KOLOM JUM’AT LXXVIII
Jum’at, 7 Juli 2023
Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya untuk bersabar dalam menghadapi kesulitan dan bersyukur saat memperoleh kenikmatan. Orang miskin lagi melarat hendaknya bersabar atas kesulitan hidup yang dihadapinya dan orang kaya terlebih lagi konglomerat sudah sepantasnya bersyukur atas kelapangan rezeki yang didapatkannya. Sabar dan syukur sama-sama merupakan perintah Allah SWT yang dapat menuntun seorang hamba semakin dekat kepada-Nya. Namun jika dibandingkan, manakah yang lebih utama, orang kaya yang bisa bersyukur atau orang miskin yang mau bersabar?
Saat sebagian orang ditanya demikian, kemungkinan besar mereka akan terbagi menjadi dua kubu dengan jawaban yang sama kuatnya. Sebagian melihat orang kaya yang bersyukur lebih utama, sebagian lagi mengunggulkan orang miskin yang bersabar dengan berpegang pada argumentasinya. Pun demikian di kalangan para ulama masih terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini. Syekh Ibrahim Al-Bayjuri dalam salah satu kutipan faidah menyebutkan bahwa orang kaya yang bersyukur memiliki kedudukan yang lebih utama menurut pendapat yang kuat (Hasyiyah Al-Bayjuri ‘ala Fathi Al-Qarib j:1 h:285).
Bukan tanpa alasan orang kaya yang bersyukur justru lebih diunggulkan daripada faqir miskin yang bersikap sabar mengingat tabiat manusia akan lebih banyak memohon dan menghiba kepada Allah ta’ala agar diberi jalan keluar atas kesulitannya, namun sering kali lupa bahkan menjauh dari Tuhannya saat kemudahan telah didapatkannya. Allah SWT pun telah menyuratkan hal ini dalam Al Quran surah Yunus ayat 12 yang artinya:
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan”
Salah satu kisah monumental tentang manusia yang lalai saat kelapangan telah ada di tangannya yaitu kisah Tsa’labah bin Haathib, sahabat Nabi yang sampai harus memakai pakaian yang sama secara bergantian dengan istrinya ketika hendak melaksanakan shalat, dikarenakan keadaannya yang sangat melarat. Tsa’labah berkali-kali meminta Nabi untuk mendoakannya agar menjadi kaya. Hingga akhirnya Nabi mengabulkan permintaannya untuk memohonkan kekayaan kepada Allah SWT, dan Tsa’labah pun beranjak dari melarat menjadi kaya. Namun sayangnya, Tsa’labah yang mulanya rajin melaksanakan shalat berjamaah di masjid, kini disibukkan dengan hartanya sehingga tidak lagi menginjakkan kakinya di masjid. Bahkan ia menolak untuk mengeluarkan zakat saat diminta oleh utusan Nabi Muhammad.
Dari kisah tersebut dapat dikatakan bahwa cobaan dan godaan si kaya lebih berat daripada si miskin. Orang yang miskin cenderung akan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala karena ingin dibebaskan dari kemiskinannya. Meskipun tidak menampik adanya hadits كَادَ الفَقْرُ أنْ يَكُونَ كُفْرًا yang berarti kefakiran itu dekat sekali dengan kekafiran. Sementara orang yang kaya cenderung lalai dan menjauh dari Sang Maha Pemberi karena merasa tidak butuh lagi dengan-Nya dan merasa bahwa hartanyalah yang akan menjamin kebahagiaan dan kehidupannya –wal ‘iyadzu billah-.
Selain itu dari sisi kontribusi dan kemanfaatan, orang kaya yang bersyukur memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan orang miskin yang bersabar. Jika si miskin bersabar dan menerima keadaannya, maka kebaikan itu tercipta hanya antara dia dan Tuhannya. Sementara orang kaya yang bersyukur akan mewujudkan rasa syukurnya itu dengan menciptakan dan menebar kebajikan terhadap sesamanya. Tentu saja ia akan menunaikan zakat hartanya. Ditambah pula ia akan berbagi dan bersedekah kepada faqir miskin di sekitarnya, menyantuni anak yatim, memberi sumbangsih terhadap pembangunan rumah ibadah, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan kepentingan masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: المُتَعَدِّيْ أفضَلُ مِنَ القَاصِر “Sesuatu yang memberi kemanfaatan secara luas lebih utama daripada yang kemanfaatannya sedikit.”
Tanpa mengingkari bahwa orang yang melarat juga memiliki keistimewaan dibandingkan dengan konglomerat, yakni orang yang fakir akan lebih cepat masuk surga karena perhitungan dan pertanggung jawaban hartanya (hisab) lebih singkat. Namun dengan melihat keunggulan-keunggulan orang yang berharta sebagaimana penjelasan di atas, maka konglomerat yang pandai bersyukur lebih utama daripada si melarat yang mampu bersabar.
Pada dasarnya miskin dan kaya tidak lebih dari bagian perputaran roda kehidupan. Orang yang bekerja keras kelak bisa menjadi kaya, namun orang yang berharta juga tak lepas dari kemungkinan ia jatuh miskin bahkan dengan cara yang tak terduga. Di sisi lain, miskin dan kaya juga tidak ditentukan oleh jumlah harta, melainkan kemampuan mengelola pola pikir dan penerimaan terhadap bagian yang sudah ditentukan untuknya. Orang yang hidup sederhana namun pandai bersyukur dan selalu merasa berkecukupan bisa disebut kaya. Sebaliknya, sebanyak apapun harta jika hidupnya tidak tenang karena sibuk mengejar dunia, sesungguhnya dialah orang yang miskin. Namun satu hal yang pasti adalah bahwa kekayaan dan kemiskinan merupakan sebuah suratan yang mewarnai kehidupan. Keduanya hanyalah ujian bagi orang-orang beriman, untuk mengetahui siapa yang benar-benar bertakwa di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh: Irfatin Maisaroh, guru Madin Mansajul Ulum dan mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.