Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 16 Sep 2022 14:07 WIB ·

Kunci Sukses dalam Thalabul Ilmi


 Ilustrasi seorang santri belajar kitab kuning. Perbesar

Ilustrasi seorang santri belajar kitab kuning.

KOLOM JUM’AT LVII
Jum’at, 16 September 2022

Mencari ilmu merupakan sebuah kewajiban bagi seluruh umat muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi. Ilmu sendiri banyak sekali macamnya. Namun, tidak semuanya wajib kita fahami. Ilmu yang wajib kita fahami menurut Al Ghazali adalah ilmu haal. Maksudnya adalah ilmu yang saat ini kita butuhkan. Seperti segala sesuatu yang berkaitan dengan wudhu, shalat, dan puasa, atau ibadah lain yang sedang kita butuhkan. Orang mukallaf (orang yang telah akil baligh) wajib memahami ilmu tersebut, karena hampir setiap hari hal itu dilakukan.

Ketika mencari ilmu, hal penting yang harus diperhatikan adalah niat. Niat yaitu menginginkan sesuatu diikuti dengan melakukannya. Tempat niat sendiri ada di dalam hati. Dalam kitab kumpulan hadis Arba’in Nawawi, terdapat hadis yang menjelaskan tentang pentingnya niat dalam sebuah amal. Kata Nabi:

  انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى

(رواه  البخاري و مسلم)

Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang digantungkan pada apa yang diniatkan.” (H.R. Bukhori dan Muslim).

Dari hadis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa niat begitu berpengaruh terhadap apa yang kita lakukan, terutama dalam thalabul ilmi. Semua pahala yang didapat bergantung dengan apa yang kita niatkan. Kitab Ta’limul Muta’alim, karya Syekh Az-Zarnuji menjelaskan beberapa niat yang dapat diamalkan oleh seorang tholibul ilmi (pencari ilmu). Ketika mencari ilmu, tholibul ilmi dapat niat karena mencari ridha Allah, mencari pahala untuk bekal di akhirat, menghilangkan kebodohan, atau menghidupkan agama Islam.

Selain niat, untuk memperoleh sebuah ilmu, kita juga harus memenuhi enam syarat thalabul ilmi sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ali bin Abi Thalib melalui sebuah syi’ir yang sangat masyhur, yaitu:

الالا تنال العلم إلا بستة # ‍‍‍سأنبيك عن مجموعها ببيان

ذكاء وحرص واصطبار وبلغة # وإرشاد أستاذ وطول زمان

Enam syarat yang ada dalam syi’ir itu adalah:

  1. Cerdas (ذكاء)

Kecerdasan menjadi bekal pertama bagi pencari ilmu. Kecerdasan itu maksudnya adalah bekal akal yang telah diberikan oleh Allah Swt. Tanpa ada bekal akal, tidak mungkin seseorang bisa melakukan thalabul ilmi. Setiap orang memiliki kecerdasan akal yang berbeda-beda. Ada yang sangat cerdas, sehingga bisa sangat cepat menangkap ilmu yang baru. Ada pula yang sedang-sedang saja. Tapi, sejatinya yang terpenting dalam thalabul ilmi adalah istiqamah dalam belajar. Meskipun seseorang cerdas, tapi malas belajar, maka ia tak akan mampu mendapatkan ilmu yang banyak. Bahkan ia akan kalah dengan seseorang yang biasa-biasa saja tapi mau istiqamah belajar.

  1. Selalu ingin tahu (حرص)

Seorang tholibul ilmi (pencari ilmu) harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (curiousity). Rasa ingin tahu dalam Bahasa Arab disebut dengan khirsh (حرص). Rasa ingin tahu itulah yang akan mendorong pencari ilmu untuk memiliki tekad yang kuat dalam memahami sebuah ilmu. Dengan tekad itulah seseorang menjadi kuat dan tidak mudah putus asa ketika menghadapi kesulitan dalam proses memahami sebuah ilmu.

  1. Sabar (اصطبار)

Sebuah kesuksesan pasti akan ada rintangan yang harus dihadapi. Semakin berat rintangan yang ada, pasti akan semakin besar potensi kesuksesan yang akan didapatkan. Karena itu, mencari ilmu membutuhkan syarat sabar. Sabar adalah upaya menahan diri agar kuat menjalani segala kesulitan. Sabar tidak hanya ketika tertimpa musibah saja. Ada juga sabar untuk menahan diri dari melakukan kemaksiatan. Sabar juga perlu dilakukan untuk mampu selalu istiqamah dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Seorang tholibul ilmi harus kuat untuk menjalani semua bentuk sabar tersebut.

  1. Biaya (بلغة)

Seorang thalibul ilmi membutuhkan biaya untuk mencari ilmu. Tetapi para pencari ilmu, janganlah khawatir dengan syarat ini. Karena, seseorang yang sudah memiliki tekad yang kuat untuk mencari ilmu, Allah telah menanggung rizkinya dari jalan yang tak disangka-sangka. Tetapi rizki atau biaya itu tidak untuk hidup mewah-mewahan. Sebaliknya, pencari ilmu harus melakukan riyadhah. Riyadhah adalah tindakan mengekang nafsu dari kesenangan duniawi. Banyak ulama besar saat mencari ilmu harus menjalani kehidupan dalam keadaan fakir. Seperti kisah Kyai Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo. Beliau ketika pergi mondok harus berjalan kaki sampai berkilo-kilo meter dan hanya memiliki satu pakaian hingga beberapa tahun di pondok. Berkah riyadhahnya itulah yang menjadikan keberkahan ilmu beliau hingga bisa dirasakan oleh ribuan santrinya hingga sekarang. Maka, riyadlah merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh seorang thalibul ilmi.

  1. Bimbingan dari guru (إرشاد استاذ)

Guru merupakan sosok penting yang harus ada dalam proses mencari ilmu. Tanpanya, kita tak bisa memahami ilmu apapun. Seorang tholibul ilmi ketika ingin ilmunya manfaat maka harus memiliki i’tiqad (keyakinan) yang kuat terhadap seorang guru, bahwasanya guru yang mengajar kita itu benar-benar alim atas ilmu yang diajarkannya. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh Syekh Imrithi melalui sebuah nadzamnya:

اذ الفتى حسب اعتقاده رفع # وكل من لم يعتقد لم ينتفع

Artinya: “Karena pencapaian seorang pemuda itu berdasarkan atas keyakinan, maka barang siapa yang tidak mempunyai keyakinan, ia tidak akan memperoleh kemanfaatan.”

  1. Waktu yang lama (طول زمان)

Syarat terakhir adalah طول زمان, atau lamanya waktu. Sebuah kesuksesan harus melalui proses yang panjang. Kesuksesan bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Tidak mungkin sebuah ilmu yang jumlahnya banyak itu bisa difahami semua hanya dalam hitungan hari atau bulan. Butuh waktu bertahun-tahun lamanya untuk memahami ilmu. Keberhasilan seseorang yang belajar dengan waktu yang singkat dan waktu yang lama pasti akan berbeda. Pemahaman dan pendalamannya juga berbeda. Orang yang belajarnya dalam waktu panjang, akan memiliki kedalaman ilmu yang lebih kokoh. Karenanya, saat menjelaskan ilmu tersebut pasti akan lebih luas dan tahqiq daripada yang hanya tahu sekilas saja.

Selain syarat di atas, kita juga perlu memahami syarat yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i tentang konsep meraih kesuksesan dalam thalabul ilmi. Diantaranya adalah:

  1. Mengekang hawa nafsu (ذل النفس)

Seorang thalibul ilmi harus melakukan riyadlah atau menahan hawa nafsu untuk memperoleh sebuah ilmu dan harus mengekang diri dari kesenangan duniawi. Ia juga harus merelakan seluruh waktunya untuk dihabiskan dalam mempelajari sebuah ilmu, bukan menyibukkan diri dengan urusan duniawi.

  1. Hidup sederhana (ضيق العيش)

Seorang thalibul ilmi juga harus sabar menjalani kehidupan yang sederhana dan seadanya. Ia tidak perlu menjalani hidup dengan mewah-mewahan, meski mampu untuk itu. Jadilah layaknya seorang fakir walaupun sebenarnya orang tua kita adalah orang kaya. Karena ilmu tidak akan didapat dengan kenyamanan dan kemewahan.

  1. Menghormati guru (خدمة العلماء)

Seorang thalibul ilmi juga harus siap berkhidmah kepada guru dan para ulama sebagai shahibul ilmi (pemilik ilmu). Karena hal tersebut merupakan salah satu kunci ilmu bisa bermanfaat. Khidmah itu kita wujudkan dengan cara selalu berbuat baik, menghormati, bahkan melayani kepada guru-guru kita. Walaupun guru kita lebih muda secara usia. Karena ilmu tidak mengenal usia. Anak muda yang banyak ilmunya harus kita hormati layaknya orang tua. Itulah sebabnya Imam Syafi’i dalam usianya yang masih remaja telah menyandang gelar syaikh karena kedalaman ilmunya.

Itulah syarat-syarat yang perlu kita perhatikan dalam mencari ilmu. Jika kita mau mengamalkan semua itu, niscaya akan mudah untuk meraih ilmu yang kita harapkan. Selain itu, kita harus selalu menjaga keikhlasan niat agar tidak terjatuh pada sikap ambisius dan pamer belaka. Ciri-ciri perilaku ambisius dalam mencari ilmu adalah tega menghalalkan segala cara demi tercapainya keinginan dan cita-cita. Jika sudah seperti itu, maka sulit sekali kita akan mendapatkan ilmu yang manfaat dan barokah. Wal iyadzu billah.***

Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 698 kali

Baca Lainnya

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Lunturnya Bahasa Jawa di Era Modern

31 Januari 2025 - 23:29 WIB

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki

20 Desember 2024 - 18:02 WIB

Kritisisme, Juru Damai Rasionalisme dan Empirisme

6 Desember 2024 - 07:47 WIB

Trending di Kolom Jum'at