Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 17 Mar 2023 11:23 WIB ·

Keimanan Abu Thalib Yang Diperdebatkan


 Keimanan Abu Thalib Yang Diperdebatkan Perbesar

KOLOM JUM’AT LXXII
Jum’at, 17 Maret 2023

Perasaan sedih, tidak terima, selalu menyembul acap kali saya mendengar entah itu perbincangan, artikel, dan bahkan sebuah makalah yang secara tidak langsung menarik kesimpulan bahwa Abu Thalib sang paman tercinta Nabi ini justru tidak termasuk bagian dari muslimin. Padahal, sudah sangat masyhur sekali di seantero penduduk Islam bagaimana begitu cintanya Abu Thalib kepada Baginda Nabi, menggantikan jabatan sosok ayah yang kosong di tengah perjuangan Rasulullah, sampai kalah rasa sayangnya kepada anak-anaknya dibanding sayangnya kepada putra Abdullah. Bagaimana paman Nabi ini mengabdikan sisa hidupnya untuk melindungi Rasulullah SAW, seperti di tiap-tiap tidur Rasulullah saat tiga tahun pemboikotan, tak pernah sekalipun luput dari pemantauan Abu Thalib. Jika dilihat dari sudut pandang manusiawi, hal ini menjadi sangat tidak logis jika pada akhirnya Abu Thalib yang begitu mencintai Nabi Muhammad SAW justru tidak masuk agama yang kemenakannya itu syiarkan. Pemikiran logis manusiawi inilah yang membuat keimanan Abu Thalib sampai saat ini masih diperdebatkan.

Karena itu perasaan bahagia seketika membuncah ketika saya membaca buku yang bertajuk “Lentera Kegelapan” atau “ الظلام سرج” yang ditashihkan oleh Al-Habib Al-Mursyid M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, yang seakan menjadi plot twist di dalam perjalanan saya meniti sejarah sang kekasih tercinta. Bertolak belakang dengan pendapat bahwa Abu thalib meninggal dalam keadaan kafir, di buku ini justru dijelaskan bahwa bisa dikatakan Abu Thalib adalah seorang mukmin pertama. Jauh-jauh hari sebelum Rasulullah menyatakan diri sebagai utusan Tuhan, ia telah mengimaninya. Bahkan sejak bertemu dengan pendeta Bahira beberapa tahun silam, ia telah meyakini bahwa kemenakannya ini akan menjadi Nabi. Dan sejak itu pula Abu Thalib telah mematri dirinya akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mendukung dan melindungi dakwah Nabi, juga mulai mempersiapkan apa yang harus dilakukannya. Hal ini tampak jelas melalui syi’ir yang sempat ia gubahkan di peghujung hidupnya.

Pada bulan Rajab tahun sepuluh keNabian, setelah tiga tahun terjebak dalam pemboikotan terhadap bani Muthallib dan bani Hasyim, fisik Abu Thalib kian melemah, dan di tengah sakitnya yang kian memarah ia sempat menggubahkan sebuah syi’ir yang menunjukkan keimanannya dan alasan mengapa ia memendam keimanannya jauh dalam relung hati demi terjaganya sang Nabi dan berjalannya dakwah yang diembannya.

Engkau telah mengajakku dan aku tahu engkau sungguh benar adanya # Dan sungguh aku telah membenarkanmu dan memang sejak dahulu engkau adalah orang terpercaya

Dan sungguh aku telah tahu bahwa sesungguhnya agama Muhammad # Adalah agama terbaik bagi ummat manusia

Seandainya aku tidak megkhawatirkan cemoohan dan celaan # pasti engkau (Muhammad) akan melihatku mengucapkan syahadat

Setelah mendengar pernyataan pendeta Bahira, Abu Thalib seakan bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Kemenakan tersayangnya ini akan menjadi Nabi. Ujiannya akan sangat berat sebagaimana Nabi-Nabi terdahulu atau bahkan lebih berat. Tugasnya begitu besar, yaitu mengajak seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam agama yang akan dibawanya. Mengajak orang-orang yang berbeda agama, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, dan agama-agama pagan yang sangat kental seperti kerajaan Qishra yang menyembah api abadi mereka, bukanlah hal yang mudah. Pertentangan demi pertentangan yang hebat langsung saja terbayang di benak paman Nabi ini. Mulai dari digunjing, dicemooh, didzalimi, diterror, percobaan pembunuhan, hingga peperangan.

Posisi Abu Thalib sebagai tetua kaum Quraisy sebenarnya menguntungkan Nabi. Karena penjagaan terhadap Nabi bisa ia lakukan dengan lebih maksimal, akan tetapi konsekuensi akan jadi lebih besar. Karena itu berarti ia tidak boleh ikut memeluk agama Muhammad. Apabila ia memeluk agama Muhammad maka tidak ada lagi kaum Quraisy yang akan mendengarkan kata-katanya dan penentangan terhadap Nabi akan jadi lebih gencar.

Prediksi Abu Thalib ini benar. Setelah ia wafat, penindasan yang dialami Rasulullah SAW semakin pedih. Mungkin di antara siksaan paling ringan yang dialami baginda Nabi adalah ketika seorang Quraisy menabur kotoran di atas kepala beliau. Rasulullah SAW pulang ke rumah dengan wajah penuh kotoran di atas kepala beliau. Melihat hal itu Fathimah segera membersihkan kepala beliau dengan berurai air mata. Baginda Nabi tak mempermasalahkan perlakuan ini. Namun tangis yang keluar dari kedua mata sayu putrinya membuat beliau pilu. Setitik air mata yang keluar dari seorang anak adalah sepercik api yang membakar jantung. Sesenggukan itu terasa mencekik leher, dan untuk menenangkan putrinya beliau berkata: “Jangan menagis putriku. Allah akan selalu melindungi ayahmu ini.” Kepedihan itu begitu menekan batin beliau sehingga terucaplah kata-kata kepedihan: “Sebelum Abu Thalib wafat kaum Quraisy tidak pernah berani melakukan semua ini.”

Apa yang dilakukan Abu Thalib ini sangat berpengaruh bagi dakwah Nabi, karenanya ia menyimpan keimanannya jauh di dalam relung hati bahkan sampai di dialog terakhirnya dengan Nabi. Ketika Nabi untuk terakhir kalinya meminta Abu Thalib mengucapkan syahadat. “Pamanku, ucapkanlah kalimat itu agar aku dapat memohonkan ampun bagimu di hari kiamat!”

Mendengar permintaan ini, dengan begitu lincah Abu Thalib menyembunyikan keimanannya demi kelancaran dakwah Rasul. Ia berkata: “Wahai kemenakanku, sungguh aku tahu engkau memang benar, tapi aku tidak ingin ada yang mengatakan ‘Abu Thalib takut menghadapi maut’. Seandainya di antara engkau dan bani ayahmu tidak akan ada permusuhan setelah aku meninggal, niscaya aku akan mengatakan apa yang akan membuat hatimu lega saat aku pergi. Aku melihat engkau begitu menginginkan hal itu, akan tetapi aku akan tetap memeluk agama pendahuluku, Abdul Muthalib, Hasyim, dan Abd Manab.”

Rasulullah cukup prihatin dengan jawaban itu, namun beliau tak pernah berputus asa. Meskipun pamannya ini memang tak pernah menyatakan iman di hadapannya, akan tetapi lelaki yang selama ini mengasuhnya selalu membenarkan, membela, dan menolong dakwahnya. Bukankah semua itu telah menjadi bukti nyata bahwa sebenarnya pamannya ini telah mengimaninya. Apalagi semenjak Rasulullah berada di bawah asuhannya. Beliau tak pernah melihat pamannya itu melakukan berbagai ritual naïf yang sering dilakukan kaumnya. Dari sinilah akhirnya sebagian sarjana muslim terdahulu seperti halnya al-Halimi pernah mengatakan:

“Tidak diperselisihkan lagi bahwa keimanan sudah dianggap sah walaupun tidak dengan mengucapkan ‘Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah’. Untuk menyatakan keimanannya seseorang cukup mengucapkan pernyataan yang menunjukkan kebenaran baginda Nabi SAW. Dan membenarkan semua yang beliau bawa, seperti mengucapkan ‘Muhammad adalah Nabi Allah.”

Selain itu, juga telah diketahui betapa seringnya paman Nabi mengucapkan bahwa kemenakannya itu Nabi Allah. Ketika baginda Nabi menekuri semua kenyataan yang disuguhkan Abu Thalib, Abbas berbisik pada beliau bahwa Abu Thlib telah menggerakkan bibirnya mengucapkan syahadat. “Saudaraku telah mengucapkan kalimat yang kau minta.” Nabi tersentak mendengar kata-kata Abbas dan beliau segera menyahut: “Tapi aku tak mendengarnya.” Tak lama kemudian Abu Thalib mengehembuskan nafas terakhirnya.

Rasululah sangat terpukul dengan wafatnya Abu Thalib. Sesaat kemudian Allah menurunkan surat al-Qhasas ayat 56. Sebuah ayat penegas bahwa Nabi tidak perlu berlarut-larut.

“إنك لاتهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشاء وهو أعلم بالمهتدين”

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau kasihi, akan tetapi Allahlah yang memberikan petunjuk pada siapapun yang ia kehendaki. Ia adalah Dzat yang Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas:56)

Ayat ini bukanlah menunjukkan bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadaan kufur. Namun merupakan bentuk hiburan Allah kepada Nabinya agar tidak begitu terhanyut dalam kesedihan.

Dalam kesempatan lain, Allah juga memberikan ilham-Nya bahwa kelak paman beliau tidak akan disiksa seperti halnya orang-orang kafir. Namun Abu Thalib hanya mendapat siksa ringan. Hal itu tak lain karena sejatinya beliau adalah seorang mukmin, namun tak pernah berkenan menjalankan ibadah dan lain sebagainya demi menjaga kemenakannya. Inilah akhirnya menjadi penyebab Tuhan tetap memberikan hukuman pada Abu Thalib. Siksa atas kemaksiatan meskipun semua itu demi kebaikan, bahkan kebaikan Rasulullah SAW. WaAllahu a’lamu bishshowaab.

Oleh: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 548 kali

Baca Lainnya

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki

20 Desember 2024 - 18:02 WIB

Kritisisme, Juru Damai Rasionalisme dan Empirisme

6 Desember 2024 - 07:47 WIB

Urgensi Pesantren Ramah Anak

22 November 2024 - 13:35 WIB

Dampak Buruk Konsumsi Makanan Berlebih dalam Perspektif Dokter dan Ulama’

8 November 2024 - 14:45 WIB

Trending di Kolom Jum'at