KOLOM JUM’AT LXXVII
Jum’at, 2 Juni 2023
Di era teknologi yang semakin maju disertai kian merosotnya budi pekerti, pesantren merupakan solusi yang tepat untuk pendidikan para generasi muda. Hari ini pesantren mendapat perhatian besar dari kalangan masyarakat. Mereka berduyun-duyun membawa anak-anaknya untuk masuk pesantren. Karena pesantren dipandang telah sukses membentengi anak-anak dari pengaruh teknologi dan globalisasi yang semakin buruk. Di pesantren santri selalu diajarkan untuk menguasai ilmu, baik yang tersurat maupun tersirat, serta memahami hal yang diucapkan dengan kalimat maupun yang disampaikan lewat isyarat. Seorang santri juga dituntun untuk memiliki moral yang baik, salah satunya dengan cara berkhidmah. Khidmah, yang dalam bahasa Jawa disebut ngawulo, adalah mengabdikan atau mendedikasikan diri atas ilmu yang telah dimiliki kepada orang atau almamater yang pernah berjasa atau kepada masyarakat luas dengan niat yang tulus dan ikhlas tanpa pamrih apapun, kecuali karena Allah. Dengan demikian khidmah merupakan kegiatan melayani dengan ikhlas bukan karena kewajiban ataupun permintaan. Karenanya khidmah akan menimbulkan rasa senang juga ridla bagi orang lain.
Di pesantren, tradisi khidmah masih sangat dijunjung tinggi. Karena khidmah diyakini sebagai pintu penyebab datangnya berkah. Bentuk khidmah sangatlah beragam, mulai dari mengurus santri, menaati peraturan, sampai menyediakan kebutuhan kyai dan guru. Karena itu, sebagai seorang santri, sebaiknya ketika mengerjakan sesuatu selalu diniati khidmah, agar mendapatkan ridla dari Allah sehingga semuanya bisa menjadi sebab terbukanya pintu berkah atas ilmu yang telah diperoleh. Salah satu pendorong dan motivasi bagi santri untuk selalu berebut khidmah, adalah dawuh Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki yang artinya “Ilmu bisa dicari (dengan membaca dll) akan tetapi khidmah (bersama guru tertentu, di tempat tertentu) tidak bisa dicari. Khidmah adalah rizki yang tidak setiap orang mampu mendapatkannya. Karena itu, saat mendapat kesempatan berkhidmah hendaknya tidak kita sia-siakan.
Ada cerita dari Imam al-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahwa Kholifah Harun ar-Rasyid pernah mengirimkan anaknya untuk belajar ilmu dan adab kepada seorang ulama. Suatu hari, ia mengunjungi anaknya tersebut. Lalu ia melihat sang guru tengah membasuh kakinya ketika berwudhu. Sedangkan anaknya terlihat hanya menuangkan air di atas kaki gurunya. Menyaksikan kejadian itu, kholifah berkata kepada sang Guru, “Aku mengirim anakku kepada engkau agar engkau ajarkan dia ilmu dan adab yang baik. Mengapa engaku tidak menyuruhnya menuangkan air dengan satu tangannya, dan membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?” Cerita tersebut menegaskan bahwa sang Khalifah ingin sekali puteranya bisa berkhidmah dan melayani gurunya dengan sebaik-baiknya.
Selain cerita Imam al-Zarnuji terdapat pula cerita dari Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin fi al-Qarn al-‘Asyir ‘ala Ma Khalafa fihi Salafuhum at-Thahir. Syekh Abdurrahman bin Qasim, salah seorang murid dari Imam Malik berkata, “Aku berkhidmah kepada Imam Malik selama dua puluh tahun. Delapan belas tahun di antaranya saya gunakan untuk mempelajari adab, dan hanya dua tahun saya mempelajari ilmu. Alangkah bahagianya, seandainya semua waktu itu aku habiskan untuk mempelajari adab.”
Khidmah yang lebih tinggi disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Beliau menyampaikan bahwa seorang penuntut ilmu ketika berkhidmah bukan hanya siap membantu gurunya, tetapi juga siap menjadi budaknya. Dawuh beliau sangat masyhur “Aku siap menjadi budak orang yang mengajarkanku satu huruf. Jika beliau mau beliau boleh menjualku, jika beliau mau boleh membebaskanku, jika beliau mau boleh menjadikanku budaknya.” Ngendikan sahabat Nabi yang mendapatkan gelar karromallohu wajhah ini jangan disalah pahami dan diaplikasikan dengan gegabah. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan puncak kerendahan hati seorang santri kepada kyainya. Pernyataan ini hadir dari seorang yang sudah memahami betul akan kedudukan dirinya terhadap guru dan kiainya. Khidmah tidak akan menurunkan derajat penuntut ilmu. Melainkan sebaliknya. Semakin santri rendah hati kepada guru, semakin Allah mengangkat tinggi derajatnya.
Khidmah dan ilmu adalah sepasang kaki kanan dan kiri yang harus berjalan beriringan dalam keseimbangan dan keharmonisan. Orang yang belajar tidaklah cukup hanya mengandalkan ilmu saja tanpa diiringi dengan nilai-nilai khidmah. Demikian pula sebaliknya. Tidaklah cukup bagi pencari ilmu jika hanya mengandalkan khidmah tanpa diimbangi kesungguhan dalam mencari ilmu. Keduanya harus diperhatikan secara imbang agar dapat memperoleh ilmu dan keberkahan yang melimpah.
Oleh: Muhammad Ni’amul A’la, alumni Mansajul Ulum tahun 2021.