KOLOM JUM’AT LXXIV
Jum’at, 21 April 2023
Telah 4 tahun sejak saya memutuskan untuk pergi ke negara di bagian utara benua Afrika, saya tinggal di Maroko. Mungkin kalian familiar dengan negara ini setelah piala dunia 2022 kemarin. Pasalnya tak disangka-sangka negara muslim satu ini lolos sampai 4 besar. Selama 4 tahun itu saya sempat hidup di 3 kota berbeda, yaitu el-Aioun, Rabat, dan Kenitra. Banyak sekali pengalaman sekaligus culture shock yang saya alami sebagai mahasiswa disini.
Satu perkataan senior yang sangat melekat adalah, “idza kunta fil maghrib fa la tastaghrib”, Jika engkau berada di Maroko, janganlah merasa asing (heran). Awalnya kita sebagai mahasiswa baru bertanya-tanya kenapa? Kenapa tidak boleh merasa terlalu heran kalau kita hidup disini? Setelah hidup beberapa lama kami pun sadar, dilihat dari sudut manapun Indonesia dan Maroko adalah dua negara yang berbeda. Geografis, pemerintahan, budaya, perekonomian dan lainya.
Perbedaan yang dimaksud semakin terasa ketika puasa dan idul fitri. Puasa di Maroko rata-rata dilaksanakan selama 13-14,5 jam. Durasi setiap puasanya dipengaruhi oleh musim yang sedang berlangsung. Tahun pertama ketika saya di el-Aioun, saat itu musim panas, puasa menjadi sangat lama, yaitu 14.5 jam. Belum lagi panas yang sangat ekstrim, membuatku benar-benar berfikir untuk pulang saja. Panas di daerah el-Aioun saat itu bisa mencapai 45 derajat. Sungguh sebuah perpaduan yang sangat apik bukan?
Mahasiswa di Maroko tersebar di berbagai kota, tidak seperti di Mesir yang seluruh mahasiswanya terpusat di al-Azhar. Mereka ada yang di Rabat, Kenitra, Marrakech, Tetouan, Tangier dan masih banyak lagi. Hal ini membuat kisah yang kita alami juga beragam. Setiap kota memiliki ciri khas masing-masing. Seperti Marrakech yang terkenal dengan kota turis. Bahan pokok di kota itu sungguh sangat mahal. Belum lagi seperti halnya di Indonesia, ketika masuk bulan Ramadhan harga bahan pokok akan semakin melambung.
Beruntung bagi mahasiswa yang kampusnya menyediakan kantin. Pasalnya jika hari-hari biasa mereka akan menyediakan makan siang dan malam dengan harga 1.5 dirham atau setara dengan 2.200 rupiah. Menunya sendiri terdiri dari masakan khas Maroko, seperti tajine dan harira. Namun ketika Ramadhan mereka akan menyediakan bahan mentahnya, seperti susu, telur, keju, yogurt. Hal ini sangat membantu perekonomian kami sebagai mahasiswa.
Selain keluarga, hal yang paling kita rindukan sebagai perantau tentu adalah makanannya. Begitu juga berbagai macam takjil yang biasa menghiasi setiap sudut jalanan kota di Indonesia ketika bulan Ramadhan. Tentu saja tidak ada takjil semacam kolak atau bakwan disini. Orang Maroko biasanya menjual berbagai macam manisan atau kue. Yang terkenal ada chabakia. Sejenis manisan yang digoreng dan dilumuri madu. Atau ada juga brewaj gorengan segitiga mirip samosa kalau di Indonesia.
Demi bulan Ramadhan semua hal disini akan diubah. Seperti jam kerja, sekolah, hingga waktu jamnya juga. Artinya, biasanya pemerintah Maroko akan membuat waktu mereka lebih cepat satu jam. Hal ini dilakukan agar waktu puasa tidak begitu lama. Jadi kalau biasanya jarak antara Indonesia dan Maroko terpaut 6 jam, maka ketika Ramadhan akan bertambah menjadi 7 jam. Untuk jam kerja dan sekolah juga akan dikurangi. Hal ini karena biasanya orang-orang tidak tidur pada malam hari dan memilih tidur setelah subuh.
Hal yang sangat menarik disini adalah tradisi warga Maroko yang sangat menyukai buka puasa bersama keluarga di rumah. Ketika menjelang maghrib jalanan disini akan sangat sepi. Restoran, kafe, semua tutup. Bahkan tidak ada taksi yang lewat. Kebiasaan ini berbanding terbalik dengan mayoritas warga kita yang sangat hobi untuk berbuka di luar rumah. Saat buka puasa mereka hanya makan manisan dan teh. Mereka baru akan makan makanan berat ketika tengah malam sekaligus sahur.
Setiap masjid di Maroko rata-rata melaksanakan salat terawih dengan 8 rakaat setelah isya dan dilanjutkan dengan 12 rakaat terawih dan shalat witir ketika waktu sahur. Bacaan imam juga beragam. Ada yang satu halaman hingga 2 tsumun. Dalam qira’ah Warasy, 2 tsumun berarti seperempat juz dengan bacaan yang relatif lambat. Cukup membuat kaki kebas atau bahkan tremor. Mahasiswa Indonesia biasanya akan melakukan tarawih keliling. Bukan mencari mana yang tercepat tapi mencari bacaan imam yang paling enak.
Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, masjid akan semakin ramai. Orang Maroko sering menyebutnya dengan awasyir mabroukah. Puncaknya akan terjadi pada malam 27 Ramadhan. Para orang tua akan memakaikan anak mereka baju baru, henna, dan didandani sebaik mungkin. Mereka akan keluar pada malam hari untuk ikut sholat tarawih di masjid. Imam-imam akan menambah rakat shalat dan doa qunut yang sangat panjang di akhir rakaat. Mereka percaya bahwa malam 27 adalah malam lailatul qadar. Malam ini terasa makin istimewa karena raja mereka akan ikut serta sholat teraweh di masjid Hassan II Cassablanca.
Memasuki idul fitri biasanya pemerintah masing-masing kota akan mengeluarkan sebuah maklumat yang berisi daftar tempat di selenggarakannya salat idul fitri. Semua tempat yang dimaksud pasti adalah tanah lapang. Di Kenitra, tempat saya tinggal, biasanya kami shalat di ghabah (hutan kota) atau di kasbah mehdia. Kedutaan Indonesia di Maroko secara rutin akan menyelenggarakan salat idul fitri bersama di KBRI Rabat. Kemudian di lanjutkan dengan halal bi halal hingga open house di wisma duta.
Momen ini biasa kami gunakan sebagai ajang memburu makanan khas Indonesia. Wajar saja, pasalnya lidah kami terlampau sering merasakan bumbu Maroko. Kami dapat menemukan rendang, ketupat, hingga kue kering disana. Sedangkan orang Maroko? Kira-kira apa yang dilakukan mereka ketika idul fitri?
Mari kita perjelas dahulu bahwa idul fitri bagi warga Maroko adalah idul adha-nya orang Indonesia. Alias hari raya kedua. Mereka tidak akan seheboh orang Indonesia. Libur resmi dari pemerintah hanya berkisar 5 hari. Sebagian orang mudik dan berkumpul bersama keluarga sekaligus bersilaturahmi. Berbeda halnya saat idul adha. Hebohnya sudah seperti idul fitri di Indonesia. Libur resmi bahkan mencapai 2 minggu. Semua toko, pasar, mall, kantor pemerintahan, dan semua fasilitas publik tutup.
Saya awalnya juga heran karena masih anak baru, ketika kakak kelas mengajak belanja untuk persiapan dua minggu kedepan. Menurutnya, toko-toko akan tutup selama dua minggu untuk merayakan idul adha. Ternyata idul adha bagi mereka adalah hari raya pertama dan sangat sakral. Masing-masing rumah akan menyembelih minimal satu kambing. Karena rumah disini berbentuk gedung-gedung apartemen, jadilah atap atau kami menyebutnya sutuh menjadi tempat menyembelih. Pemandangan yang agak aneh adalah ketika melihat kambing-kambing yang telah ada di atap bahkan dari tanggal 1 Dzulhijjah. Banyak yang berjualan makanan kambing juga sepanjang jalan. Bahkan ketika pagi hari raya kamu akan melihat kambing-kambing yang nongkrong di balkon atau pintu depan rumah orang. Tak jarang para kambing ini juga saling sapa dan mengagetkan orang-orang yang lewat.
Tapi lebih dari itu semua, apa yang saya alami saat jauh dari rumah adalah makna “rumah” itu sendiri. Memang sedikit klise saat bilang kalau rumah adalah tempat dimana hati kita dapat merasa nyaman. Rumah lebih dari sekedar bangunan. Kadang ia berupa tempat, manusia, bahkan hewan. Seperti kucing jantan nan tampan tapi introvert yang kami pelihara di rumah. Chiki namanya, merupakan representasi “rumah” bagi saya dan teman serumah.
Di sisi lain rumah adalah sesuatu yang selalu bisa kita ciptakan. Rasa damai diterima dan suasana yang selalu kita idamkan bisa kita usahakan. Kami mahasiswa yang jauh di perantauan seringkali membuat acara seperti makan-makan bersama, diskusi, halal bi halal, silaturrahim, hingga open house dengan maksud tak lain untuk menciptakan suasana seperti di rumah, Indonesia. Berada dalam komunitas Indonesia membuat kita selalu diingatkan tujuan kita merantau sekaligus menguatkan diri masing-masing. Bahwa di manapun kita berada selalu ada “rumah” disana.
Hidup jauh dari keluarga dimana pun itu tidak akan mudah. Banyak hal yang membuat kita kadang sedikit merasa muak. Tapi kehidupan memang serangkaian dari berbagai emosi yang akan kita rangkai menjadi memori, hingga serangkaian memori itu akan menjadi pelajaran berharga yang tak akan kita lupakan. Saya selalu ingat kata-kata pengasuh pondok Mansajul Ulum, Kiai Liwauddin Najib, ketika ngaji: “Assaid man wuidzo bi ghairihi” , orang bahagia adalah yang merasa ter-mauidzoh-i dengan sekitarnya”. Semoga kita menjadi manusia bahagia, manusia yang selalu bisa mengambil banyak pelajaran dimanapun berada. Terakhir, selamat merayakan raya di manapun berada!
Kenitra Maroko, 20 April ‘23
Oleh: Ifadhun Nada, alumni Mansajul Ulum tahun 2017 dan mahasiswa Universitas Ibnu Tofail, Kenitra Maroko.