Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 00:33 WIB ·

Pesantren Harus Melek Kekerasan Seksual


 Sumber gambar : titiknol.co.id Perbesar

Sumber gambar : titiknol.co.id

KOLOM JUMAT XX
Jum’at, 17 Desember 2021

Berita tentang kekerasan seksual yang terjadi di pesantren baru-baru ini sungguh menyesakkan dada. Lembaga keagamaan yang selama ini disakralkan masyarakat tiba-tiba tercoreng oleh tindakan keji yang biadab. Semua orang yang mendengarnya tentu marah, emosi dan mengutuk keras pelaku. Apalagi ketika membayangkan wajah-wajah korbannya yang masih anak-anak. Wajah polos yang belum memahami kehidupan. Tetapi selanjutnya kita harus merenung bersama. Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi pada kembaga keagamaan oleh tokoh agama? Bukankah agama telah mengajarkan kita tentang hukum larangan itu dengan tegas? Mengapa orang yang faham agama justru yang melakukannya? Itulah sederet pertanyaan kritis yang harus kita jawab bersama.

Sebenarnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di dalam lembaga keagamaan bukanlah baru kali ini saja. Kasus semacam ini sudah sering menghiasi berita pada media-media online maupun elektronik. Laman berita CNN baru-baru ini meurunkan data bahwa sepanjang tahun 2021 sudah ada empat kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren di seluruh Indonesia. Bulan September lalu terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu guru pesanten di daerah Trenggalek, Jawa Timur. Korbannya mencapai 15 santriwati. Di bulan yang sama terjadi pula kasus kekerasan seksual di salah satu pesntren di daerah Sumatra Selatan yang mengorbankan 26 santri laki-laki. Pada bulan November, terjadi kasus yang sama yang dilakukan oleh pimpinan salah satu pesantren di Sulawesi Selatan dengan empat korban santriwati. Bulan Desember terjadi kasus kekerasan di salah satu pesantren di Bandung yang korbannya mencapai 21 santriwati. Bahkan Sebagian dari korban telah melahirkan bayi hingga dua kali. Mendengar berita itu ngilu rasanya. Ibarat gunung es, kasus-kasus yang terungkap diatas, itu hanya sebagian kecil dari realitas yang sebenarnya. Di luar itu bisa jadi masih banyak kasus-kasus yang masih tertutup. Karena para korban tidak berani melaporkan.

Deretan kasus diatas harus menjadi evaluasi bersama bagi pesantren dan pemerintah. Pesantren selama ini menjadi pusat pembelajaran agama dan akhlak. Para Kiai mengajarkan tentang hukum dan adab menjadi penganut agama yang baik. Tetapi nyatanya, ilmu agama saja belumlah cukup membekali insan pesantren tentang perlunya kewaspadaan terhadap tindakan-tindakan pelecehan dan kekerasan seksual. Masih banyak santri dan para guru di pesantren yang tidak memahami tentang apa itu pelecehan seksual, apa itu kekerasaan seksual, dan apa saja bentuknya. Asumsi ini terbukti saat kita melihat fakta keseharian di lapangan.

Coba perhatikan jika anda berjalan di lingkungan pesantren. Banyak santri putra yang me-nyuiti santri putri yang sedang lewat. Atau memanggil nama dan mengomentari pakaian dan aksesoris yang dipakai para santriwati. Banyak dari mereka mengucapkan salam atau menitipkan salam karena ingin menggoda santri-santri putri. Adapula para guru agama (Kiai, ustadz, guru madrasah) yang ‘mengganggu’ santriwati atau siswinya saat mengajar. Bentuknya, dari mulai tepukan di pundak, lengan, memegang tangan, mengusap kepala, hingga sampai pada tindakan asusila yang serius. Saat menyaksikan tindakan-tindakan yang dianggap masih “ringan” seperti itu, apakah masyarakat marah? Tidak! Mereka menganggap itu biasa saja. Mereka menganggap itu hanya guyonan. Mereka menganggap itu kasih sayang. Sehingga menjadikan tindakan-tindakan itu sebagai bahan gojekan di forum-forum kumpulan, di grup-grup media sosial, dan seterusnya. Sementara santriwati yang mengalami kekerasan seksual jika belum sampai pada tahapan yang serius, juga tidak merasa jika mereka sedang mengalami pelecehan dan kekerasan. Akibatnya, banyak di antara mereka yang justru menanggapinya dengan salah tingkah, perasaan berbunga-bunga, dan ekspresi yang tidak tepat. Tanggapan yang salah itu seringkali dijadikan sebagia bahan untuk menyimpulkan bahwa pihak perempuan juga suka digoda.

Tindakan diatas menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadaran tentang tindakan kekerasan seksual belum difahami dengan baik oleh masyarakat pesantren. Karena edukasi tentang wacana itu masih sangat minim untuk mengatakan tidak ada sama sekali. Karenanya, pelaku maupun korban banyak yang tidak tahu. Atau sebagian tahu, tetapi tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana menyelesaikannya. Karena sebagian besar masyarakat juga masih beranggapan bahwa tindakan pelecehan dan kekerasan seksual adalah aib yang harus ditutupi. Apalagi jika hal itu dilakukan oleh tokoh agama. Sebagai santri atau siswi yang menjadi korbannya, tentu tidak mudah untuk melaporkan. Karena tekanan dari berbagai pihak, atau karena khawatir membuka aib guru. Budaya penghormatan guru yang sangat dijunjung tinggi di kalangan pesantren, semakin menyulitkan pembongkaran kasus. Banyak di antara keluarga korban yang memilih diam, atau memaafkan, dan  mengikhlaskan anaknya menjadi korban yang tidak berdaya karena takut bahaya yang akan menimpa anaknya di kemudian hari.

Persoalan ini semakin parah, ketika pemerintah sebagai penanggungjawab negara juga tidak memiliki keseriusan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Bahkan regulasi tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga kini masih terkatung-katung dan tidak berhasil disahkan. Para wakil rakyat yang duduk di DPR tidak malu ketika ribut berdebat soal pengesahan RUU TPKS hingga kini. Padahal korban sudah berjatuhan dari tahun ke tahun. Anehnya lagi partai-partai yang keras menolak pengsahan RUU tersebut adalah partai yang merasa memperjuangkan syariat Islam untuk tegak di Indonesia. Dagelan apa lagi yang hendak dipertontonkan di negeri kita ini?

Meski RUU TPKS belum berhasil disahkan, tetapi pesantren harus sudah mulai ambil peran aktif untuk menjaga dan menyelamatkan para santri dari ancaman predator pelaku kekerasan seksual. Setiap pesantren harus mulai memberikan edukasi yang serius kepada santri dan juga para guru-gurunya tentang wacana kekerasan seksual. Pesantren harus memastikan lembaganya menjadi tempat yang ramah dan aman untuk anak. Jika perlu pesantren juga bekerja sama dengan pemerintah, LSM, atau lembaga bantuan hukum setempat untuk membuka ruang aduan sebagai tempat untuk penanganan awal kasus-kasus kekerasan. Dengan demikian kasus-kasus yang terjadi bisa lebih dini diketahui dan ditangani. Mulai sekarang para santri harus waspada dan melek terhadap tindak pidana kekerasan seksual ini. Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Umdah El Baroroh, Pendamping Santri Mansajul Ulum.

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 52 kali

Baca Lainnya

Pentingnya Memiliki Sanad Keilmuan

11 Oktober 2024 - 16:05 WIB

Masa Depan Kapitalisme: Jurang Kemiskinan, Kesenjangan Sosial dan Krisis Ekologi

27 September 2024 - 19:33 WIB

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Trending di Kolom Jum'at