Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 11 Apr 2025 14:55 WIB ·

Tradisi Ketupat: Sejarah dan Makna Filosofis


 Tradisi Ketupat: Sejarah dan Makna Filosofis Perbesar

KOLOM JUM’AT CXXI
Jum’at, 11 April 2025

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbanyak di dunia pasti tak luput dari berbagai perayaan dan tradisi yang bervariasi. Salah satunya adalah perayaan setahun sekali yang dirayakan setelah terpenuhinya bulan Ramadhan, yakni perayaan hari raya idul fitri.

Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran merupakan momentum berkumpulnya sanak saudara dan silaturahim antar sesama. Keberadaan makanan menjadi hal yang tak bisa terelakkan tatkala para saudara telah berkumpul. Hidangan yang identik dengan lebaran dan telah menjadi tradisi di kalangan penduduk desa adalah ketupat. Makanan satu ini terkadang dihidangkan sebagai pengganti nasi yang disandingkan dengan lauk  opor ayam, semur daging, atau rendang.

Ketupat memang menjadi salah satu hal yang tak dapat dipisahkan dan selalu dikaitkan dengan perayaan Idul Fitri di Indonesia. Bagaimana tidak, berbagai logo dan simbol-simbol perayaan Hari Raya Idul Fitri pasti tak luput dari gambar ketupat. Bahkan ketupat sendiri memiliki perayaan tersendiri di kalangan muslim jawa yang dikenal dengan sebutan “bodo kupat”.

Lantas mengapa ketupat begitu identik dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri? Sejarah apa yang melatar belakangi tradisi ketupat? Dan makna apa yang terkandung dalam tradisi tersebut?

Sejarah ketupat di Indonesia

Perlu diketahui pada awalnya tradisi ketupat bukanlah ciri khas dalam lebaran, melainkan sudah ada sebelum masuknya islam di Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan oleh Fadly Rahman, sejarawan Universitas Padjajaran Bandung:

“Ketupat sudah ada pada masa pra-islam dan tersebar di wilayah hampir di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Selain itu, ketupat juga identik dengan tradisi animisme”

Fadly juga menjelaskan bahwa pada masa pra-islam terdapat tradisi menggantungkan ketupat di tanduk kerbau sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Serta tradisi menggantung ketupat kosong di pintu-pintu rumah untuk menolak bala’ atau musibah. Menurutnya, tokoh yang menjadikan ketupat identik dengan perayaan lebaran adalah Sunan Kalijaga. Salah satu anggota dari walisongo yang menyiarkan agama Islam di pulau jawa pada abad 15 hingga 16

Berdasarkan informasi yang dilansir dari berbagai sumber, memang Sunan kalijaga lah yang pertama kali memperkenalkan tradisi ketupat di daerah Jawa. Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya dan filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai keislaman. Sunan Kalijaga melakukan akulturasi antara budaya Jawa dengan nilai-nilai keislaman sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. Lambat laun, ketupat menjadi sebuah ikon yang sangat identik dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan mulai tersebar ke berbagai daerah dengan penyebutannya masing-masing.

Hermanus Johannes De Graaf, ahli Sejarah asal Belanda yang mendalami Sejarah Jawa juga mengakui pendapat tersebut. Dalam bukunya “Malay Annual”, tradisi ketupat pertama kali muncul pada masa Kerajaan Demak (abad ke-15). Tokoh yang memperkenalkannya pertama kali adalah Sunan Kalijaga

Makna Filosofis Ketupat

Ketupat berasal dari kata “kupat”, serta memiliki dua makna khusus yaitu: Pertama, ”ngaku lepat” (mengakui kesalahan). Ngaku lepat ini diimplementasikan dalam bentuk sungkeman (duduk bersimpuh) seorang anak terhadap orang tuanya atas kesalahan yang pernah dilakukan. Dalam tradisi Sungkeman ini mengajarkan akan pentingnya bersikap rendah hati dan menghormati orang yang lebih tua, khususnya orang tua sendiri.

Kedua, “laku papat”(empat tindakan), yaitu: Lebaran (pintu ampunan terbuka lebar)
Lebaran berarti Ramadhan telah usai. Mungkin selama bulan suci Ramadhan banyak kesalahan yang tak sengaja kita lakukan. Sehingga tindakan yang perlu dilakukan adalah memohon ampunan dan berharap bisa melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan tahun berikutnya. Luberan (melimpahi), mengingatkan pentingnya akan berbagi terhadap orang yang membutuhkan. Leburan (melebur dosa) memiliki makna meleburkan dosa dengan bermaaf-maafan atau silaturahim. Laburan (menyucikan diri). Berasal dari kata “labur” atau “kapur putih”. Makna laburan ini hati seorang muslim menjadi bersih dari berbagai penyakit hati.

Di sisi lain, simpul anyaman ketupat melambangkan ikatan persaudaran Islami yang saling tolong menolong satu sama lain. Bentuk ketupat juga melambangkan Kiblat Papat Limo Pancer. Maksudnya, ketupat dengan bentuk segi empat menunjukkan adanya empat arah mata angin. Namun demikian, tetap hanya ada satu arah dalam beribadah yaitu Kiblat.

Isian ketupan, yakni nasi digambarkan sebagai bentuk hawa nafsu. Sedangkan janur (daun kelapa muda) kepanjangan dari “jatining nur” yang berarti cahaya sejati (hati nurani). Dengan demikian, kedua hal tersebut menjadi bentuk manifestasi dari hawa nafsu dan hati nurani manusia yang mencerminkan perilaku diri

Ketupat dimasak dengan cara direbus dalam air yang dipanaskan menggunakan api. Begitu juga diri kita yang mencoba melebur dosa melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ketika ketupat telah matang dan dipotong munculah nasi yang begitu bersih melambangkan hati kita di bulan syawal yang telah terhapus dari dosa.

Demikian sejarah dan makna yang terkandung dalam tradisi ketupat di Indonesia. Selain sebagai hidangan khas pada saat lebaran ternyata ketupat juga memiliki banyak nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Bagaimanapun juga, apapun nilai yang terkandung dalam tradisi ketupat merupakan nilai-nilai yang positif. Tentunya juga kita sebagai insan muslim harus terus mencoba untuk menjadi seorang muslim yang lebih baik setelah terlewatinya bulan suci Ramadhan tahun ini. Wallahu ‘alam.

Oleh: Vicky Oktavianto, Redaktur EM-YU.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 50 kali

Baca Lainnya

Regulasi Fiqih dalam Transaksi Uang Kripto

9 Mei 2025 - 16:31 WIB

Tradisi Jabat Tangan, Bagaimana Menurut Syari’at?

25 April 2025 - 11:13 WIB

Tantangan Santri dalam Menghadapi Era Society 5.0

28 Maret 2025 - 15:54 WIB

Brain Rot: Problem Baru di Era Digitalisasi

14 Maret 2025 - 18:22 WIB

Bahayanya Khitan Perempuan

28 Februari 2025 - 18:00 WIB

Tantangan Santri Menjadi Mahasiswa di Perguruan Tinggi

14 Februari 2025 - 17:21 WIB

Trending di Kolom Jum'at