Menu

Mode Gelap

Profil Masyayikh · 11 Agu 2022 04:14 WIB ·

KH. Abdullah Rifa’i : Diambil Menantu Sang Kiai (Bagian II)


 Foto KH. Abdullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah Perbesar

Foto KH. Abdullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah

KOLOM JUM’AT XXX

Jum’at, 25 Februari 2022

Liputan Khusus Biografi Mu’assis

Ketekunan dan kedisiplinan belajar Mbah Dullah menjadikannya seorang santri yang semakin haus akan ilmu. Ia selalu betah untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk muthala’ah kitab. Dari hasil muthala’ah kitab-kitab itu menjadikan Mbah Dullah memiliki banyak informasi baru dan pengetahuan yang semakin luas. Kegemarannya menggauli kalimat-kalimat Arab itu juga telah menjadikan sosok Mbah Dullah sebagai pecinta bait-bait syair Arab. Banyaknya pengetahuan yang ia dapatkan mendorong dirinya untuk mengumpulkan dan menuliskannya dalam buku. Bahkan dalam usianya yang relatif muda, Mbah Dullah sudah mulai mengarang kitab. Di masa akhir nyantri di Pondowan ia telah menggubah beberapa syair yang dituangkan dalam karya pertamanya, kitab Al-Mifan. Kitab ini merupakan hasil dari temuan catatan-catatannya selama ngaji dan muthala’ah.

Selain tekun muthala’ah, Mbah Dullah adalah pembaca yang aktif. Ketika muthala’ah kitab, tak jarang beliau juga menulis keterangan-keterangan yang menarik untuk dicatat yang didapatkan dari banyak kitab yang dibacanya. Karena itu, semua kitab yang dibacanya penuh dengan taqriran (catatan pinggir). Setiap kali menjumpai catatan yang menarik, ia akan menulisnya di depan sampul kitabnya kemudian diberi judul Al-Mathlab. Menurut kesaksian putra/putri beliau, Mbah Dullah mempunyai tulisan tangan yang bagus sekali dengan gaya khat yang diciptakan beliau sendiri. Menurut keterangan Gus Ulil, tulisan beliau sebenarnya mirip dengan khat riq’ah tetapi bentuk dan modelnya khas ia sendiri.

Kebiasaan memberikan taqriran inilah yang menjadi modal awal pembuatan kitab Al-Mifan dan kitab-kitab lainnya. Kitab Al-Mifan ditulis ketika fase-fase akhir beliau mondok. Kitab dalam fan ilmu nahwu ini membahas tentang hal-hal yang tergolong rumit dan asing didengar dalam nahwu. Selain Al-Mifan, Mbah Dullah juga menulis beberapa ktiab yang lain. Diantaranya adalah kitab Zaadul Mutafaqqih yang menerangkan istilah-istilah dalam ilmu fikih. Kitab ini sangat dibutuhkan sebagai bekal untuk mengetahui istilah pada kitab-kitab fikih. Kitab ini juga hasil dari ketelatenan mencatat serpihan-serpihan istilah fikih yang tersebar di banyak kitab kemudian dikumpulkan menjadi satu lalu dinadzamkan dalam bentuk syair Arab secara rapi sehingga menjadi sebuah kitab yang apik.

Kegemaran Mbah Dullah terhadap syair-syair Arab, menjadikannya sangat menyukai ilmu arudh. Dalam fan ilmu ini, beliau juga menulis karya khusus yang dinamai dengan Ruhut Tarjuman. Kitab ini membahas tentang bagaimana caranya membuat nadham yang benar nan indah sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Selain itu, beliau juga punya kitab Zaadul Murahhimin, yang berisi berbagai macam lagu tarhiman yang biasa diperdengarkan di masjid pada bulan Ramadhan. Syair tarhiman ini juga telah direkam dan pernah tersebar di beberapa daerah asal para alumni.

Melihat kepiawaian santrinya ini, Mbah Madun sangat terkesan dengan Mbah Dullah. Hingga akhirnya beliau meminangnya sebagai menantu dan dinikahkan dengan putrinya, Nyai Salamah. Setelah menikah ia mulai aktif ikut membantu Mbah Madun mengajar para santri. Kegiatan keilmuan Mbah Dullah di Pondowan setelah menikah dengan Ibu Salamah masih sama, yaitu tekun muthala’ah dan menulis temuan-temuannya. Pikiran dan waktunya dicurahkan untuk ilmu. Ia tidak tanggung-tanggung dalam mencintai ilmu. Ia adalah pribadi yang total dalam mencintai sesuatu. Ia tidak puas untuk mempelajari sesuatu hanya di permukaan saja. Ia selalu mendalami dan memperhatikan ta’bir (redaksi kitab) secara detail dari aspek makna, tarkib, balaghah dan bayannya.

Menurut penuturan salah satu putrinya yang bersumber dari Ibu Salamah, Mbah Dullah bukanlah satu satunya santri yang menonjol kealimannya ketika itu. Ada beberapa santri lain yang juga alim, selain beliau. Diantaranya adalah Mbah Hasan Wira’i dan Mbah Muhammad Najib Ihsan. Ketiganya ini hampir segenerasi dan akhirnya juga menjadi menantu Mbah Muhammadun. Dalam tradisi pesantren dulu, menjodohkan santri yang dianggap alim dengan putri kiainya adalah hal yang lumrah. Kiai Muhammadun sendiri juga mengalami hal yang sama. Beliau dijodohkan gurunya, KH. Yasin, Jekulo Kudus, dengan putrinya yang bernama Nyai Nafisatun. Setelah menikah Mbah Madun dikaruniai sebelas anak, yaitu Kiai Badruddin, Kiai Ahmad Rifa’i, Nyai Afifah, Nyai Salamah, Gus Ahnaf (meninggal saat muda), Kiai Aniq, Gus Ahid (meninggal saat muda), Nyai Thohiroh, Kiai Aslam, Ning Robi’atul Adawiyah (meninggal ketika masih bayi), dan Gus Muhammad Afdhol (meninggal saat muda). Tiga dari empat putri Mbah Madun, dinikahkan dengan santrinya secara berturut turut, yaitu Nyai Afifah dengan Kiai Hasan Wira’i, Nyai Salamah dengan Kiai Abdullah Rifa’i, dan Nyai Thohiroh dengan Kiai Muhammad Najib Ihsan.

Setelah menikah, Mbah Dullah diberi gotakan (bilik santri) sendiri oleh Mbah Madun. Karena pintar dalam hal pertukangan, ia membangun gotakan itu dengan tangannya sendiri, dikerjakan sendiri dan hasilnya sangat bagus. Menurut cerita salah satu putra beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla, tembok di gotakan Mbah Dullah itu dipenuhi catatan-catatan yang ditulis menggunakan kapur, dan catatan itu, lagi lagi adalah hasil dari muthala’ah beliau. Sampai sekarang gotakan itu masih ada dan utuh, tidak berubah sedikitpun.

Pindah ke Cebolek Kidul

Pasca menikah, Mbah Dullah berdomisili selama kurang lebih enam atau tujuh tahun di Pondowan. Setahun pertama setelah menikah, beliau masih tetap tinggal di gotakan pondok layaknya santri. Beliau belum tinggal bareng dengan istrinya. Karena saat itu belum dilakukan walimah pernikahannya. Rencana walimah pernikahannya dilakukan bersama dengan pernikahan kakak ipar beliau, KH. Badrudin Muhammadun, putra pertama Mbah Madun. Setelah walimahan inilah, beliau baru tinggal bersama istrinya, Nyai Salamah, di ndalem Mbah Madun. Dari pernikahan ini Mbah Dullah menurunkan tiga putra dan empat putri. Mereka itu adalah: Gus Muhammad A’lam (meninggal saat masih bayi), Gus Ulil Abshar Abdalla, Nyai Khiyarotun Nisa’, Ning Dzurwatul Ula (meninggal saat masih bayi), Nyai Umdatul Baroroh, Gus Malja’ul Abror, dan Ning Dzakiroh (meninggal saat masih bayi).

Pada tahun 1970, Mbah Dullah diamanahi mengasuh pesantren di Cebolek Kidul, wakafan dari Mbah Halimah, Ibunda Mbah Madun. Setelah di Cebolek, Beliau mengasuh pondok pesantren Mansajul Ulum yang asalnya bernama Himmatul Ma’rufah. Penggantian nama ini lantaran nama asal tersebut dirasa susunan dan maknanya kurang relevan. Di pesantren ini beliau memiliki jadwal mengajar yang lumayan padat. Seluruh waktunya dicurahkan untuk khidmah kepada ilmu dan mendampingi para santri. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kitab yang beliau kaji dalam satu hari, serta totalitas beliau dalam mengajarkan ilmu kepada para santri. Dalam mengajar, Mbah Dullah memiliki gaya yang khas baik dalam cara menjelaskan dan langgam yang dipakai. Salah satu kekhasan beliau dalam mengajar yaitu selalu memberikan keterangan tambahan di luar teks yang dibaca. Seperti halnya ketika menemui syair, beliau selalu memberi tahu jenis baharnya, wazan, dan nada lantunannya. Termasuk juga nama penyairnya.

Langgam dan nada beliau mengajar, menurut cerita putra/putri beliau adalah persis dengan langgam ngajinya Mbah Madun. Hal itu menunjukkan bahwa kekaguman Mbah Dullah terhadap ilmu dan sosok Mbah Madun benar-benar total. Tetapi naluri mudanya yang kritis, saat itu membuatnya tidak semua model kehidupan Mbah Madun beliau ikuti. Seperti ketekunan Mbah Madun dalam ‘jungkung’ wiridan. Ini kurang menarik Mbah Dullah untuk mengikutinya. Sehingga selama hidup Mbah Dullah lebih tampak ‘jungkung’ muthala’ahnya dalam ilmu dari pada menghabiskan waktu untuk wiridan.

Mbah Dullah membuka banyak pengajian kitab di Pondoknya. Antara lain syarah Ibnu Aqil, Al-Jauharul Maknun, Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Tahrir, Fathul Mu’in, Irsyadul ‘Ibad, Fathul Wahab, dan masih banyak kitab-kitab turats yang lain. Pengajian yang selalu ramai dan dicari para santri adalah pengajian Syarah Ibnu Aqil yang dimulai jam sepuluh pagi setiap harinya. Banyak santri luar yang mengikuti pengajian ini, meskipun tidak berdomisili di pondok beliau. Karena beliau mampu menjelaskan kitab ini dengan sangat rinci, menlalui contoh-contoh, bahkan juga dengan pertanyaan-pertanyaan. Sehingga santri merasa sangat puas dan mudah memahaminya.

Di samping pakar ilmu alat, Mbah Dullah adalah seorang yang fakih (ahli ilmu fikih), sekaligus ushully (pakar ilmu ushul fikih). Beliau tak jarang menjadi rujukan jawaban kiai-kiai muda Kajen ketika menghadapi isykalan (pertanyaan atau kerumitan) dalam memahami sebuah kitab. Salah satu Kiai muda Kajen yang sering datang ke kediaman Beliau adalah Kiai Nafi’ Abdillah. Kiai Nafi’ sering berdiskusi membahas kejanggalan yang dialaminya ketika memahami kitab Lubbul Ushul. Kiai lain yang juga sering berdiskusi dengan Mbah Dullah adalah Kiai Makmun Muzayyin, Kiai Abdul Bari, Kiai Minan Abdillah, Kiai Muhibbi, dan lain-lain. Kiai Muhibbi adalah teman diskusi dalam ilmu Arudh. Mereka berdua saling bertukar karangan syair dan mengoreksi satu sama lain.

Seperti yang diketahui masyarakat luas, Mbah Dullah terkenal “keras” dalam hal mempertahankan persoalan agama. Ia adalah pribadi yang kokoh memegang prinsip dengan disertai hujjah yang kuat. Namun, beliau juga kiai yang obyektif dan terbuka untuk menerima pendapat orang lain. Ia bisa mengubah pandangannya jia ada orang lain memberikan pandangan alternatif dengan hujjah yang lebih kuat. Baginya, memegang prinsip haruslah disertai dalil. Jika ada dalil yang lebih kuat maka Mbah Dullah akan mendengarkan dan mengikutinya. (Bersambung).

Oleh: Muhammad Saib Abdillah dan M. Ulil Albab.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 1,169 kali

Baca Lainnya

Nantikan! Kolom Khusus (Wejangan)

23 Maret 2023 - 13:14 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Mengabdikan Ilmu dengan Ikhlas Tanpa Batas (Bagian III)

11 Agustus 2022 - 04:19 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Anak Desa dan Pecinta Ilmu Sejati (Bagian I)

11 Agustus 2022 - 01:50 WIB

Trending di Profil Masyayikh