Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 23 Agu 2024 13:38 WIB ·

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

KOLOM JUM’AT CV
Jum’at, 23 Agustus 2024

Fikih merupakan cabang keilmuan yang mempelajari tentang ajaran dan hukum Islam melalui penalaran dan edukasi. Sebagai yurisprudensi Islam, fikih menjadi peletak dasar syariat melalui interpretasi Al-Qur’an dan sunnah. Fikih sendiri tidak selamanya dalam ranah qath’i, namun juga dalam ranah dzanni. Konsepnya yang dinamis menjadikan fikih akan terus melakukan pembaruan-pembaruan sesuai tuntutan zaman yang terus berkembang. Sehingga munculah tawaran fikih kontekstual sebagai bentuk untuk mendialogkan nash-nash syariat dengan dimensi realitas. Fikih hadir untuk menjawab dan menjadi solusi berbagai problematika masyarakat.

Pembahasan fikih baik secara keilmuan maupun kontekstual merupakan menu wajib di pondok pesantren. Dalam hal ini, pesantren merupakan pusat studi keilmuan fikih yang paling akurat. Pesantren merupakan komponen sentral dalam perkembangan fikih dan perumusannya. Dimulai dari sosok kiai yang harus memiliki kompetensi keilmuan fiqh wa ushulihi. Pada konteks ini, masyarakat pesantren -kiai, guru dan santri- tidak hanya menjadi konsumen dari ahkam al-mustanbathah namun juga memiliki potensi dan andil besar dalam memproduksi hukum Islam yang kontemporer dan aktual serta berperan dalam membangun kultur hukum Islam.

Pentingnya Fikih Digital 

Fenomena peralihan era society 4.0 menuju society 5.0 menjadikan teknologi bukan hanya sebuah penunjang bagi manusia melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, jika society 4.0 berfokus pada pengembangan teknologinya maka society 5.0 lebih menitik beratkan pada konteks manusianya. Era Society 5.0 identik juga dengan era digital.

Sebagai contoh kasus, maraknya isu mengenai tekhnologi AI (artificial intelligence) yang digadang-gadang dapat menggantikan pekerjaan manusia mendapatkan banyak respon dari berbagai pihak. Banyak pihak yang merasa diuntungkan dengan adanya peralihan society 5.0 ini, di lain sisi teknologi juga dapat menjadi ancaman dan merugikan beberapa pihak yang lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan timbulnya perubahan-perubahan yang menjadi perhatian beberapa kalangan. Termasuk tokoh-tokoh agama yang merasa society 5.0 telah membawa perubahan pada ranah agama.

Contoh kasus lain, keputusan muktamar NU ke-32 di Makassar tahun 2010 menyikapi masalah trading forex (foreign exchange) yang dinyatakan halal. Kemudian  keputusan bahtsul masail NU mengenai cryptocurrency atau transaksi kripto yang  dinyatakan halal dengan syarat.  Fenomena tersebut menunjukkan perkembangan teknologi dan arus informasi yang begitu cepat tentu saja akan menyeret perubahan besar dalam berbagai kehidupan manusia. Perubahan merupakan keniscayaan yang harus diterima oleh seluruh umat manusia. Maka perubahan-perubahan tersebut hanya dapat dicarikan solusi dan pengendaliannya, bukan untuk ditentang ataupun dihentikan.

Menyikapi hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa era yang baru akan memunculkan kondisi yang baru, dan kondisi yang baru akan selalu membutuhkan sebuah hukum baru. Perubahan pola interaksi yang disebabkan oleh teknologi membutuhkan sebuah rumusan hukum kongkrit, perubahan hukum dalam konteks muamalah merupakan hal yang wajar, karena tema muamalah bersifat pelengkap (mutammim), jadi aturan yang dihasilkan bersifat fikih yang elastis, global dan kontekstual yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman, berbeda dengan hukum ibadah yang rigit, kaku, dan detail.

Merespon perubahan yang ditimbulkan oleh era society 5.0, pondok pesantren seharusnya menjadi garda terdepan untuk merumuskan sebuah konsep fikih yang dapat disebut fikih digital. Fikih digital ini akan menjadi rujukan masyarakat digital dalam bermuamalah di dunia maya. Kontekstualisasi fikih digital ini berorientasi pada maslahah ‘ammah tanpa harus merombak sistem hukum yang telah ada.

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam Merumuskan Fikih Digital 

Dalam konteks khazanah pemikiran fikih, sebelum menjadi sebuah hukum praktis yang dapat diaplikasikan oleh semua kalangan, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menentukan sebuah hukum suatu kasus tertentu. Prosedur tersebut dibahas dalam cabang keilmuan ushul fiqh dan dikodifikasikan dalam ilmu qawaid fiqhiyyah.

Untuk dapat merumuskan solusi atas problematika dalam dunia digital, diperlukan pengkajian kritis pesantren terhadap adanya syariat Islam itu sendiri.  Maqashid syari’ah dalam pengertian sederhananya dapat dipahami sebagai segala hukum dan ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, maqashid syar’iah mengalami pergeseran makna secara dinamis dari yang paling sederhana hingga makna yang holistik. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangannya dari masa pertumbuhan fikih sampai sekarang. Maka dapat dipahami bahwa maqashid syar’iah harus bisa menjadi pijakan serta arah ketentuan sebuah hukum tanpa terikat ruang maupun waktu, karena tuntutan terhadap keterbukaan pemikiran dalam lintas disiplin keilmuan haruslah memiliki arah dan landasan yang jelas untuk menjaga kemurnian hukum dari pengaruh kepentingan egosentrisme manusia.

Konsep maqashid syar’iah dalam konteks fikih digital ialah mengatur dan menjaga, hal ini menunjukkan adanya keselarasan antara maqashid syar’iah dengan sa’adah al-darain yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat yang hanya akan diperoleh jika manusia dapat melakukan suatu hal secara tertib dan terjaga.

Pesantren dalam hal ini telah dibekali banyak teori-teori dalam istinbath al ahkam (menentukan hukum syariat). Metode yang diusung pondok pesantren dalam menetapkan hukum yaitu konsep ijtihad jama’i (perumusan hukum kolektif) dengan melibatkan banyak ahli dalam dispilin ilmu tertentu untuk menjembatani adanya kebuntuan ijtihad. Salah satu pelopor teori ijtihad jama’i di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah yaitu kiai Sahal, beliau mencanangkan ijtihad jama’i ini sejak tahun 90-an. Implementasi dari teori tersebut yang paling masyhur di kalangan  pesantren ialah bahtsul masail.

Dalam merumuskan fikih digital, terdapat tiga unsur maqashid syar’iah yang harus diperhatikan dengan seksama sebagai rujukan pihak pesantren dalam mekontekstualisasikan hukum:

  1. Nushus al-Syari’ah (Teks Syariat)

Para ulama sepakat bahwa nushus al-syari’ah yakni Al-Qur’an, hadis, dan aqwal ulama (ijma’) merupakan sumber utama hukum Islam. Namun nushus sudah tidak dapat diproduksi lagi karena keterikatannya dengan ruang dan waktu dan menjadikannya terlihat sebagai hal yang paten yang tidak dapat diganggu gugat. Pada kenyataannya, meskipun nushus al-syar’iah terlihat seperti statis dan tidak memuat hal-hal yang berhubungan problematika yang aktual, namun bukan berarti tidak dapat dihadapkan dengan berbagai realita yang berbeda-beda. Karena relevansi Al-Qur’an dengan kehidupan manusia tidak dapat dibatasi dengan zaman. Maka dari itu, untuk mengatasi ketertinggalan teks di hadapan realita dan tetap mempertahankan kontekstualnya, dibutukan pemahaman dan penafsiran-penafsiran ulang agar nushus al-syar’iah tidak pernah lapuk dan rapuh dimakan usia.

  1. al-Waqi’ (Realitas),

Dalam perumusan fikih digital, realita juga merupakan pijakan utama bagi seorang mujtahid untuk memformulasikan hukum. Realitas dapat menjadi sumber rujukan hukum apabila seorang tidak dapat menemukannya dalam nushus al-syar’iah (Al-Qur’an  atau hadis) maka dapat merujuk pada ‘urf (kebiasaan) mengingat nushuh al-syari’ah tidak lahir dari ruang yang hampa dan berdiri sendiri. Ia merupakan respon dari realitas yang terjadi pada masa itu. Dialektika antara nushus al-syar’iah dan realitas itulah yang kemudian melahirkan makna dari teks itu sendiri. Karena keduanya memiliki hubungan kausalitas yang erat maka kita tidak dapat mengabaikan salah satu dari keduanya. Dari sinilah makna tersebut dapat diambil sebelum akhirnya dihubungkan dengan nilai-nilai universal dari maqashid syar’iah.

  1. al-Qanun (Perspektif Hukum)

Dalam sistem tata negara ini terdapat undang-undang yang mengatur seluruh hukum yang berlaku bagi penduduknya. Tidak terkecuali hukum informasi dan transaksi elektronik, seluruh hal yang berkaitan dengan dunia digital tidak luput dari pengawasan dan peraturan perundang-undangan. Maka dalam menentukan sebuah masalah yang berhubungan dengannya diperlukan perspektif UU ITE sebagai pengesahan menurut agama maupun negara.

Menjadikan tiga unsur maqashid syari’ah sebagai framework dalam istinbath ahkam khususnya pada kasus yang berkaitan dengan muamalah digital, maka akan menghasilkan output hukum yang elastis dan berbasis mashlahah. Wallahu a’lam.

Oleh: Rodlitu Bimasyiatillah, salah satu peserta nominator terbaik ke-11 Festival Literasi Santri 2023 yang diadakan oleh Pesantren Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 80 kali

Baca Lainnya

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Keistimewaan Ilmu Nahwu

12 Juli 2024 - 19:19 WIB

Melestarikan Dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin Era Modern Melalui Tulisan

28 Juni 2024 - 07:24 WIB

Hikmah Hari Raya Idul Adha

14 Juni 2024 - 08:06 WIB

Trending di Kolom Jum'at