KOLOM JUM’AT CXXIV
Jum’at, 23 Mei 2025
Dalam ajaran Islam, diyakini bahwa manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali pada Hari Kiamat. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebangkitan ini? Apa yang “mati” dan apa yang “dibangkitkan”? Apakah tubuh fisik kita akan dibangkitkan dalam bentuk yang sama?
Unsur Tubuh Manusia
Gus Ulil Abshar Abdalla, dalam kajian kitab Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad karya Imam Al-Ghazali, menjelaskan bahwa dalam ilmu kalam (teologi Islam), tubuh manusia terdiri dari dua unsur: Pertama, jauhar, yaitu zat atau inti dari sesuatu (bisa diibaratkan “benda itu sendiri”). Kedua, aradh, yaitu sifat-sifat yang melekat pada benda tersebut, seperti warna, ukuran, dan bentuk. Misalnya, sebuah bolpoin: yang disebut jauhar adalah bolpoinnya itu sendiri, sementara aradh-nya adalah warna, panjang, dan sebagainya.
Konteks Kematian dan Kebangkitan
Dalam konteks kematian dan kebangkitan, Gus Ulil menyampaikan bahwa menurut sebagian ulama, tubuh manusia sebenarnya tidak benar-benar “hancur”, melainkan kembali ke unsur asalnya (tanah). Yang lenyap hanyalah aradh-nya, atau sifat-sifatnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa saat kebangkitan terjadi, Tuhan mengembalikan sifat-sifat dan bentuk tubuh itu seperti semula, dengan zat asal yang sama.
Lantas muncul sebuah pertanyaan apakah tubuh yang dibangkitkan sama dengan yang tubuh sebelumnya? Lalu jika tubuh sudah rusak atau hancur, bagaimana mungkin ia dibangkitkan kembali dalam bentuk yang sama?
Menjawab hal ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa “ketiadaan” (al-adam) itu bermacam-macam:
- Ada yang sebelumnya ada lalu menjadi tidak ada seperti manusia yang mati.
- Ada yang sejak awal tidak ada dan akan terus tidak ada.
- Ada yang tidak ada sementara, lalu diadakan kembali seperti manusia yang mati lalu dibangkitkan.
Kebangkitan manusia termasuk kategori ketiga, yaitu sebelumnya ada (hidup), lalu tidak ada (mati), lalu ada lagi (dibangkitkan). Tuhan, menurut Imam Al-Ghazali, mengetahui semua kondisi ini dengan sempurna.
Pandangan Filsuf dan Tanggapan Al-Ghazali
Sebagian filsuf berpendapat bahwa setelah kematian, hanya tubuh yang hancur, sementara jiwa tetap hidup dan abadi. Imam Al-Ghazali menjawab bahwa kalau jiwa memang tetap ada, maka ketika tubuh dibangkitkan pada Hari Kiamat, jiwa tersebut bisa kembali mengendalikan tubuh sebagaimana sebelumnya.
Gus Ulil menegaskan bahwa tidak ada yang benar-benar mustahil secara logika. Hanya karena sesuatu tampak tidak mungkin menurut hukum alam di dunia ini, tidak berarti hal itu tidak mungkin di alam yang berbeda. Hukum alam dunia bukanlah satu-satunya hukum yang berlaku.
Bagaimana dengan Siksa Kubur?
Siksa kubur adalah bagian dari keyakinan Islam yang telah ditegaskan dalam banyak riwayat yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak sumber tepercaya secara konsisten). Nabi Muhammad bersabda bahwa ada orang yang disiksa di dalam kubur, misalnya seperti siksaan yang diterima oleh Fir’aun dan pengikutnya.
Beberapa kelompok seperti Muktazilah menolak adanya siksa kubur karena kelompok ini tidak bisa melihat langsung kejadian tersebut. Mereka berargumen, “Saya tidak melihat adanya siksaan di dalam kubur, maka saya tidak percaya itu terjadi.”
Imam Al-Ghazali menanggapi bahwa siksa kubur bukanlah sesuatu yang bisa dilihat dengan mata fisik, melainkan sesuatu yang hanya dapat dipahami oleh mata batin (pemahaman spiritual). Perumpamaannya seperti seseorang yang melihat orang lain sedang tidur. Ia tidak bisa tahu apakah orang itu sedang mimpi buruk atau mimpi indah, karena tidak melihat apa-apa secara langsung. Namun, jika orang yang tidur kemudian bangun dan menceritakan mimpinya, maka kita bisa percaya atau menolaknya berdasarkan kepercayaan kita.
Bagaimana Jika Mayit Dimakan Binatang Buas?
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa walaupun tubuh mayit hancur dimakan binatang, hal itu tidak menghalangi terjadinya siksa kubur. Ruh orang tersebut tetap bisa merasakan siksa sesuai kehendak Tuhan, meskipun jasadnya telah berpindah tempat atau bentuk. Wallahu ‘alam.
Oleh: Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.