Menu

Mode Gelap

Profil Masyayikh · 11 Agu 2022 01:50 WIB ·

KH. Abdullah Rifa’i : Anak Desa dan Pecinta Ilmu Sejati (Bagian I)


 Foto KH. Abullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah Perbesar

Foto KH. Abullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah

KOLOM JUM’AT XXIX
Jum’at, 18 Februari 2022
Liputan Khusus Biografi Mu’assis

Bulan Rajab menjadi bulan penting bagi keluarga besar Pesantren Mansajul Ulum. Bukan saja lantaran bulan ini merupakan salah satu bulan haram (bulan terhormat), melainkan juga karena di dalam bulan ini terdapat peringatan haul pendiri pondok, Romo Kiai Abdullah Rifa’i. Pada peringatan haul tahun ini, Redaksi EM-YU akan menurunkan liputan khusus tentang biografi Romo Kiai. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan khusus kepada pendiri pesantren dan tabarukan agar para santri dapat mengenal keteladanan pendiri pondok.

Sosok kharismatik pendiri Pesantren Mansajul Ulum itu bernama lengkap Abdulllah bin Ahmad Rifa’i. Ia lahir di desa Bugel kecamatan Kedung Kabupaten Jepara Jawa Tengah dari pasangan Kiai Ahmad Rifa’i dan Nyai Mastamah. Beliau lahir pada masa transisi kekuasaan pemerintah Belanda ke pemerintah Jepang. Tanggal dan tahun kelahiran beliau belum diketahui secara pasti. Ketidakpastian tanggal kelahiran ini tidak lepas dari perilaku masyarakat dahulu yang tak terbiasa dengan pendataan. Tetapi dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang ditemukan oleh salah satu putri beliau, Ibu Nyai Umdatul Baroroh, tertulis usianya 35 (tiga puluh lima) tahun pada saat tahun 1974. Dari data tersebut, maka bisa diketahui beliau lahir sekitar awal tahun 1940-an atau akhir tahun 1930-an.

Ia lahir dari lingkungan keluarga santri kampung. Meskipun ayah beliau bukan seorang Kiai yang mengasuh pesantren, tetapi Mbah Ahmad Rifa’i adalah seorang guru ngaji yang saat itu telah berkiprah dalam melahirkan madrasah Mathali’ul Huda, Bugel, yang terkenal hingga sekarang. Sementara ibunya adalah seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Tetapi keluarga besar mbah Mastamah, termasuk orang tuangya, dikenal sebagai para inisiator berdirinya pesantren-pesantren kecil di desa Bugel saat itu.

Mbah Dullah, sapaan akrab beliau, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya itu bernama Mustarikhah dan Ahmad Sakhowi. Dalam usianya kurang lebih delapan tahun, beliau telah ditinggal wafat oleh ayahandanya. Dalam kisah yang diceritakan olehnya kepada putra-putrinya dulu, ayahandanya wafat dengan sangat mendadak. Saat itu ayahandanya, Mbah Ahmad Rifa’i, sedang mengunjungi keluarganya di tanah kelahirannya di desa Sendang Purwogondo Jepara. Tiba-tiba saat berwudhu hendak shalat beliau merasakan sakit perut. Tidak lama kemudian lemas dan meninggal dunia. Karena sulitnya transportasi saat itu, maka janazah ayahandanya tidak dibawa pulang ke Bugel, melainkan dimakamkan di desa Sendang, tempat kelahirannya. Sepeninggal ayahandanya, tiga bersaudara itu menjalani masa kecilnya dalam keadaan yatim. Mbah Dullah sendiri saat itu baru saja selesai dikhitan. Selang beberapa tahun sepeninggal ayahandanya, ibundanya, Mbah Mastamah, menikah lagi dengan Mbah Hannan dari Demak. Dari pernikahan kedua ini, mbah Mastamah melahirkan satu anak perempuan yang bernama Marfu’ah. Jadi dapat diketahui bahwa Mbah Dullah ini mempunyai tiga saudara; dua li abawain (sekandung) dan satu li umm (se-ibu).

Setelah kepergian ayahandanya, Mbah Dullah diboyong ke Kajen oleh adik kandung ibunya, Nyai Aisyah yang merupakan istri dari KH. Abdullah Zain Salam. Di Kajen inilah, Mbah Dullah kecil mendapat pendidikan keagamaan dan sekolah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah. Di madrasah ini, ia tumbuh menjadi santri kecil yang cerdas dan sangat mencintai ilmu agama. Kecintaannya terhadap ilmu agama bahkan agak berlebihan dan cenderung ta’asshub atau fanatik. Hal itu diakui oleh beliau sendiri. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu agama, ia juga membenci ilmu-ilmu umum. Hingga saat madrasah Matholi’ memasukkan mata pelajaran umum (Bahasa Indonesia dan Matermatika) ia sering membelot dan keluar kelas tidak mau mengikuti pelajaran. Keberaniannya ini yang akhirnya ia pernah dimarahi oleh pamannya, Mbah Abdullah Salam.

Berkelana Mencari Ilmu

Tidak puas belajar di Kajen, setelah lulus dari Matholi’, Mbah Dullah muda melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Pondok Pesantren Bendo, Kediri bersama dengan kiyai Sahal Mahfudh. Pilihan pesantren ini atas dawuh dari pamanda, Kiai Abdullah Salam. Kebetulan di sana telah ada Kiai Sahal yang juga keponakan Kiai Abdullah Salam. Pikiran pamandanya, Mbah Dullah itu hendak dititipkan kepada Kiai Sahal agar aman dan betah di pondok. Tetapi ia hanya sebentar nyantri di pesantren asuhan KH. Muhajir ini. Menurut pengakuan beliau yang pernah diceritakan kepada putra/putrinya, ia tak betah mondok di sana. Kemudian beliau pindah ke Sarang, Rembang dibawah bimbingan KH. Zubair Dahlan. Namun, seperti halnya di Bendo Mbah Dullah juga tidak merasa betah.

Dalam perjalanannya, Mbah Dullah akhirnya melabuhkan rihlah ilmiahnya ke Pesantren Darul ulum, Pondowan Tayu Pati. Pesantren kecil yang terletak di pinggir sawah dan agak terpisah dari kampung sekitarnya ini berada di bawah bimbingan KH. Muhammadun. Putusan akhir untuk memilih pesantren kecil ini ternyata berawal dari kisah unik pada masa kecilnya selama di Kajen. Saat di Kajen, Mbah Dullah secara tak sengaja sering menjumpai Mbah Muhammadun ketika barengan saat ziarah ke makam Mbah Ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah yang haulnya diperingati setiap tanggal sepuluh Asyuro. Tak tahu kenapa saat itu ia telah terpikat dengan sosok Mbah Muhammadun. Ia sangat mengagumi pembawaan dan kewibawaan Kiai kharismatik yang kelak menjadi mertuanya itu. Beliau seperti ingin sekali segera nyantri dengan sosok kiai ini sehingga yang ada di pikiran beliau adalah bagaimana caranya segera bisa kesana.

Kecintaannya kepada Mbah Muhammadun itulah, kenapa Mbah Dullah akhirnya hanya sebentar nyantri di Bendo dan Sarang. Di Pondowan inilah, Mbah Dullah mengaji dengan Mbah Muhammadun selama kurang lebih sepuluh tahun. Keteladanan Kiai Muhammadun sangat berpengaruh kuat membentuk karakter keilmuan Mbah Dullah. Hal itu sangat tampak jelas dalam diri Mbah Dullah. Bahkan kebiasaan harian sosok Mbah Muhammadun yang sangat rajin membaca dan muthala’ah kitab juga mentradisi dalam keseharian Mbah Dullah muda. Hingga cara mengajar dan langgam membacanya terhadap kitab dan syair-syair Arab juga persis seperti gaya Mbah Madun. Hal itu diakui oleh beberapa santri dan putri beliau yang pernah mengaji langsung dengannya dan mendengarkan rekaman-rekaman ngaji Mbah Madun.

Mbah Dullah Rifa’i mempunyai minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa di Pondowan Beliau mendalami banyak fan ilmu seperti tauhid, fikih, ushul fiqh, qawaid fiqhiyah, nahwu, sharaf, balaghah (ilmu alat), tafsir, hadis, arudh, tasawuf hingga mantiq. Selama nyantri Mbah Dullah dapat dikatakan santri yang tekun dan disiplin. Ia gemar membaca dan kritis dalam memahami isi kitab. Tak jarang ia selalu telaten mencari tahu makna kata perkata dari kitab yang ia pelajari. Ketika ia mememukan kata yang maknanya dirasa sulit, tak segan-segan ia untuk segera mencatat dan mencari tahu di kitab syarah (penjelasan atas kitab matan). Jika belum juga mendapati maknanya, ia akan melacaknya di kitab hasyiyah (komentar atas kitab syarah).

Kesabaran dan ketelatenannya menekuni dunia ilmu pengetahuan, membentuk keilmuannya yang sangat matang. Ilmu beliau sangat tahqiq. Ia adalah tipe orang yang total dalam menjalani sesuatu. Ia tidak mau setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Ketika bisa, bicara bisa, jika tidak bilang tidak. Saat belum mampu, ia tak segan untuk bersungguh-sungguh belajar hingga memahami dengan baik. (Bersambung).

Oleh: Muhamad Saib Abdillah & M. Ulil Albab.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 4,500 kali

Baca Lainnya

Nantikan! Kolom Khusus (Wejangan)

23 Maret 2023 - 13:14 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Mengabdikan Ilmu dengan Ikhlas Tanpa Batas (Bagian III)

11 Agustus 2022 - 04:19 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Diambil Menantu Sang Kiai (Bagian II)

11 Agustus 2022 - 04:14 WIB

Trending di Profil Masyayikh