Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 29 Sep 2023 15:03 WIB ·

Pentingnya Konsep Baru Pembelajaran Fikih Dalam Kaderisasi Santriwati Sebagai Guru Agama yang Mumpuni


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

KOLOM JUM’AT LXXXIII
Jum’at, 29 September 2023

Fikih merupakan jantung utama ilmu di pesantren, selain ilmu-ilmu lain, seperti balaghah, tafsir, hadis, nahwu, shorof, dan lain sebagainya.  Ilmu fikih lebih mendominasi karena ia mengatur berbagai amaliyah keseharian manusia, baik pada urusan ubudiyah, mualamah, munakahah, faraidh, jinayat, hudud, maupun siyasah.

Fikih sendiri dalam kitab Waraqat didefinisikan sebagai berikut:

وَالْفِقْهُ الَّذِي هُوَ الْجُزْءُ الثَّانِي لَهُ مَعْنَى لُغَوِيٍّ وَهُوَ اَلْفَهْمُ وَمَعْنَى شَرْعِيٍّ وَهُوَ مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِى طَرِيْقُهَا الْإِجْتِهَادُ

“Kata fikih secara bahasa mempunyai makna paham. Sedangkan menurut syara’ berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang jalan penetapannya melalui ijtihad.”

Faham di sini berarti memberi pemahaman kepada umat Islam terkait bagaimana manusia harus bertindak dalam keseharian. Karena begitu kompleksnya mengatur dan menjawab berbagai permasalahan amaliyah manusia, fikih menjadi pedoman bagi umat. Namun, perlu dilihat kembali bahwa tidak selalu apa yang tertera di teks fikih sesuai dengan kondisi zaman yang mengalami perkembangan setiap waktu.

Selama beradad-abad pesantren telah menjadi poros lembaga keagamaan yang dirujuk untuk mengatasi permasalahan agama dengan sistem pengajarannya yang berbasis kitab kuning. Dalam dunia pesantren para santri dididik untuk memahami keagamaan secara mendalam, baik santri laki-laki maupun santri perempuan. Akan tetapi karena masih berpaku pada teks-teks klasik yang ternyata perlu pemahaman lebih lanjut, maka biasanya masih sekadar memaparkan teks yang merekam kejadian beberapa abad lalu. Teks-teks tersebut sebagian juga masih terkesan meminggirkan perempuan. Karena itu, diperlukan sebuah metode baru yang sekiranya menghasilkan hukum yang sesuai dan relevan dalam menanggapi peran-peran perempuan di masa kini dan mendukung kiprah mereka. Kita melihat bahwa untuk mengakomodir peran perempuan, diperlukan sharing atau bertukar pikiran antar sesama Perempuan untuk saling bercerita pengalaman mereka sendiri, baik pengalaman biologis maupun sosiologisnya.

Sama halnya dalam dunia pesantren, bahwa untuk mentransfer ilmu keagamaan pesantren seperti halnya fikih, terkhusus fikih yang membahas tentang perempuan seperti haid, keputihan, mandi suci, dan lain sebagainya haruslah dikaji oleh sesama santriwati. Dalam menyikapi hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pendidikan fikih untuk santriwati di pesantren, agar mereka memiliki pemahaman yang mendalam terkait kondisi mereka sendiri.

Karenanya, diperlukan konsep fikih khusus perempuan di pesantren dengan melakukan pengkaderan santriwati. Mengapa hal itu penting? Sebab ketika sesama santriwati telah melakukan sharing dan bertukar pikiran tentang pengalaman mereka, kelak bisa ditemukan sesuatu yang menjadi landasan berpikir atau patokan untuk menentukan hukum yang menjelaskan tentang hal yang perlu atau tidak perlu dilakukan oleh perempuan.

Sekarang ini, pelajaran fikih yang membahas perempuan masih banyak diampu oleh laki-laki. Sehingga banyak hukum tentang perempuan yang penjelasannya tidak bisa merekam pengalaman khusus perempuan. Para ustadz dan Kiai harus terus memberdayakan perempuan dalam menguasai ilmu fiqh. Pengkaderan ini untuk mewujudkan santriwati yang berdaya dalam memahami permasalahan ubudiyahnya. Sehingga mereka bisa menjadi guru agama bagi sesama perempuan. Ketika sudah cakap maka dia bisa menggantikan para ustadz dalam mengajar santriwati sesama perempuan.

Pengkaderan santriwati ini diperlukan agar mereka bisa menentukan sendiri sikap apa yang sekiranya baik untuk mereka ketika mengalami kodrat biologis mereka dan memilih hukum yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Dalam mengkonsep sistem pendidikan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya dasar, diantaranya:

      1. Memerdekakan Cara Pandang

Seringkali masyarakat masih terjerat paradigma yang meminggirkan kaum perempuan. Bahkan perempuan sendiri pun masih meyakini bahwa peminggiran-peminggiran yang terjadi itu adalah kodratnya. Tak heran jika masih kita temui anggapan-anggapan yang merendahkan perempuan. Hal itu juga merambat kepada para santriwati.

Santriwati perlu memerdekakan pikiran mereka dengan cara menekadkan diri untuk memiliki pendidikan yang tinggi, dengan banyak membaca buku, meniru dan termotivasi oleh perempuan sukses atau bahkan mencontoh Ibu Nyai mereka yang terlihat begitu mandiri mengurus pesantren sampai perekonomiannya ketika suaminya, Sang Kiai, fokus mengurus pengajian pesantren.

      2. Laki-Laki dan Perempuan Perlu Diperankan Seimbang

Setiap masing-masing pribadi adalah pemimpin. Sebagai pemimpin dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka demi mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin diperlukan kepemimpinan yang menjunjung keadilan bagi semua pihak, sehingga Islam bisa menjadi agama yang ramah menyapa laki-laki dan perempuan.

Untuk menciptakan sistem berkeadilan di pesantren, baik Kiai, Nyai, Ustadz dan para Ustadzah harus ikut andil dalam mendidik para santriwati. Peran aktif perempuan di pesantren diharapkan bisa memotivasi para santriwati supaya memiliki cita-cita yang tinggi untuk mendalami ilmu pengetahuan sebagaimana para santri putra yang memiliki gairah tinggi untuk belajar agama. Selain itu juga penting memberi pemahaman sejak dini terkait peran mereka yang tidak hanya berkutat di lingkungan domestik sebagai istri shalehah.

Kiai dan Nyai, setelah memiliki pemahaman dan pandangan terbuka, mereka perlu menerapkan kebijakan tersebut di pesantren. Sebab merekalah tokoh sentral yang memiliki wewenang untuk memberdayakan santriwati dengan merubah beberapa sistem, metode, hingga yang paling penting ialah cara pandang yang seringkali membedakan peran kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan.

      3. Mengkonsep Kurikulum Pembelajaran yang Memberdayakan Santriwati

Penulis melihat sejauh ini santri putra memang masih menjadi perhatian nomor satu dalam menguasai kitab-kitab kuning. Santri putra memiliki kesadaran dan rasa ingin tahu yang tinggi. Sehingga mereka dengan sungguh-sungguh mempelajari kitab kuning. Seringnya mereka membuat halaqah bersama temannya dan berdiskusi mengenai makna, nahwu-shorof hingga menterjemah kitab tersebut.

Ada sebab yang melatar belakangi kuatnya keinginan santri putra untuk menguasai kitab kuning. Hal itu karena telah tertanam dalam pikiran mereka bahwa sebagai lelaki kelak mereka akan menjadi tokoh di masyarakat yang akan ditanya mengenai permasalahan agama. Sementara perempuan ketika selesai mondok hanya dielu-elukan sebagai perempuan shalehah yang akan menjadi istri yang baik bagi suami dan keluarganya serta cakap dalam mengurus rumah tangga.

Hal itu baik, akan tetapi telah menimbulkan kesenjangan pengetahuan antara santri laki-laki dan perempuan. Jika kita sejajarkan peran mereka, maka akan tercipta pemikiran santri putri yang kritis dan mumpuni yang kelak bisa menjadi seorang tokoh agama bagi masyarakat. Mereka dapat membantu masyarakat menjawab setiap persoalan keagamaan, terkhusus permasalahan perempuan. Selain itu perempuan yang berperan penting dalam masyarakat dapat berbagi peran domestik dengan suami mereka. Apalagi perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, maka haruslah mereka memiliki pengetahuan yang luas agar kelak dapat mendidik anak-anaknya.

Untuk mencapainya tentunya diperlukan proses yang cukup panjang. Hal itu dimulai dari kurikulum pembelajaran pesantren yang menyamakan kajian kitab kuning antara santri laki-laki dan perempuan, menyamakan jam aktivitas hingga memfokuskan sistem agar santriwati sanggup menghafal muhafadzah dan memiliki kemauan yang tinggi untuk memahami nahwu-shorof sebagai alat yang menjadi kunci untuk memahami al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab lainnya.

  1. Mentradisikan Musyawarah

Tradisi musyawarah keagamaan terkait isu yang sedang hangat dibicarakan atau menyangkut hal-hal sederhana mengenai ibadah kaum perempuan perlu dikembangkan lebih maksimal. Tradisi musyawarah tidak hanya oleh santri laki-laki tetapi juga oleh santri perempuan. Sebab ketika musyawarah akan bermunculan pendapat dan argumen timbal balik dari para santriwati dalam menjawab permasalahan mereka. Hal itu menjadi tangga untuk menjajaki musyawarah dengan isu lebih kritis terkait ibadah dan amaliyah para santriwati itu sendiiri. Ketika bermusyawarah para santriwati bisa mendapat pendampingan, sekalipun yang mendampingi adalah seorang ustadz. Karena mereka masih tahap belajar dan kaderisasi.

2. Memahami Kitab Kuning dengan Pendekatan Kontekstual

Ketika dirasa sudah cakap dalam memahami nahwu-shorofnya, yang perlu dilakukan kemudian ialah membekali santriwati untuk menterjemah makna kitab kuning dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual merupakan metode memahami kitab kuning dengan melihat dan meninjau realita yang ada yang sesuai dengan zamannya. Misalnya, ketika seorang istri tengah menjalani masa iddah, apakah ia harus benar-benar berdiam di rumah sampai masa iddahnya habis? Tentunya diperlukan pemahaman terkait pengalaman perempuan dalam menjalani iddah. Sebab perempuan pun perlu bekerja untuk menafkahi dirinya dan anak-anaknya.

Kita perlu mengaktualisasikan teks-teks kitab kuning tersebut dengan kondisi dan perkembangan zaman di masa kini. Sebab penafsiran yang tekstual bisa menjadikan teks mandek dan tidak mampu menjadi jawaban masalah yang berkembang hari ini.

      4. Melibatkan Santriwati dalam Berbagai Bidang

Pemahaman yang lawas terkait larangan perempuan terlihat di ruang publik menjadikan segala hal terjangkit paradigma tersebut. Sehingga perempuan pun menjadi nyaman berada di ruang domestik pesantren. Hal itu tidak saja mempersempit ruang gerak perempuan yang menjadikan mereka tidak bisa berdikari, melainkan juga mendidik mereka menjadi manusia yang selalu berada di kelas kedua.

Untuk memutus budaya ini, lembaga pesantren perlu melibatkan dan mengajak santriwati untuk berperan aktif mengurus segala hal yang ada di pesantren. Kita bisa temui pesantren saat ini yang mulai menganut sistem semi-modern. Pesantren telah memiliki yayasan resmi yang menaungi lembaga sekolah dan perguruan tinggi. Dalam menjalankannya pun tidak saja hanya diperankan oleh laki-laki, melainkan juga  mengikutsertakan perempuan.

     5. Mengembangkan Kemampuan dan Bakat Santriwati

Mengembangkan keterampilan perempuan untuk mewujudkan fikih yang berkeadilan bagi perempuan ialah dengan mengasah kemampuan mereka dalam memahami kitab kuning. Hal itu bisa dilakukan melalui pengasahan berbagai disiplin ilmu yang terkait seperti bahasa arab, nahwu, shorof, dan balaghah. Sehingga santriwati bisa mumpuni dalam memahami kitab-kitab kuning. Selain itu perlu juga mengasahnya dengan mengikuti perlombaan dalam ajang musabaqah, atau mengadakan musyawarah maupun halaqah-halaqah.

Adapun di luar itu, banyak sekali bakat perempuan seperti melatih diri agar cakap berbicara di depan publik atau mengikuti pelatihan menulis untuk mengungkapkan ide dan pengalaman mereka melalui literasi.

Hal-hal di atas menjadi penting untuk mengawali pengkaderan santriwati yang menguasai kitab kuning. Selanjutnya mereka didorong untuk memaparkan pemahaman mereka di depan orang lain dan menuliskannya sebagai media refleksi yang dihasilkan dari pemahaman, ide, dan pengalaman perempuan sendiri.

Oleh: Shella Carissa, Santri Pondok Pesantren Kebun Jambu Al Islamy, Juara 3 Lomba Menulis Opini Santri se-Jawa dalam Festival Literasi Santri 2023.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 266 kali

Baca Lainnya

Brain Rot: Problem Baru di Era Digitalisasi

14 Maret 2025 - 18:22 WIB

Bahayanya Khitan Perempuan

28 Februari 2025 - 18:00 WIB

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Lunturnya Bahasa Jawa di Era Modern

31 Januari 2025 - 23:29 WIB

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Trending di Kolom Jum'at