KOLOM JUM’AT XI
Jum’at, 15 Oktober 2021
الْجَنَّةُ وَ نَعِيْمُهَا سَعْدٌ لِمَنْ يُصَلِّيْ وَ يُسَلِّمُ وَ يُبَارِكُ عَلَيْهِ
“Surga dan kebahagiaannya adalah keberuntungan bagi orang yang menghadiahkan shalawat dan salam serta berkah kepada Muhammad.”
Kitab Al Barzanji, karangan Syekh Ja’far Al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim, dibuka dengan bait yang begitu indah. Ia menjanjikan bagi siapa saja yang bershalawat kepada Nabi, maka surga adalah balasannya. Maka berbahagialah kita yang dipilih sebagai umat Nabi Muhammad saw. Serta bisa merayakan kelahirannya dengan penuh suka cita. Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad
Maulid Nabi sejatinya bukan hanya perayaan tahunan dengan rentetan acara yang dibarengi dengan berbagai lomba. Namun, mengutip dari Syekh Sa’id Ramadlan al-Buthi bahwasanya “Peringatan maulid Nabi dan pembacaan shalawat tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”[1] (Syukron Makmun:2013). Hal ini tentu tidak serta merta membuat kita hanya asyik melantunkan shalawat di hari lahirnya, akan tetapi melakukan tindakan-tindakan mulia yang tercermin dari teladan Nabi setiap harinya.
Maulid Nabi yang kita rayakan setiap tahunnya tidak bisa dilepaskan dari awal mula sejarahnya yang hingga kini masih diperdebatkan, antara bid’ah atau tidak perayaannya. Peristiwa ini mungkin akan membuat kita berpikir ulang tentang esensi perayaan maulid Nabi dan hikmah dilahirkannya Nabi Muhammad saw. ke dunia.
Salah satu pendapat mengenai sejarah maulid Nabi di antaranya menyebutkan bahwa Muzaffaruddin Gekburi, salah satu pemimpin setingkat Bupati zaman pemerintahan Salahuddin Al Ayyubi, adalah orang pertama yang menyelenggarakan maulid Nabi. Lalu, hal tersebut diadopsi oleh Salahuddin Al Ayyubi, penguasa Haramain saat itu, dengan mengeluarkan instruksi pada jamaah haji untuk menginfokan kepada masyarakat Islam lainnya bahwa mulai 12 Rabi’ul Awwal 580 H (1184 M) akan dirayakan sebagai hari maulid Nabi untuk menyulut semangat para muslim yang kala itu sedang berjuang dalam perang salib. Sebagaimana direncanakan, nyatanya perayaan ini memang memberikan dampak positif yang ditengarai menjadi salah satu sebab berhasilnya para muslim merebut Yerussalem dari bangsa Eropa dan Masjid al-Aqsa kembali berfungsi sebagai masjid hingga kini.[2] (Syukron Makmun: 2013).
Perselisihan pendapat mengenai sejarah penyelenggaraan maulid Nabi pertama tidaklah akan mengubah peristiwa-peristiwa luar biasa serta hikmah lahirnya Nabi Muhammad saw. ke bumi. Di antara yang tertulis di Al-Sirah al-Nabawiyyah karangan Abul Hasan Ali al-Hasani al-Nadwi disebutkan bahwa dalam kitab Dalail al-Nubuwwah, Al-Baihaqi meriwayatkan pada hari kelahiran Nabi empat belas balkon Istana Kisra runtuh, surutnya Danau Sawa, dan padamnya api Persia setelah ribuan tahun menjadi sesembahan rakyatnya.[3] (Abu al-Hasan Ali al-Hasani: 2020).
Tentu hal di atas tidak terlepas dari kuasa Allah akan hikmah penciptaan al-Insan al-Kamil, Muhammad saw. Dalam firmanNya Allah menyebutkan:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al-Anbiya’: 107)
Secara jelas, Allah menegaskan pada ayat tersebut bahwa Nabi Muhammad saw. bukan hanya menjadi rahmat bagi umatnya, tetapi bagi nonmuslim, hewan, tumbuhan, dan apa-apa yang ada di seluruh alam. Rahmat adalah belas kasih yang melebur dalam diri Nabi, sehingga setiap langkah yang beliau jejak akan membawa kebahagiaan bagi sekitarnya.
Namun, tak dapat dipungkiri pada masa sekarang kita sebagai seorang muslim justru mengadopsi kebalikannya. Kita tidak serta merta mengamini apa yang terkandung pada ayat di atas, tapi justru mengukung sifat belas kasih Rasulullah untuk diri sendiri. Menganggap selain Islam adalah sesuatu yang harus dihindari, apatis pada lingkungan sekitar, atau bahkan menebarkan kebencian pada sesama manusia.
Tentu kita tidak lupa pada peristiwa ketika penduduk Thaif melempari Nabi Muhammad saw. dengan batu saat beliau berdakwah hingga terluka parah. Kemudian Allah menawarkan pada Nabi agar mereka diberikan balasan yang setimpal dengan menimpakan gunung pada para penduduk tersebut. Kebalikannya, hal ini justru ditolak oleh Rasulullah. Bahkan beliau mendoakan untuk kebaikan mereka walalupun Allah swt. baru mengabulkannya setelah sepuluh tahun lamanya. Yang mana saat itu utusan Bani Tsaqif dari Thaif menyatakan keislamannya. Nabi sekali-kali tidak pernah lupa akan sifat belas kasihnya.[4]( Emha Ainun Nadjib: 2019)
Kita juga tidak mengingkari bagaimana welasnya Nabi Muhammad saw. ketika menyuapi pengemis buta Yahudi yang tiap kali beliau menyuapi keluarlah cacian serta makian untuk Nabi. Lagi, ini sebagai bukti bahwa sekalipun Nabi tidak pernah melupakan perannya sebagai rahmatan lil alamin hingga pengemis tadi tergugah hatinya dan memeluk Islam.
Sebagai tambahan, K.H. Husein Muhammad dalam bukunya menyebutkan bahwa berelasi, memberi hadiah, membesuk, menyampaikan ucapan selamat kepada nonmuslim merupakan bagian dari kebaikan sebagaimana keputusan Dar al-Ifta’, Dewan Fatwa Mesir.[5](Husen Muhammad: 2020).
Oleh karena itu, marilah kita sebagai umatnya meniru sifat belas kasihnya yang tidak pandang bulu dan waktu. Mengaku-ngaku sebagai umatnya tanpa meneladani akhlak Nabi, tentu bukanlah cerminan diri sebagai seorang muslim. Mari merayakan maulid dengan penuh suka cita dan kegembiraan dibuktikan dengan menjaga sesama. Wallahu a’lam bi al shawab.
[1] M. Syukron Maksum, Maulid al-Barzanji (Yogyakarta: Media Pressindo, 2013), hlm. 12.
[2] Ibid, hal 10-12
[3] Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, As-Sirah an-Nabawiyyah, Terj. Muhammad Halabi Hamdi dkk (Yogyakarta: Diva Press, 2020), hal. 165
[4] Ahmad Najib dalam buku Islam itu Rahmatan lil Alamin Bukan untuk Kamu Sendiri karangan Emha Ainun Nadjib, 2019
[5] K.H. Husein Muhammad, Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan (Yogyakarta: Diva Press, 2020) hal.288
Oleh: Dhorifah Najib, Alumni Mansajul Ulum tahun 2012.