KOLOM JUM’AT CXXVIII
Jum’at, 18 Juli 2025
Pesantren sebagai lembaga pendidikan pertama di Indonesia yang pada awal eranya hanya menerima santri laki-laki, saat ini mulai banyak yang menerima santri perempuan. Bahkan, banyak juga pesantren yang didirikan khusus untuk santri perempuan. Berdasarkan laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama pada tahun 2020/2021 terdapat 4,37 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah santri laki-laki sebanyak 2,3 juta orang dan santri perempuan 2,07 juta orang.
Marjinalisasi Perempuan dalam Interaksi Sosial
Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah santri perempuan dan laki-laki hampir berimbang, namun tidak diiringi dengan tenaga pendidik perempuan yang seimbang di pesantren, yang mana mayoritas didominasi oleh laki-laki. Hal ini memberi kemungkinan termarjinalkannya kaum perempuan dalam interaksi sosial serta terbentuknya sistem dan praktik patriarki di pesantren, karena norma dan nilai-nilai tertentu dapat terbentuk berdasarkan dominasi yang ada dalam satu lingkungan. Hal ini juga diperkuat dengan wawasan ilmu fikih yang masih sempit dan budaya kuno masyarakat yang konservatif acap kali ikut mengotori pendidikan karakter di lingkungan pesantren.
Praktik Patriarki di Pesantren
Meskipun saat ini pesantren memberikan peluang besar bagi perempuan untuk menempuh pendidikan, namun budaya patriarki sepertinya masih langgeng dipraktikkan di pesantren. Beberapa bentuk nyata praktik budaya patriarki di pesantren seperti perizinan keluar pesantren yang ketat hanya diperuntukkan untuk santri perempuan dibandingkan santri laki-laki sering kali menimbulkan prahara dan rasa diskriminasi, dengan alasan untuk lebih menjaga santri perempuan serta budaya bahwa perempuan lebih baik tidak melakukan aktivitas di luar rumahnya.
Contoh lain adalah pada media sosial pesantren, biasanya santri perempuan lebih dibatasi untuk tampil di wilayah publik, kontribusi mereka juga tidak banyak dilibatkan dalam urusan-urusan di depan publik. Selain itu, subordinasi terhadap santri perempuan juga masih banyak terlihat di pesantren pada tindakan menomorduakan santri perempuan dalam bidang-bidang di pesantren. Stereotip yang memisahkan peran santri laki-laki dan santri perempuan dalam pendidikan, kepengurusan, dan bidang-bidang lain di pesantren masih terlihat jelas di lingkungan pesantren.
Kesetaraan Gender pada Periode Awal Islam
Sejak periode awal Islam, kesetaraan gender sebenarnya telah ada, seperti terlihat pada kebebasan yang diberikan Rasulullah kepada perempuan untuk terlibat dalam urusan politik, ekonomi, dan pendidikan. Contohnya antara lain Aisyah, yang menjalankan peran politik penting dan terlibat dalam medan perang, Khadijah yang menjadi komisaris dalam usaha dagangnya, serta Al-Syifa’ yang berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah Umar sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah. Peran perempuan seperti ini menunjukkan kesetaraan dan akses yang sama bagi mereka dengan laki-laki.
Kemunculan Budaya Patriarki
Budaya patriarki yang saat ini masih kuat dipraktikkan di pesantren, bukan disebabkan karena ajaran yang ada dalam Islam sebagaimana yang diajarkan langsung oleh Rasulullah, tetapi karena penafsiran Al-Qur’an yang didasarkan pada kaum tertentu atau percampuran budaya Islam dengan budaya tradisional masyarakat. Selain itu juga disebabkan oleh kurang terbukanya pemahaman manusia dalam mengimplementasikan nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Peran Fikih dalam Membangun Kesetaraan Gender
Sebagai yurisprudensi Islam, ilmu fikih seharusnya mengambil peran penting dalam proses pengurangan diskriminasi gender dan budaya patriarki. Fikih menjadi peletak dasar syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang difatwakan oleh para Ulama. Saat melakukan pemahaman pada praktik-praktik ibadah ini, fikih sebagai hasil ijtihad para ulama seharusnya terus dilakukan pembaruan. Syariat Islam yang diatur dalam fikih tidak bisa terus didasarkan pada syariat yang ditetapkan di zaman dulu, karena perkembangan kehidupan menjadikan praktik kehidupan manusia saat ini berbeda dengan yang dilakukan di masa dulu.
Pembaruan dinamis praktik sosial, ibadah dan kehidupan yang didasarkan pada ilmu fikih harus terus dilakukan dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan perubahan zaman serta latar sosial masyarakat. Pemahaman terhadap hukum Islam (fikih) mengenai perempuan perlu untuk berusaha diinterpretasikan kembali dalam konteks modern. Ini melibatkan kajian kembali terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur’an dan Hadis, dengan mempertimbangkan perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Tujuannya adalah untuk mencari pemahaman yang relevan dan sesuai dengan zaman sekarang.
Kegiatan mengaktualisasikan fikih untuk mencapai keadilan bagi perempuan di pesantren, perlu mampu mengakomodasi tuntutan zaman dan perkembangan sosial. Seiring dengan perubahan sosial yang terus berlangsung, pandangan dan interpretasi fikih juga harus terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Pesantren harus dapat mengeksplorasi nilai-nilai Islam yang inklusif dan relevan bagi masyarakat kontemporer, sehingga menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan. Pesantren sebagai lembaga yang mengajarkan ajaran agama Islam juga harus menjadi tempat yang inklusif dan menghormati hak-hak perempuan, bukan hanya sebagai penerima pasif ajaran agama, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran tersebut. Santri perempuan harus didorong untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dan memiliki kesempatan yang setara untuk mengakses pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum.
Penerapan Fikih dalam Menciptakan Keadilan di Pesantren
Dengan menerapkan rekonstruksi fikih perempuan berparadigma kesetaraan dan keadilan gender, maka ajaran dasar Islam tentang kesederajatan manusia dan keadilan bisa lebih diaktualisasikan di dalam pesantren. Beberapa bentuk penerapan fikih untuk menciptakan keadilan bagi perempuan di pesantren seperti pemberian tanggung jawab kepada santri perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di pesantren, baik dalam hal administrasi, pengajaran, maupun kebijakan.
Menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan atau pelecehan terhadap santri perempuan. Perlindungan hukum dan aturan yang jelas harus diterapkan untuk melindungi hak-hak perempuan di pesantren. Memberikan akses yang sama bagi santri perempuan untuk mendapatkan kursus atau pelatihan seperti yang diberikan kepada santri laki-laki, seperti seni rebana dan muhadarah, serta memberi kesempatan kepada santri perempuan untuk tampil di depan publik.
Selain itu, dalam pembelajaran fikih di pesantren dapat menambahkan pembelajaran menggunakan literatur karya ulama kontemporer yang sesuai dengan kondisi saat ini, tidak hanya berfokus pada pembelajaran kitab kuning saja. Membiasakan konsep kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia dalam pembelajaran di pesantren dan aktivitas sehari-hari.
Mengaktualisasikan fikih dalam membangun keadilan bagi perempuan di pesantren, dapat menjadikan pesantren sebagai contoh dan teladan dalam mempraktikkan nilai-nilai Islam yang inklusif, menghormati hak-hak perempuan, dan mendorong kesetaraan gender di dalam masyarakat. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang harmonis dan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan potensi mereka sepenuhnya sebagai bagian integral dari masyarakat dan umat Islam.
Melalui pemaparan opini ini, kita berharap dapat membangkitkan kesadaran tentang pentingnya aktualisasi fikih dalam membangun keadilan bagi perempuan di pesantren. Dengan mencari keselarasan antara nilai-nilai Islam yang inklusif dan aspirasi perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang setara, pesantren dapat menjadi tempat yang memperkuat kedudukan dan kontribusi perempuan dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis, sejalan dengan ajaran agama yang membawa kedamaian dan keberkahan bagi seluruh umat manusia.
Oleh: Maulida Inayati, salah satu peserta nominator terbaik ke-15 Festival Literasi Santri 2023 yang diadakan oleh Pesantren Mansajul Ulum.