Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 03:18 WIB ·

Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam


 Sumber gambar : kumparan.com Perbesar

Sumber gambar : kumparan.com

KOLOM JUM’AT XXXIV
Jum’at, 25 Maret 2022

Seperti yang kita ketahui, bahwa berabad-abad yang lalu, peradaban dunia telah melewati peradaban jahiliyyah. Selama masa tersebut, keberadaan perempuan benar-benar tidak ada harganya dan tidak dianggap. Hal itu terjadi secara meluas, baik dalam lingkup keluarga maupun sosial masyarakat.

Hal itu jauh berbeda dengan masa setelah kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa ajaran-ajaran yang mengagumkan, terutama bagi kaum perempuan. Nabi melalui ajarannya telah memberikan hak keadilan, hak persamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, serta partisipasi mereka dalam sosial kemasyarakatan. Islam juga telah mengakui kepemimpinan perempuan dalam siyasah (politik).

Memang kepemimpinan dalam politik terdapat persyaratan yang cukup ketat. Tetapi persyaratan terkait dengan gender merupakan syarat yang masih mukhtalaf fih (diperdebatkan). Syarat-syarat yang menjadi kesepakatan ulama dalam hal kepemimpinan politik adalah islam, baligh, berakal, merdeka, sehat secara jasmani dan rohani, bersifat adil, dan memahami hukum-hukum syariat. Tetapi mengenai syarat jenis kelamin terjadi perbedaan pendapat. Diantaranya:

  1. Pendapat dari imam Malik bin Anas, As-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengemukakan bahwa seorang pemimpin haruslah laki-laki. Argumen yang mereka berikan adalah karena ketika perempuan berpartisipasi dalam dunia kepemimpinan dan politik, mereka akan mendatangi banyak forum umum dan terbuka, dimana kehadiran mereka akan dapat menimbulkan banyak fitnah. Selain itu, para ulama tersebut juga melihat dari sejarah pada zaman Nabi yang tidak pernah menyerahkan kekuasaan kepemimpinan kepada perempuan.
  2. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh ulama’ madzhab Hanafiyyah dan imam Ibn Hazim Adz-Dzohiriy. Mereka berpendapat bahwa syarat laki-laki dalam kepemimpinan tidaklah mutlak. Diperbolehkan bagi perempuan menjadi seorang pemimpin dan berpartisipasi dalam politik asalkan mereka tidak ikut campur di dalam masalah pidana/hukuman. Selain itu maka diperbolehkan.
  3. Pendapat ketiga adalah pendapat dari Ibn Jarir Ath-Thabari dan Hasan al-Bashri yang menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin dan berpartisipasi dalam politik secara mutlak. Argument yang mereka berikan adalah karena ketika perempuan boleh menjadi mufti (orang yang memberikan fatwa hukum) maka, mereka pun boleh menjadi pemimpin dan berpartisipasi dalam politik, bahkan dalam wilayah kehakiman pengadilan sekalipun.

Perdebatan tentang persyaratan jenis kelamin tertentu pada soal kepemimpinan politik adalah sebanding dengan perdebatan tentang persyaratan kesukuan Quraisy dalam kepemiminan. Dalam wacana keagamaan yang dominan dan tekstual, masih menganggap bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan Quraisy. Bahkan jika ada yang meyakini akan kebolehan kepemimpinan selain pada suku Quraisy akan dianggap bid’ah. Konsep seperti ini, akhirnya dikritik habis oleh Ibn Khaldun. Menurutnya, yang terpenting dalam kepemimpinan adalah pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik, tegas, kuat, dan tangguh. Bukan karena kesukuan Quraisy.

Pada kasus larangan perempuan menjadi pemimpin, banyak orang yang menyandarkan argumennya pada salah satu ayat dan hadis tertentu yang menganggap bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Mereka akan selalu menggunakan ayat Al-qur’an dan Al-hadits yang seakan-akan melarang kepemimpinan perempuan sebagai argument. Seperti yang terdapat pada Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 34:

” الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما انفقوا من اموالهم “

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan, disebabkan Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)

Ayat tersebutlah yang sering dijadikan sebagai argument kepemimpinan laki-laki atas perempuan dan larangan kepemimpinan atas sebaliknya. Perlu kita ketahui bahwa dalam persoalan qiwamah ini adalah persoalan tafsir dan bukan persoalan perintah ayat/ketentuan hukum dari Allah SWT. Tafsir ini harus diletakkan pada konteks dimana ayat itu dipahami oleh masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai sosial pada saat itu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Arrazi  dalam kitab Tafsir al-Kabir bahwasanya arti kata qawwam pada ayat tersebut adalah tanggung jawab, pengelolaan, pemeliharaan, dan perhatian terhadap kepentingan perempuan. Selain itu, dalam Alqur’an kata qawwam disebutkan sebanyak tiga kali. Yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 34 dan 135, serta surat Al-Ma’idah ayat 8. Pada sebutan pertama, qiwamah sering diartikan sebagai kepemimpinan. Sedangkan kedua dan ketiga  lebih kepada pembelaan atau pelindung. Jika konsisten, mestinya qiwamah pada sebutan yang pertama juga harus diartikan sebagai komitmen pembelaan atau pelindungan atas perempuan dan bukan kepemimpinan.

Selain ayat tersebut, juga ada hadits Nabi yang sering dijadikan argumen oleh mereka, yaitu:

“لن يفلح قوم ولوا امرهم امراة”. اخرجه البخاري.

Artinya: “Tidak akan berhasil orang yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.”

Sebab wurud dari hadits tersebut adalah dari kisah Kisra yang menyobek surat Nabi. Ketika itu, ia dibunuh oleh anak laki-lakinya sendiri. Anak laki-laki tersebut juga membunuh saudara-saudara perempuannya. Ketika dia mati, kekuasaan kerajaan jatuh di tangan Bauron binti Syiruyah bin Kisra. Setelah kekuasaan jatuh di tangan Bauron tersebut, kerajaan menjadi hancur berantakan sebagaimana do’a Nabi. Perlu difahami, bahwa hadits tersebut dijelaskan dalam rangka pemberitahuan/informasi yang disampaikan oleh Nabi kepada bangsa Persia semata, tidak dalam rangka menegakkan sebuah hukum. Karena hakikatnya Nabi lebih mengetahui bagaimana sifat kepemimpinan dari Bauron binti Syiruyah tersebut.

Jika hadits tersebut dihadapkan pada fakta sejarah yang ada, maka sudah banyak perempuan yang terbukti mampu memimpin negerinya dengan baik. Seperti Ratu Bilqis sang pemimpin negeri Saba’ sebagaimana yang telah diceritakan dalam Alqur’an, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, Indira Gandi, dan masih banyak lagi. Sebaliknya, juga banyak dari pemimpin laki-laki yang tidak mampu memimpin negaranya dengan baik. Sekali lagi, bahwa dalam konsep kepemimpinan ini, yang terpenting adalah kemampuan, cara berfikir yang baik, dan mampu mendatangkan kemaslahatan, sebagaimana dalam kaedah fiqh yang masyhur:

” تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة “

Artinya: “Tindakan penguasa atas rakyatnya harus didasarkan atas kemaslahatan mereka.”

Dari penjelasan diaas, bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya perdebatan tentang kepemimpinan perempuan adalah perdebatan soal tafsir dan masalah yang sifatnya furu’iyah, bukan ushuliyah. Karena itu, pada dasarnya tidak ada larangan yang qoth’i atau pasti terkait kepemimpinan perempuan dalam Islam. Jika perempuan memiliki kemampuan dan mampu membawa kemaslahatan, tentu tidak ada alasan untuk melarang kepemimpinan mereka. Wallahu A’lam Bisshawab.

Oleh: Nahika Asna Taqiyya, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 80 kali

Baca Lainnya

Tradisi Jabat Tangan, Bagaimana Menurut Syari’at?

25 April 2025 - 11:13 WIB

Tradisi Ketupat: Sejarah dan Makna Filosofis

11 April 2025 - 14:55 WIB

Tantangan Santri dalam Menghadapi Era Society 5.0

28 Maret 2025 - 15:54 WIB

Brain Rot: Problem Baru di Era Digitalisasi

14 Maret 2025 - 18:22 WIB

Bahayanya Khitan Perempuan

28 Februari 2025 - 18:00 WIB

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Trending di Kolom Jum'at