Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 30 Sep 2022 13:33 WIB ·

Mengenal Sosok Nabi Teladan


 Sumber gambar: Pars Today Perbesar

Sumber gambar: Pars Today

KOLOM JUM’AT LVIII
Jum’at, 30 September 2022

Kita sering mendengar nama Nabi Muhammad SAW di berbagai kesempatan, terlebih di bulan Rabiul Awal seperti sekarang ini. Orang Islam memperingatinya sebagai hari lahirnya. Gema sholawat terdengar dimana-mana tak henti-hentinya mereka menyebut nama beliau dan mengelu-elukannya. Kita juga sering merasa dekat dengannya. Tapi apakah kita sudah benar-benar mengenal beliau? Jika belum, maka rasanya sulit jika kita merasa paling dekat dengannya.

Nabi Muhammad adalah kekasih Allah SWT. Ia diutus menjadi rasul untuk mengemban amanah rahmatan lil alamin (sebagai rahmat bagi alam semesta). Ia adalah rasul hebat yang telah mengentaskan orang-orang yang menyimpang pada masa jahiliyah dari keterhanyutan tak menentu dalam pencarian Tuhan. Ia lahir pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah. Demikian sejarah menyebutnya. Penyebutan itu lantaran terjadi peristiwa penyerubuan ka’bah oleh pasukan raja Abrahah yang berkendara gajah sebagaimana yang terekam dalam surat al-Fil.

Nabi Muhammad SAW tampil sebagai tokoh pembaharu. Risalah yang ia bawa berhasil merubah wajah dunia berikut peradaban manusia yang semakin baik dan terhormat. Tidak mengherankan bila beliau disebut-sebut sebagai orang paling sempurna, mulia, dan paling banyak pengikutnya. Kisah tentang kesuksesan Nabi sudah sangat jamak kita ketahui, karena telah masyhur tertulis dalam sejarah. Tetapi kesuksesan dan kehebatan diri Nabi tentu bukan datang tiba-tiba. Secara logika, tak ada anak yang hebat kecuali ia terlahir dari orang tua yang hebat. Jika demikian, siapa orang tua beliau? Pertanyaan semacam ini hampir jarang menjadi perhatian kita bersama. Karena rata-rata kita meyakini bahwa kehebatan Nabi murni karena wahyu semata.

Nabi Muhammad adalah putra Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah. Mereka adalah orang tua paling beruntung di jagat raya ini. Tidak hanya di dunia namun juga di akhirat. Sayyid Abdullah adalah putra Sayyidah Fatimah binti Amr bin A’idz bim Imran bin Makhzum bin Yaqdzah bin Murrah. Ia berasal dari kabilah tersohor dan mempunyai kedudukan tinggi di kalangan kaumnya. Dikutip dari buku Lentera Kegelapan yang ditulis oleh tim sejarah Atsar Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Lirboyo Kediri, diceritakan bahwa selama beberapa kurun waktu Makah dipegang oleh kabilah yang berbeda-beda. Dari waktu ke waktu ajaran Nabi Ibrahim mulai luntur dan membaur dengan kepercayaan paganisme. Namun ketika kota ini jatuh ke tangan klan Quraisy, masih ditemukan beberapa orang yang memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim. Salah satu dari mereka adalah Abdul Muthalib, kakek Nabi, yang saat itu  menjabat sebagai pemuka Quraisy.

Ka’bah dengan keelokannya membuat setiap mata terpana dan menjadi bangunan yang diidamkan untuk dikunjungi. Meningkatnya peziarah ke Makkah semakin tahun semakin ramai dan Makkah dapat meraup hasil dari perdangangan yang selama ini menjadi andalan mereka. Tapi di sisi lain kaum Quraisy juga merasa berat untuk selalu menyediakan kebutuhan air yang semakin sulit, lantaran panas dan gersangnya kota Makkah. Satu-satunya sumur yang bisa diandalkan adalah sumur zam-zam. Tetapi beberapa tahun silam sumur zam-zam telah dikubur oleh suku Jurhum.

Suatu hari Abdul Muthalib selama tiga hari berturut-turut bermimpi menggali sumur yang berlokasi di suatu tempat yang banyak kotoran dan darahnya. Tempat itu selalu dikunjungi burung gagak yang mematuk tanah tersebut. Di tempat itu juga banyak ditemukan sarang semut. Abdul Muthalib lalu menyusuri sekitar Masjidil Haram dan tidak disangka ternyata lokasinya itu terletak di antara berhala Ishaf dan Na’ilah. Tanpa banyak bicara, dengan dibantu oleh Al Harits, satu-satunya putra yang dimiliki saat itu, ia mulai menggali kembali sumur zamzam. Pekerjaan ini jelas beresiko. Jika tempat itu diusik maka kaum Quraisy pasti protes keras. Abdul Muthalib akan dianggap merusak tempat suci mereka. Ternyata apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. Abdul Muthalib dianggap lancang terhadap tempat suci mereka.

Naasnya, ia tak memiliki siapa-siapa yang mampu membelanya. Ia hanya memiliki satu putra. Hari itu ia benar-benar merasa miskin dan lemah. Berkelebatlah keinginannya untuk memiliki putra lebih dari satu. Dengan demikian mereka akan siap berdiri di belakangnya untuk membelanya. Akhirnya ia bernadzar untuk mengorbankan salah satu putranya jika mempunyai anak laki-laki lebih dari sepuluh. Semua orang tercengang mendengar nadzar itu. Seakan nadzar itu membangkitkan kembali cerita leluhurnya, Nabi Ibrahim dan Ismail.

Beberapa tahun kemudian mimpi Abdul Muthalib itu terwujud. Ia telah memiliki beberapa orang putra. Ia menjadi orang yang percaya diri dan merasa bak seorang raja yang dikawal punggawa. Lalu ia berjalan memimpin putra-putranya menuju Ka’bah. Penduduk Makah terbelalak menyaksikan pemandangan tak biasa hari itu. Tetapi Abdul Muthalib telah terikat janji oleh nadzarnya sendiri. Karena itu keluarga tersohor ini kemudian melakukan pembicaraan serius perihal nadzar yang telah diucapkan Abdul Muthalib beberapa tahun silam. Mendengar hal itu kesepuluh putranya tercengang dan tak percaya bahwa ternyata setelah dewasa salah satu dari mereka harus ada yang dikorbankan di tangan ayah mereka sendiri. Kesepuluh putranya pun melakukan apa yang diperintahkan ayahnya untuk melaksanakan undian sebagai penentu siapa yang akan dikorbankan. Abdul Muthalib tidak bisa membayangkan bila yang harus dikorbankan adalah putra kesayangannya, Abdullah, si bungsu yang sedang mekar ketampanannya.

Di depan juru ramal yang mengundi nama putra Abdul Muthalib, nama Abdullah-lah yang tertera. Nadzar telah terucap undian juga telah keluar. Tiba saatnya Sayyid Abdullah untuk dikorbankan. Ibu Abdullah tak kuasa menahan kepedihan karena membayangkan akan terpisah dengan sang putra bungsunya. Ada yang mencoba mencegah, namun tidak dihiraukan oleh Abdul Muthalib. Meski demikian, bukan berarti ia tak bersedih. Sesungguhnya ia juga sangat berat hati. Tetapi janji nadzarnya telah mengikatnya. Hingga ia mendengar kabar tentang orang ‘pintar’ yang mampu memberikan solusi tentang kebingungannya itu. Ia pun bergegas menjumpainya di Hijaz untuk menanyakan jalan lain sebagai ganti dari penyembelihan Abdullah. Berangkatlah Abdul Muthalib menuju Hijaz. Tak henti-hentinya Abdul Muthalib berdoa agar Abdullah terbebas dari jeratan nadzar yang diucapkannya. Setelah bertemu dengan orang pintar itu, ia langsung menceritakan persoalannya. Lalu ia diperintahkan untuk kembali esok hari untuk menunggu jawaban.

Keesokan harinya orang pintar itu langsung memberitahu tanpa banyak basa-basi. “Pulanglah kalian. Persembahkanlah Abdullah dan sepuluh unta lalu undilah keduanya. Jika undian jatuh pada anak kalian maka tambahlah unta persembahan hingga Tuhan memberikan ridho-Nya. Namun jika undian jatuh pada unta maka sembelihlah unta itu sebab Tuhan telah menghendaki keselamatan anak itu.” Demikian pesan orang pintar itu sesaat sebelum kepergiannya.

Undian pertama telah dilakukan dan hasilnya Abdullah tetap harus dikorbankan. Sesuai saran orang pintar tersebut unta-unta persembahan segera ditambah hingga mencapai 100 ekor. Saat itulah undian baru menunjukkan bahwa yang harus dikorbankan adalah unta 100 ekor tersebut. Mendengar kabar itu, semua orang di jazirah Arab menyambut suka ria, terutama Abdul Muthalib dan keluarganya. Mereka begitu bahagia karena putra kesayangannya tidak harus dikorbankan.

Kisah itu menyebabkan keyakinan masyarakat, bahwa Abdullah adalah bukan putera sembarangan. Ia adalah laki-laki istimewa yang dikirimkan Tuhan ke bumi untuk membawa misi tertentu. Tidak mengherankan bila sang ayah, Abdul Muthalib sangat berhati-hati dalam merawatnya. Ia juga tidak ingin salah pilih dalam mencarikan pasangan untuk anak kesayangannya itu.

Pilihan pasangan itu jatuh pada Sayyidah Aminah. Ia dipilih oleh Abdul Muthalib untuk  memjadi menantunya. Aminah adalah putri dari seorang laki-laki tersohor pemimpin klan Zuhrah bernama Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah. Aminah adalah seorang perempuan cantik, bunga desa Bani Zuhrah yang terbungkus etika bangsawan serta memiliki budi pekerti yang luhur. Keanggunan dan kemuliaanya seakan membuat iri jutaan perempuan saat itu.

Sepasang suami istri dari keluarga terhormat dan berakhlak mulia inilah yang dipilih Allah untuk melahirkan kekasih-Nya. Karena itu, tidak heran jika Nabi sejak kecil telah menjadi anak yang memiliki akhlak mulia dan sangat dihormati masyarakatnya. Karena ia berasal dari keluarga terhormat dan sangat disegani. Ia telah terbiasa menyaksikan keluarganya yang menjadi pejuang dan pembela kelompok tertindas di masyarakatnya. Itu semua tentu menjadi inspirasi dan pengetahuan dasar bagi Muhammad muda. Hingga ia menjadi pemuda yang tumbuh dengan akhlak mulia dan dipercaya oleh masyarakatnya. Di usianya yang masih belia ia telah dijuluki dengan al-Amin. Kejujuran dan wibawanya sangat masyhur di jazirah Arab saat itu. Maka layaklah beliau diangkat sebagai sang Rasul, pembawa risalah Tuhan dan pendidik umat manusia.

Kini, saatnya kita harus belajar untuk meneladaninya. Upaya peneladanan itu merupakan ungkapan rasa syukur yang harus kita tunjukkan. Karena tanpa usaha apapun kita telah dipilih oleh Allah menjadi umat Nabi yang terbaik dan satu-satunya kekasih Allah. Nikmat mana lagi yang melebihi itu di dunia ini? Masihkan kita hendak mengabaikannya? Shallu alan Nabi Muhammad.

Oleh: Ana Fatimatuz Zahro’, Santri Mansajul Ulum.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 551 kali

Baca Lainnya

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Keistimewaan Ilmu Nahwu

12 Juli 2024 - 19:19 WIB

Melestarikan Dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin Era Modern Melalui Tulisan

28 Juni 2024 - 07:24 WIB

Trending di Kolom Jum'at