·

Idul Adha: Refleksi Pengorbanan dan Ketaatan dalam Islam


 Sumber: bincangsyariah.com. Perbesar

Sumber: bincangsyariah.com.

KOLOM JUM’AT CXXV
Jum’at, 6 Juni 2025

Hari ini, 10 Dzulhijah, umat Islam di seluruh dunia sedang bersama-sama menggelar perayaan Hari Raya agama mereka, Idul Adha. Sebuah perayaan yang penuh dengan hikmah dan sarat akan makna. Lebih dari sekedar perayaan, Idul Adha ini adalah momentum refleksi mendalam atas dua nilai fundamental dalam Islam; Pengorbanan dan Ketaatan. Dua nilai ini, tertuang dalam kisah dua orang mulia, Nabi Ibrahim a.s dan putranya, Nabi Ismail a.s. Dari dua sosok agung inilah, kesadaran umat Islam akan selalu terbaharui di setiap tahunnya.

Kisah Nabi Ibrahim dan Putranya

Umat islam benar-benar sadar, betapa luar biasanya pengorbanan dan ketaatan dari Nabi Ibrahim a.s, tatkala Allah uji dengan ujian yang sangat berat; mulai harus berhadapan dengan kekejian Namrudz, dibakar hidup-hidup, sampai yang paling berat adalah harus menyembelih buah hati kesayangannya setelah penantian yang sangat lama. Imam Ibnu Katsir dalam Qashas Al-Anbiya’ menceritakan, waktu Isma’il kecil lahir, Nabi Ibrahim sudah menginjak usia 86 tahun. Nabi Ibrahim selama pernikahannya dengan Siti Sarah, selama itu juga belum dikaruniai seorang anak, baru kemudian ketika Ia menikah dengan Siti Hajar, tak selang beberapa lama, lahirlah seorang anak yang bernama Ismail. Artinya, Ia harus melewati berpuluh-puluh tahun terlebih dulu untuk kehadiran sang buah hati.

Kita membayangkan, betapa cinta itu meluap begitu besar saat kehadiran Ismail kecil. Laksana kemarau yang sangat panjang dan hujan turun setelahnya, Ibrahim benar-benar berbinar bahagia yang tiada terkira. Namun, dalam puncak kebahagiaan itu, Ibrahim mendapatkan perintah yang amat berat dari Tuhannya; Ia harus menyembelih putra semata wayangnya itu, Ismail. Tentu ini bukan perintah yang biasa, tapi tentang pembuktian betapa setia dan patuhnya seorang Ibrahim dengan Tuhannya. Akankah Ia kalah dengan cintanya kepada buah hatinya, atau Ia merasa yakin dan mantab untuk menunaikan perintah Tuhannya?

Cinta Ibrahim kepada putranya tidak perlu dibayangkan betapa besarnya, tapi cinta dan kepatuhannya terhadap Penciptanya, jauh melebihi segalanya. Mestinya memang seperti itu, Allah SWT harus diletakkan setinggi-tingginya melebihi apapun. Meskipun dihadapkan dengan orang terkasih, barang kesayangan, tetap Allah harus didahulukan mengalahkan itu semua. Tanpa ragu, Ia menyampaikan titah itu kepada putranya. Respon sang Ismail kecil sebagaimana mestinya, Ia menjawab dengan tegas dan lugas, bahwa Ia siap menunaikan perintah. Ia menerima segala bentuk taqdir dengan hati yang lapang jika itu yang dikehendaki Tuhannya. Al-Qur’an mengabadikan dialog antara keduanya dalam QS. As-Saffat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. As-Saffat: 102)

Ketika sebilah pisau Ibrahim hampir menyentuh leher Ismail, Allah SWT justru menggantinya dengan seekor domba yang gemuk. Dari kejadian ini, mereka terperanjat kaget sekaligus penuh syukur atas karunia yang diberikan. Peristiwa ini menjadi bukti, bahwa yang dikehendaki Allah bukanlah mengambil nyawa Ismail, melainkan untuk menguji sejauh mana tingkat kepasrahan dan ketaatan mereka berdua kepada Tuhannya. Allah SWT berfirman :

وَنَادَيۡنٰهُ اَنۡ يّٰۤاِبۡرٰهِيۡمُۙ‏ ( 104 ) قَدۡ صَدَّقۡتَ الرُّءۡيَا ​ ​ۚ اِنَّا كَذٰلِكَ نَجۡزِى الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏ ( 105 ) اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الۡبَلٰٓؤُا الۡمُبِيۡنُ‏ ( 106 ) وَفَدَيۡنٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيۡمٍ‏ ( 107 )

Artinya: “Lalu Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.'” (QS. As-Saffat: 104-107)

Pengorbanan: Melampaui Materi

Dari kisah ini, kita memahami bahwa pengorbanan dalam Islam itu jauh melampaui makna materi. Qurban yang kita tunaikan saat Idul Adha sekarang, baik berupa sapi, unta, dan kambing, hanyalah sebuah simbol semata dari pengorbanan yang lebih besar ; seperti pengorbanan hawa nafsu, ego, dan keterikatan duniawi. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan seseorang yang paling ia cintai demi Allah,  kita-pun mustinya sama, harus bisa mengorbankan dan melepaskan segala hal yang menghalangi kita dari mendekat kepada Allah SWT.

Dari perintah qurban ini, kita diajak untuk menyisihkan uang, -sebagai salah satu dari hal yang kita anggap penting didunia ini-, untuk dibelikan seekor kambing atau sapi. Bisa saja uang tiga juta sampai puluhan juta yang kita belikan hewan-hewan tersebut, kita belikan hal-hal lain yang kita cintai ; handphone, sepeda motor, dan baju misalnya. Tapi untuk melepas keterikatan hati kita dari beragam bentuk dunia tersebut, dan untuk melatih menempatkan Allah di skala prioritas utama dalam hidup kita, Allah mengajari kita menggunakan uang tersebut untuk menunaikan perintah-Nya. Sebagaimana Nabi Ibrahim rela melepaskan kecintaannya yang begitu agung pada Ismail demi memenangkan segala bentuk perintah dari Allah SWT, kita-pun sama dilatih Allah untuk melakukan itu.

Pengorbanan ini juga bisa merambah ke aspek yang lebih luas, seperti rela mengorbankan waktu untuk beribadah dan membatu antar sesama, rela mengorbankan kenyamanan untuk menuntut dan mengajarkan ilmu jika ia seorang santri, rela mengorbankan harta untuk orang lain jika ia orang yang berpunya. Dan masih banyak contoh lain dari nilai-nilai pengorbanan yang terkandung dalam hari raya Qurban ini. Yang pada esensinya, semua itu dilakukan semata-mata hanya untuk Allah SWT.

Ketaatan: Pilar Keimanan yang Kokoh

Di samping pengorbanan, nilai ketaatan adalah pilar utama dalam peristiwa Idul Adha ini. Coba kita lihat, betapa luar biasanya ketaatan penuh dari Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita, bahwa keimanan sejati adalah ketaatan total terhadap perintah Allah SWT, meskipun terkadang terasa tidak masuk akal atau berat bagi akal manusia. Ketaatan ini membutuhkan keyakinan penuh bahwa setiap perintah Allah pasti mengandung kebaikan dan hikmah di baliknya, bahkan jika  kita belum sepenuhnya memahaminya.

Sehingga dengan keyakinan semacam ini, ketaatan terhadap segala perintah dari Allah akan dengan mudah ditunaikan oleh seorang hamba, mulai dari sholat lima waktu, puasa, zakat, haji sampai bagaimana cara bertransaksi dan berinteraksi dengan sesama. Ketika keimanan membuahkan ketaatan, maka ketaatan yang dilakukan secara kontinyu akan membuahkan kestabilan dalam hidup. Baik kestabilan hidup setiap individu muslim, atau kestabilan hidup dalam masyarakat muslim. Yang pada akhirnya, semua ini akan membuahkan kesejahteraan antar umat manusia.

Dengan melihat ini semua, perayaan Idul Adha yang hari ini kita rayakan bersama, tidak hanya sekedar perayaan biasa. Ia membawa nilai-nilai fundamental Islam untuk bisa di sadari dan diterapkan oleh umat Islam dunia.

Terlebih di tengah hiruk pikuk kehidupan modern seperti sekarang ini, nilai-nilai pengorbanan dan ketaatan ini menjadi semakin relevan. Kita seringkali terperangkap dalam kesenangan duniawi dan godaan materi yang mengikis kepekaan spiritual. Idul Adha mengingatkan kita untuk sejenak berhenti, merenung, dan mengevaluasi kembali prioritas hidup kita.

Apakah kita sudah cukup berkorban demi agama dan sesama? Apakah ketaatan kita kepada Allah sudah sepenuh hati, atau masih diwarnai keraguan dan keluh kesah? Idul Adha adalah seruan untuk kembali memperbarui komitmen kita, mengasah kembali keikhlasan, dan memperkuat ketaatan dalam setiap langkah. Semoga dengan demikian, kita dapat meraih ketenangan jiwa dan ridha dari Allah Yang Maha Kuasa.

Oleh: Kamal Abdillah, LC., alumni Mansajul Ulum tahun 2018 dan Universitas Al-Azhar, Mesir.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 100 kali

Baca Lainnya

Rekonstruksi Fikih dalam Membangun  Kehidupan Berparadigma Kesetaraan Gender Pesantren

18 Juli 2025 - 12:45 WIB

Aktualisasi Fikih dalam Menghadapi  Era Society 5.0

4 Juli 2025 - 11:33 WIB

Sumber: id.pinterest.com.

Kurban di Hari Raya Idul Adha: Ungkapan Cinta Seorang Hamba

20 Juni 2025 - 14:30 WIB

Kitab Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Kebangkitan Setelah Kematian

23 Mei 2025 - 13:35 WIB

Regulasi Fiqih dalam Transaksi Uang Kripto

9 Mei 2025 - 16:31 WIB

Tradisi Jabat Tangan, Bagaimana Menurut Syari’at?

25 April 2025 - 11:13 WIB

Trending di Kolom Jum'at