Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Agu 2022 00:39 WIB ·

Santri Kampung dan Toleransi


 Sumber gambar : serikatnews.com Perbesar

Sumber gambar : serikatnews.com

KOLOM JUM’AT XXI
Jum’at, 24 Desember 2021

Menanggapi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang Perayaan Natal Bersama 1981, Gus Dur menulis satu artikel serius sekaligus jenaka: “Fatwa MUI, Ujung dan Pangkal”. Pada bagian pertama Gus Dur menjelaskan posisi MUI “hanya” sebagai lembaga bentukan pemerintah yang berperan sebagai penyambung komunikasi antara pemerintah dengan umat Islam, bukan sebagai lembaga fatwa resmi.

Lalu pada bagian kedua tulisan tersebut Gus Dur menyatakan bahwa setiap fatwa keagamaan yang dikeluarkan memiliki implikasi atau turunan hukum. Sehingga mestinya MUI tidak terjebak pada persoalan yang belum jelas ujungnya.

Sepakat dengan Gus Dur, saya mencoba untuk menghindari perdebatan soal hukum mengikuti perayaan Natal atau mengucapkan selamat Natal. Saya hanya ingin berbagi cerita dan pengalaman sebagai santri kampung yang kebetulan tinggal berdampingan dengan umat Nasrani.

Saya tumbuh dan besar di kampung yang memiliki empat masjid jami’ dan dua gereja, saat ini mungkin sudah menjadi tiga gereja. Di rumah, saya memiliki tetangga Nasrani, dan di sekolah dasar (SD) negeri ada beberapa teman yang juga beragama Nasrani. Kami biasa bermain bersama tanpa merasa khawatir iman kami akan bercampur atau luntur.

Bertahun-tahun kemudian, ketika mengantarkan anak mendaftar di SD negeri di daerah Tangerang Selatan, saya cukup terkejut dengan adanya unsur keagamaan tertentu hampir di semua sudut sekolah. Ini tentu sangat berbeda dengan apa yang saya alami bertahun-tahun lalu. Adanya unsur keagamaan tertentu di SD negeri bagi saya menjadi penanda adanya perebutan ruang publik oleh kelompok mayoritas.

Setelah lulus SD, saya melanjutkan pendidikan ke pesantren dan madrasah. Di pesantren saya tak sekalipun menemukan ajaran yang menganggap pemeluk agama lain sebagai ancaman atau larangan bergaul dengan teman-teman yang berbeda agama. Sampai akhirnya saya nyantri di Cebolek, semakin terpupuk sikap toleran dan tepo seliro dalam diri saya.

Dalam banyak kesempatan ngaji informal dengan pengasuh Mansajul Ulum Cebolek, Kiai Abdullah Rifa’i, saya mendapat pencerahan tentang bagaimana santri seharusnya merespon persoalan kontemporer. Biasanya ngaji informal itu bermula dari komentar Yai Dullah atas berita-berita terkini yang beliau baca dari Kompas dan Jawa Pos. Setiap persoalan Beliau lihat dengan pandangan terbuka, tidak hanya satu sudut pandang. “Santri itu jangan ndeso. Santri tidak boleh wagu,” pesan beliau yang selalu saya ingat.

Menjadi santri yang tidak ndeso dan wagu adalah dengan memperdalam pengetahuan dan memperluas pandangan. Sehingga seorang santri tidak akan terkurung dengan pandangan sempit halal-haram semata. Dan kembali ke pemikiran Gus Dur, alih-alih meributkan soal ucapan selamat Natal atau ikut perayaan Natal, seorang santri mestinya lebih sibuk memikirkan soal kemiskinan umat dan soal-soal yang lebih substantif.

Era disrupsi yang disokong oleh kecepatan jaringat internet dan teknologi rupanya membawa dampak yang kurang menggembirakan ternyata: wacana publik kita justru dipenuhi dengan perdebatan halal-haram hampir di setiap momen. Menjelang maulid Nabi, misalnya, di media sosial selalu ramai perdebatan hukum memperingatinya. Pun ketika Desember tiba, perdebatan soal halal-haram mengucapkan selamat Natal otomatis ramai.

Tetapi apa mau dikata, kontra wacana halal-haram mengucapkan selamat Natal atau hari-hari lain harus terus dilakukan. Bukan sebab hasrat untuk berdebat, tetapi demi menjaga sikap toleran yang sudah menjadi kaprahnya hidup di lingkungan yang beragam.

Toleransi, menurut saya, akan kuat tertanam jika diajarkan dengan pengalaman langsung. Itu lah kenapa saya ingin memasukkan anak saya di sekolah negeri atau sekolah umum, dengan harapan anak saya akan mendapat pengalaman bersosialisasi dengan anak-anak dari komunitas lain.

Hidup di perkotaan, dengan dominasi semangat keagamaan tafsir tunggal dan kecenderungan tekstualis, lagi-lagi menyadarkan saya betapa beruntungnya memiliki guru-guru yang memiliki keluasan ilmu. Saya merasa sangat berutang pada kiai-kiai kampung yang berpandangan kosmopolit, ada Kiai Imam Syadzali dan Kiai Ubaidillah Noor dari Bandungharjo, Jepara, dan Kiai Abdullah Rifa’i, Cebolek, Pati.

Maka ketika di Jakarta saya membaca Gus Dur, Cak Nur, Harun Nasution, hingga Gus Ulil Abshar-Abdalla, saya justru merasa memasuki medan pemikiran yang meluas. Dasar-dasar pemikiran toleran dari kiai-kiai di kampung dulu mampu membentuk pandangan saya menjadi lebih terbuka, tanpa hasrat untuk menghakimi.

Gejala Islam kota yang muncul saat ini sungguh sangat berbeda dengan Islam yang saya kenal sejak dari kampung dulu. Obsesi pada simbol-simbol lahiriah sudah menjadi semacam hal umum dan seringkali dipakai untuk menghakimi kelompok yang tak sepaham dengan kelompoknya.

Contoh sederhana, jamak dilakukan kelompok Islam kota memakai bahasa arab di pesan whatsapp tapi tidak tahu pemakaian ḍamir. Dan seringkali jika ditegur mereka minta pemakluman dan mengaku masih belajar. Lha kalau masih belajar ya mestinya tidak menggurui orang lain. Tapi memang yang suka menggurui adalah orang-orang yang baru tahu sedikit. Kurang lebih sama dengan santri pemula yang suka pamer hafalan dan mengoreksi hafalan orang lain.

Akhir-akhir ini ada kiai kampung yang digandrungi oleh beberapa kalangan Islam kota. Penjelasan beliau soal Islam benar-benar jelas, tegas, dan tidak menghakimi. Beliau adalah Gus Baha’, seorang kiai kampung yang berpikir luas dan terbuka. Dan sebagai santri kampung, terinspirasi dari Gus Baha’, saya merasa bahwa ke-kampungan itu justru menjadi modal untuk bergaul dengan warga dunia dengan tanpa minder dan rendah diri.

Oleh: Muhamad Akib, alumni Pondok Pesantren Mansajul Ulum thn 2000.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 40 kali

Baca Lainnya

Pentingnya Memiliki Sanad Keilmuan

11 Oktober 2024 - 16:05 WIB

Masa Depan Kapitalisme: Jurang Kemiskinan, Kesenjangan Sosial dan Krisis Ekologi

27 September 2024 - 19:33 WIB

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Trending di Kolom Jum'at