Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 01:09 WIB ·

Man Jadda Wajada


 Sumber gambar : aissadione Perbesar

Sumber gambar : aissadione

KOLOM JUM’AT XXV
Jum’at, 21 Januari 2022

Pesantren tempo dulu mampu melahirkan ulama-ulama besar yang mengisi panggung dunia dengan pemikiran dan kiprah progresif-solutif. Hadlratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Mahfudh Salam, KH. Muhammadun Pondowan, KH. Muhammadun Abdul Hadi Kajen, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Ahmad Fayumi Munji, KH. Abdullah Rifa’i, KH. Bisri Mustafa dan KH. Mustafa Bisri adalah produk pesantren tempo dulu yang luar biasa.

Salah satu kunci pesantren tempo dulu melahirkan ulama besar selain bimbingan spiritual kiai adalah kesungguhan para santri dalam thalabul ‘ilmi. Para santri tidak melewatkan sedetik waktu kecuali digunakan untuk istifadah. Mereka betul-betul mengamalkan good advice dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh Zarnuji “Wakun mustafiidan kulla yaumin ziyadatan, minal ‘ilmi wasbah fi buhuuril fawaaidi” (jadilah orang yang setiap hari mengambil faedah dengan menambah ilmu dan mengarungi lautan faedah).

Alkisah: KH. Muhammadun Abdul Hadi mengaji kitab jam’ul jawami’ yang terdiri dari 2 jilid kepada KH. Mahfudh Salam. Setelah khatam, KH. Mahfudh Salam menguji santrinya, KH. Muhammadun Abdul Hadi, untuk  berdiskusi-berdebat kandungan kitab Jam’ul Jawami’ besok.  Tidak ada jawaban yang layak disampaikan santri kepada kiainya kecuali: sendiko dawuh (mengiyakan). Setelah sampai rumah, maka tidak ada aktivitas lain dari KH. Muhammadun Abdul Hadi kecuali muthala’ah kitab jam’ul jawami’ dari awal sampai tuntas dalam satu waktu sebagai bentuk tanggungjawab ilmu yang akan disampaikan kepada gurunya. Ada riwayat yang mengatakan: KH. Muhammadun Abdul Hadi membutuhkan waktu berhari-hari menuntaskan muthala’ah kitab 2 juz ini. Namun anehnya, beliau tidak merasakan hal itu karena terlalu asyik muthala’ah dari awal sampai tuntas. Guru kami, KH. Ahmad Nafi’ Abdillah dan KH. A. Mu’adz Thohir sering menyampaikan kisah di atas. Hal ini sesuai statement dalam kitab Ta’limul Muta’allim “waman wajada laddzatal ‘ilmi kaanat fauqa kulli ladzdzatin”, siapa yang sudah mampu menemukan kenikmatan ilmu, maka kenikmatan tersebut levelnya di atas seluruh kenikmatan yang ada.

Kisah inspiratif di atas menjadi motivasi agung para santri sekarang untuk meneladani para kiai dalam thalabul ilmi. Pelajaran paling berharga dari kisah di atas adalah totalitas. Totalitas adalah mencurahkan segala daya dan upaya untuk meraih target yang ditetapkan. Tidak mungkin para santri meraih prestasi besar jika tidak memanfaatkan setiap detik waktunya untuk istifadah: mengaji kepada kiai, sorogan, menghafalkan, dan bahtsul masail yang dilakukan dengan penuh kesungguhan, lahir dan batin.

Pemantik utama para santri dalam thalabul ilmi dengan penuh totalitas adalah bahtsul masail. Santri yang aktif dalam bahtsul masail mempunyai motivasi lebih untuk mendalami ilmu, mengembangkan wawasan, dan memecahkan masalah yang dikaji secara kontekstual. Bahtsul masail adalah jalan efektif yang menjadi energi besar dalam menggerakkan spirit totalitas belajar santri.

Jangan menunggu sempurna baru berani mengikuti bahtsul masail. Justru dengan mengikuti bahtsul masail akan kelihatan kelemahan keilmuan seseorang sehingga ia akan termotivasi membenahi dengan semangat tinggi, baik nahwu-sharafnya, fiqh-ushul fiqhnya, analisisnya, maupun lain-lain sehingga pada episode bahtsul masail selanjutnya ia bisa tampil lebih baik dan begitu seterusnya.

Pesantren-pesantren salaf yang dikenal sebagai pendekar kitab kuning menjadikan bahtsul masail sebagai media pengasahan intelektual dan kaderisasi ulama yang diharapkan mampu menjawab tantangan global di masa depan. Dalam buku ‘Tradisi Pesantren’ karya Dr. Zamakhsyari Dhofier dijelaskan: salah satu terobosan Hadlratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam mendidik santri adalah membuat halaqah yang terdiri dari santri pilihan. Halaqah ini diberi masalah yang harus dipecahkan para santri pilihan tersebut. Akhirnya, halaqah ini mengasah kemampuan santri dalam memahami kitab kuning, memahami problematika sosial, dan bagaimana merumuskan konsep kitab kuning untuk menjawab problematika sosial tersebut. Di antara santri pilihan tersebut adalah KH. Abdul Wahab Hazbullah dan KH. Bisri Syansuri yang akhirnya lahir sebagai kiai besar. Halaqah ini dalam konteks sekarang adalah bahtsul masail santri.

Saat masih di pesantren, ketika penulis mengikuti acara bahtsul masail di pesantren-pesantren salaf, ada rasa ‘iri’ ketika melihat langsung budaya pesantren salaf. Malamnya seperti siang. Masing-masing mereka sibuk muthala’ah kitab sampai larut malam. Mereka berjuang mengusir rasa kantuk dengan bahtsul masail, muthala’ah sampai mendekati shubuh, dan aktif mendiskusikan dan mengkomparasikan (muqabalah) keterangan dari satu kitab ke kitab yang lain. Tidak ada rasa malu bertanya ketika menemukan ‘musykilat’ (kesulitan). Proses ini akhirnya melahirkan malakatul ‘ilmi (ilmu inhern, menyatu dalam diri yang kapanpun dibutuhkan datang sendiri).

Ulama-ulama besar sekarang yang masih hidup, seperti KH. M. Aniq Muhammadun, KH. Afifuddin Muhajir, KH. Bahauddin Nursalim, dan KH. Abdul Ghofur Maimoen tidak lepas dari proses panjang dan melelahkan di atas. Saat menjadi santri, mereka aktif dalam forum bahtsul masail sampai larut malam yang dilakukan terus menerus tanpa henti.

Tantangan dunia semakin kompleks. Kehadiran santri yang ‘alim (ilmuwan), ‘abid (ahli ibadah), dan muharrik (penggerak) ke depan semakin dibutuhkan untuk memberikan pencerahan dunia dengan pemikiran dan kiprah sosial yang progresif. Tentu saja senjata utama santri adalah kitab kuning yang dipahami secara tekstual dan kontekstual sekaligus.

Menghadapi dinamika dunia modern, empat macam ilmu terpuji yang disampaikan Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Juz 1 h. 17-18 menarik dicermati. Pertama, ushul (pondasi) yang terdiri dari al-Qur’an, sunnah, ijma’ ummah, dan atsar shahabah. Kedua, furu’ (cabang) yang terdiri dari ilmu fiqh dan ilmi ahwalul qalbi. Ketiga, muqaddimat (pendahuluan) yang terdiri dari ilmu alat (ilmu bahasa arab dan ilmu nahwu). Dalam muqaddimat ini, Imam Ghazali juga menyinggung ilmu menulis (ilmu kitabatil khaththi). Keempat, mutammimat (penyempurna) yang terdiri dari ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu ushul fiqh, dan ilmu hadis.

Menurut Imam Ghazali, ilmu menulis pada masa Nabi belum menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan (dlaruri) karena metode hafalan sangat dominan. Nabi sendiri adalah sosok ‘ummi’. Namun jika suatu masa metode hafalan tidak dominan, maka ilmu menulis berubah menjadi ilmu dlaruri (urgens) karena menjadi sarana nasyrul ilmi yang efektif. Di era milenial sekarang ini, kemampuan menulis sangat dibutuhkan sebagai sarana sosialisasi, edukasi, dan internalisasi nilai-nilai agama yang sangat dibutuhkan generasi milineal yang rata-rata tidak bisa meninggalkan teknologi dalam kehidupan kesehariannya.

Menguasai empat macam ilmu mahmudah di atas membutuhkan totalitas santri dalam belajar dengan optimalisasi metode belajar yang ada di pesantren. Tentu saja, selain menguasai empat macam ilmu ala Imam Ghazali di atas, para santri setelah menguasai kitab kuning, harus memantapkannya dengan wawasan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai medan perjuangan di tengah kehidupan modern.

Tanggungjawab besar santri ini mutlak dilakukan supaya estafet keilmuan dan kepemimpinan kiai tidak terputus. Pesantren dari waktu ke waktu sepanjang sejarahnya mampu melahirkan kader-kader yang mampu meneruskan perjuangan kiai di medan keilmuan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Era teknologi informasi yang membuat segala sesuatu menjadi mudah seharusnya lebih mendorong santri untuk lebih giat belajar, aktif bahtsul masail, dan menguasai skills professional yang dibutuhkan dalam kompetisi dunia, seperti jurnalistik, leadership, entrepreneurship, penguasaan bahasa arab-inggris, dan networking relationship. Namun semua harus berpijak pada satu pondasi: menguasai kitab kuning terlebih dahulu.

Tidak ada jalan instan menjadi orang ‘alim,’abid, dan muharrik. Ingat kata ringkas penuh makna “man jadda wajada” hanya orang sungguh-sungguh yang sukses. Wallahu A’alam Bis Shawab

Oleh: Jamal Ma’mur Asmani, salah satu wali santri Mansajul Ulum dan dosen IPMAFA, Pati.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 514 kali

Baca Lainnya

Brain Rot: Problem Baru di Era Digitalisasi

14 Maret 2025 - 18:22 WIB

Bahayanya Khitan Perempuan

28 Februari 2025 - 18:00 WIB

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Lunturnya Bahasa Jawa di Era Modern

31 Januari 2025 - 23:29 WIB

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Trending di Kolom Jum'at