Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 03:50 WIB ·

R.A. Kartini : Teladan Pejuang Perempuan Pribumi


 Sumber gambar : liputan6.com Perbesar

Sumber gambar : liputan6.com

KOLOM JUM’AT XXXVIII
Jum’at, 22 April 2022

Kemarin, negeri kita tercinta telah mengenang hari lahir pejuang perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini.  R.A. Kartini adalah seorang tokoh Jawa pribumi dan pahlawan nasional perempuan Indonesia. Ia dikenal sebagai pejuang bagi perempuan di lingkungannya. Di usianya yang masih anak-anak, ia telah memiliki keinginan yang kuat untuk memerdekakan perempuan dari keterbelakangan. Perjuangan itu dimulai dari dirinya sendiri yang ingin melanjutkan pendidikan di Belanda, sebagai bentuk kemajuan berpikir dan keinginannya untuk melepaskan diri dari jeratan adat yang membatasi kaum perempuan pribumi di masa itu. Keinginannya tersebut bukanlah sekedar keinginan, tetapi segala cara pun ia tempuh untuk mewudkannya agar para perempuan pribumi lainnya mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum lelaki.

Istilah pribumi ini, muncul pertama kali di era kolonial Hindia Belanda. Kata itu merupakan terjemahan dari kata Inlander dalam Bahasa Belanda. Istilah ini pertama kali dicetuskan dalam undang-undang kolonial Belanda pada tahun 1854 oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk menyamakan beragam kelompok penduduk asli nusantara kala itu. Maka pengertian pribumi sendiri tak lain adalah penduduk asli dari suatu tempat (bukan pendatang baru).

Kata pribumi sebenarnya memiliki konotasi rendah di mata kolonial. Karena status mereka adalah masyarakat yang terjajah. Hak-hak mereka dibedakan dan terabaikan. Jika dalam pribumi terdapat laki-laki dan perempuan, maka status pribumi perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Karena status sosial perempuan selalu direndahkan oleh masyarakat. Sehingga pada masa penjajahan, perempuan pribumi inilah yang selalu ditindas oleh para penjajah dengan argumen bahwa perempuan hanyalah hiasan semata. Hal itu berbanding terbalik dengan pemikiran Kartini yang menganggap bahwa kaum perempuan tidak seharusnya ditinggalkan dari pada kaum lelaki dalam segala aspek, terutama dalam hal pendidikan. Ia pun berusaha dengan berbagai cara demi mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, seperti:

  1. Mengirimkan surat kepada sahabatnya di Belanda, yaitu Estelle Zaehandelaar serta pasangan suami istri Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Manuela. Dalam surat itu ia menceritakan tentang kondisi perempuan pada saat itu yang terkekang bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri. Selain itu, ia juga menceritakan tentang bangsa Indonesia yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama hingga kepeduliannya akan pendidikan. Dengan surat-surat itu ia berharap sahabatnya bisa menyampaikan keadaan itu kepada para pemerintah Belanda yang mengatur kehidupan pribumi.
  2. Mendirikan sekolah untuk perempuan. Dengan sekolah itu ia bercita-cita agar perempuan yang tidak berasal dari golongan bangsawan bisa mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan. Karena pada masa itu, sekolah hanyalah menjadi hak para bangsawan, baik laki-laki maupun perempuan. Sementara rakyat biasa, tak berhak mengenyam pendidikan.
  3. Mengajak anak-anak perempuan di sekitarnya untuk bersekolah di sekolah yang telah ia dirikan dan mengajarnya sendiri dengan penuh semangat. Usaha ini ia lakukan sebagai upaya mewujudkan cita-citanya di atas. Bahkan untuk mewujudkan cita-cita mendidik kaum perempua, Kartini rela mengorbankan dirinya untuk menerima perkawinannya dengan laki-laki yang telah beristri. Karena ia melihat peluang yang mungkin ia lakukan ketika menikah dengan bupati Rembang yang nota bene memiliki kekuasaan dan jabatan.
  4. Mencetuskan dan mengembangkan gerakan emansipasi perempuan melalui tulisan dan pemikiran-pemikirannya sehingga perempuan memiliki kedudukan yang sejajar dengan laki-laki.

Perlu kita ketahui, bahwa perjuangan R.A Kartini atas perempuan sebenarnya juga merupakan ejawentah dari ajaran Islam yang telah tertuang dalam Alquran. Salah satu ayat Alquran pada surat Ali imron ayat 159 menyatakan:

“فاستجاب لهم ربهم أنى لاأضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض”

Artinya: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan. (karena) sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.”

Ayat tersebut menjelaskan tentang kedudukan perempuan dalam ibadah yang mana Allah tidak akan menyia-nyiakan amal seseorang yang taat dan tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam memberi pahala dan balasan. Karena kedua jenis ini satu sama lain saling turun menurunkan. Perempuan berasal dari laki-laki dan laki-laki juga berasal dari perempuan.

Selain ayat tersebut, terdapat pula ayat yang menerangkan tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam surat al-Hujurat ayat 13:

” ياأيهاالناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعا رفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير”

Artinya: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha teliti”

Ayat tersebut menerangkan bahwa karena manusia berasal dari satu keturunan yang sama yaitu Nabi Adam dan Hawa. maka, pada hakikatnya mereka semua setara, baik laki-laki ataupun perempuan. Yang membedakan antara keduanya menurut Allah hanyalah ketakwaannya pada Tuhannya.

Ayat-ayat tersebut semakin menguatkan R.A Kartini untuk memperjuangkan perempuan yang memiliki hak asasi manusia yang utuh, sebagaimana laki-laki. Karena itu, perempuan sebagai warga negara yang merdeka, sudah selayaknya untuk lebih bersungguh-sungguh dalam mencapai apa yang mereka impikan. Perempuan berhak untuk hidup setara dengan laki-laki sebagai manusia dan hamba Allah yang bertanggung jawab.

Semangat usaha Kartini tersebutlah yang harus selalu kita kenang dan tiru untuk mewujudkan generasi muda sekarang yang lebih berdedikasi tinggi. Jika kita renungkan kembali, sosok Kartini yang hidup di era non digital saja semangatnya tak pernah redup. Apapun ia lakukan demi pendidikannya dan para perempuan lainnya. Sekarang di era serba digital, bukankah seharusnya para pemuda lebih bisa memanfaatkan kelebihan yang ada untuk hal-hal yang bernilai positif? Demikian pula, Kartini yang hidup pada masa penjajahan telah menyadari pentingnya memperjuangkan kemanusiaan perempuan, pantaskah jika kita hari ini yang hidup di era kemerdekaan justru masih sering merendahkan kemanusiaan perempuan? Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Nahika Asna Taqiyya, Santri Mansajul Ulum, Pati.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 30 kali

Baca Lainnya

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Keistimewaan Ilmu Nahwu

12 Juli 2024 - 19:19 WIB

Melestarikan Dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin Era Modern Melalui Tulisan

28 Juni 2024 - 07:24 WIB

Trending di Kolom Jum'at