Menu

Mode Gelap

Profil Masyayikh · 11 Agu 2022 04:19 WIB ·

KH. Abdullah Rifa’i : Mengabdikan Ilmu dengan Ikhlas Tanpa Batas (Bagian III)


 Foto KH. Abdullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah Perbesar

Foto KH. Abdullah Rifa'i dan Nyai Hj. Salamah

KOLOM JUM’AT XXXI
Jum’at, 4 maret 2022

Semenjak mengasuh pesantren Mansajul Ulum di Cebolek Kidul, Mbah Dullah selalu istiqomah menjalani kehidupannya dengan mengabdikan ilmu yang dimilikinya. Pengabdian itu beliau lakukan dengan ikhlas kepada siapapun tanpa mengenal batas. Ia tak pernah berfikir mencari keuntungan materi dari pengabdian yang dilakukan. Sehingga seluruh waktunya hampir ia habiskan dengan aktifitas di pesantren semata. Bahkan beliau tidak mengajar di madrasah sebagaimana para Kiai yang lain. Hal ini beliau lakukan karena mengikuti ‘dawuh’ gurunya, Mbah Muhammadun, Pondowan. Suatu ketika Mbah Dullah pernah diminta untuk mengajar di Madrasah Mathali’ul Falah, tempat almamaternya. Tetapi saat beliau meminta izin kepada Mbah Madun, beliau tidak mengizinkan. Mbah Madun waktu itu menjelaskan dengan datar “Kamu ku taruh di sana untuk ngerumat pondok”. Dari situ hingga akhir hayatnya, Mbah Dullah total hanya mengajar di pesantren. Beliau tak berani menyalahi dawuh sang guru.

Totolitasnya mengajar di pesantren, membuat Mbah Dullah memiliki banyak waktu untuk memperhatikan para santri. Mereka tidak hanya diajari ilmu-ilmu aqwal (tekstual) tetapi juga ilmu ahwal (laku). Beliau selalu mengajarkan bagaimana menerapkan dalil-dalil agama ke dalam kehidupan nyata. Bukan saja dalil agama yang berhubungan dengan ubudiyah, tetapi juga yang berkaitan dengan mu’amalah bersama lingkungan dan alam. Misalnya, tentang kebersihan dan kerapian. Beliau selalu mengajarkan para santri untuk hidup bersih dan rapi. Beliau tidak segan memantau seluruh lingkungan pondok dan kamar-kamar santri. Kerapian dan ketertiban beliau tercermin dalam perilaku sehari-hari.

Beliau juga mengajarkan kepada para santri untuk merawat alam. Beliau mengajak para santri untuk menanam pohon dan menata lingkungan dengan rapi. Pohon-pohon kelapa dan pisang yang dilihat mata kurang enak dirapikan supaya indah dan enak dipandang mata. Kiai Muqorrobin, salah satu alumni yang sekarang mengasuh pesantren Al-Aziz, Bekasi, menceritakan bahwa setiap hari Jumat santri-santri diwajibkan mengikuti kegiatan kerja bakti. Dalam kegiatan ini para santri diperintah untuk menata ulang posisi tanaman tersebut. Tidak peduli keadaan tanamannya itu sudah besar sekalipun. Banyak orang yang terheran-heran melihat cara beliau yang dianggap tidak wajar itu. Tetapi kejelian beliau dalam menata sesuatu, membuat lingkungan pondok terasa rapi dan asri. Meski tanpa bermodal kemewahan bangunan, lingkungan pondok tampak sangat indah. Itu salah satu kehebatan beliau tentang ilmu penataan ruang.

Kesadaran terhadap lingkungan ini bahkan beliau dedikasikan pula kepada desa tempat beliau tinggal. Dalam penuturan salah satu tetangga dekat, Bapak Halimi, menyatakan bahwa Yai Abdullah Rifa’i sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggalnya. Terbukti beliau pernah menginisiasi pembangunan senderan sungai depan pondok sepanjang 100 meter dari depan rumah KH. Ma’mun Muhdlori sampai dengan sebelah timur Pondok Mansajul Ulum, dengan dana pribadi beliau. Uniknya senderan tersebut dibuat dari batu kali dengan perekat menggunakan tanah liat saja. Tiap hari para santri dikerahkan untuk membuat senderan tersebut dan dipimpin langsung oleh beliau sendiri. Sehingga tidak ada bangunan senderan yang kelihatan tidak lurus dan rapi walaupun bahannya dari batu kali dan tanah liat.

Mbah Dullah adalah kiai pesantren yang tegas dalam mengawal santri dan peraturan pondok. Beliau merupakan kiai yang sangat disiplin, jeli dan penuh target. Beliau juga selalu menanamkan akhlaq ta’dzim kepada guru. Beliau membangun karakter santri dengan sangat luar biasa. Baik karakter keilmuan maupun perilaku. Salah satu yang ia wasiatkan kepada para santri adalah agar selalu menutup kepala ketika keluar. Karena itu belaiu melarang santri membuka penutup kepala ketika keluar area pondok, baik berupa peci ataupun topi. Santri diwajibkan memakai penutup kepala saat keluar dari lingkungan pondok. Peraturan itu ditujukan untuk mengajarkan sikap menjaga muru’ah kepada para santri.

Sudah menjadi kesepakatan banyak orang, bahwa Mbah Dullah merupakan kiai yang sangat jeli dalam memaknai kitab. Pengetahuannya sangat luas dan detil ketika menjelaskan kepada para santri. Dikisahkan dari salah satu santri beliau, Bapak Ali Subhan, salah satu Wakil Rektor Ipmafa, bahwa Mbah Dullah memaknai kitab dengan cara yang tidak dilakukan oleh kebanyakan kiai. Misalnya, beliau selalu menyertakan ta’alluqnya huruf jar dan menunjukkan musyar ilaihnya isim isyarah. Konon, membaca kitab dengan tradisi menyertakan ta’alluqnya huruf jar adalah warisan dari gurundanya, Kiai Muhammadun. Saat memuradi (menjelaskan isi) kitab juga demikian. Beliau punya kebiasaan mengajar tanpa menulis penjelasannya di papan tulis. Bahkan, hanya sekedar menulis titik di papan tulis pun beliau tidak pernah melakukannya. Tetapi lantaran cara mengajarnya jelas, lugas, tertib, tahqiq dan detail, para santri cepat menangkap materi dan paham dalam arti yang sebenarnya. Selain mengajar dan muthola’ah, Mbah Dullah juga ikut mengawal santri dalam musyawarah kitab. Seringkali beliau mendengarkan musyawarah dari ndalem. Suatu ketika para santri pernah ramai membahas lafadz “ta’ala”. Kebanyakan santri menjawab secara asal asalan dan nampak kebingungan. Mendengar hal itu, Mbah Dullah keluar rumah dan memberikan penjelasan terkait lafadz tersebut. Beliau menerangkan bahwa lafadz tersebut merupakan kalimah fi’il yang mengikuti wazan tafa’ala.

Aktif Di Masyarakat Hingga Berpolitik

Kehidupan Mbah Dullah tidak hanya berkutat di lingkungan pesantren saja. Setelah lama menetap di Cebolek, beliau mulai aktif bermasyarakat, mengisi pengajian di masjid, menjadi khatib Jum’at, dan membuka pengajian kitab untuk masyarakat umum. Mbah Dullah juga intensif mengikuti bahtsul masa’il NU dari tingkat ranting, kecamatan, hingga cabang.

Meskipun kesehariannya didominasi oleh kegiatan mengajar ilmu agama di pesantren, kiai yang alim allamah itu, juga melek terhadap politik. Menurut salah satu putra beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla, kiprah politik beliau itu masih ada kaitannya dengan masa mudannya saat di Pondowan. Sebelum pindah ke Cebolek beliau terlibat aktif di Anshor, mengikuti pawai NU. Pada saat itu, masih periode Orde Lama tahun 1960-an sampai peristiwa G30S/PKI. Memang suasana politik saat itu sedang memanas antara pemuda PKI dan Anshor. Namun setelah pindah ke Cebolek beliau lebih mengutamakan fokus mengajar di pesantren. Kiprah Mbah Dullah di politik kembali aktif saat menjelang Pemilu tahun 1999, pasca runtuhnya Orde Baru. Sebagaimana kita tahu Pemilu pada tahun itu memberikan kesempatan kembali kepada NU untuk terlibat aktif di kancah politik melalui lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Sebagai penganut Nahdhiyyin dan pecinta Gus Dur, Mbah Dullah juga terlibat aktif mendukung PKB. Bahkan saat itu beliau pernah tercatat sebagai salah satu jurkam PKB di Kabupaten Pati. Sikap politiknya saat itu dapat dikatakan agak fanatik. Saking fanatiknya, menurut tetangga dekatnya, beliau pernah menyisipkan dalam doa supaya orang-orang memilih salah satu partai yang didukungnya, yaitu PKB, pada salah satu khutbahnya di hari raya Idul Adha. Sehingga setelah khotbah berakhir ada beberapa masyarakat yang bersebrangan politik dengan beliau merasa kurang berkenan. Suasana politik saat itu memang cenderung panas. Terutama antara PKB dan PPP yang saat itu saling berebut mencari dukungan dari Nahdhiyyin.

Akhir Hayat

Tak ada manusia yang abadi. Tak ada kehidupan yang tanpa akhir. Tahun 1999 M Mbah Dullah terserang stroke. Keadaan ini membuatnya harus berhenti dari seluruh aktifitas beliau selama ini. Dengan didampingi Bu Nyai, beliau menjalani pengobatan, baik medis maupuan non medis. Dalam masa pengobatan itu, Tuhan berkehendak lain. Ibu Nyai Salamah yang sabar mendampingi ternyata harus mendahului mengahap ke hadirat Allah. Sungguh kesedihan luar biasa yang dirasakan Mbah Dullah. Beliau harus berpisah dengan istri tercinta dalam keadaan sedang sakit. Keadaan itulah yang memaksa beliau harus rela diboyong ke Demak oleh salah satu putrinya, Nyai Khiyarotun Nisa’, yang sudah menikah dan menetap disana. Karena putra/putrinya yang lain masih sedang menjalani masa belajarnya di bangku kuliah.

Dalam keadaan stroke saat itu, beliau tetap masih bisa berjalan meski agak tertatih. Hingga suatu saat beliau terjatuh dari kamar mandi yang menyebabkan salah satu tulang belakangya patah. Beliau sempat dibawa ke rumah sakit Ortopedi, Solo dan dioperasi. Tetapi kondisi usia yang tidak lagi muda, tindakan itu ternyata tidak mampu memperbaiki kondisi beliau. Beliau akhirnya mengalami kelumpuhan total. Akibatnya, kebiasaan sehari hari seperti muthola’ah, membaca kitab dan kegiatan keilmuan lainnya tidak lagi dapat beliau lakukan. Keadaan semakin memburuk ketika seminggu menjelang wafatnya, beliau juga mulai terserang penyakit jantung coroner. Hingga akhirnya beliau dilarikan ke RSI, Demak. Ruang ICU Rumah Sakit Sunan Kalijaga Demak merupakan saksi bisu keberadaan sosok Mbah Abdullah Rifa’i menjalani akhir hayatnya.

Dikisahkan oleh putri beliau, Nyai Khiyarotun Nisa’, meski dalam kondisi yang payah, beliau masih sadar. Bahkan beliau masih mengatur orang-orang yang menunggu di sekitarnya untuk membacakan Yasin dan mentalqinnya. Saat semua sudah dilakukan, beliau menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang tepat pada hari Selasa tanggal 22 Syawal 1424 H/16Desember 2003 M.

Mbah Dullah telah mengabdikan dan mendedikasikan seluruh kehidupannya kepada ilmu. Keluarga, para santri, dan masyarakat telah menjadi saksi atas keteguhan dan istiqomahnya dalam mengajar dan mengamallkan ilmunya. Tak ada sedikitpun tindak lampahnya yang keluar dari kebenaran ilmu yang dijunjung tinggi. Bahkan sikap ‘keras’ dan ‘galaknya’ yang terkenal itu tak ada yang ia lakukan kecuali untuk meneguhkan para santri dan putra/putrinya dalam menekuni ilmu dan menjalankan agama. Dengan tuntunan ilmunya itu pula yang membuat beliau menjadi pribadi yang pemaaf dan membiarkan orang-orang yang mencoba memusuhinya tanpa ada rasa sakit maupun dendam. Beliau bersahabat dengan semua orang tanpa pilah-pilah. Beliau tidak menjauhi siapapun, bahkan kepada orang yang menjauhinya.

Keteladanan-keteladanan beliau itulah yang harus diikuti oleh para santri sekarang ini. Totalitas, konsistensi, dan ketekunan yang telah dicontohkan oleh sosok Mbah Dullah haruslah menginspirasi kita semua dalam meniti jalan thalabul ilmi. Agar ilmu-ilmu yang telah beliau tinggalkan dapat kita kembangkan untuk kemaslahatan, sebagaimana harapan beliau. Tamat.

Oleh: Muhammad Saib Abdillah & M. Ulil Albab.

Seri tulisan biografi bersumber dari:

  1. Ifadhun Nada dan Endah Sulistioningsih, Jejak Sang Pengabdi Potret Kehidupan dan Teladan dari Sosok KH. Abdullah Rifa’i, tahun 2015.
  2. Wawancara dengan
  • Gus Ulil Abshar Abdalla
  • Nyai Hj. Khiyarotun Nisa’
  • Nyai Umdatul Baroroh
  • KH. Aslam Muhammadun
  • KH. Muhammad Liwa’uddin Najib
  • KH. Mahfudz Sholih
  • K. Muqorrobin
  • K. Ah. Suyuthi
  • KH. Dr. Ali Subhan, MA.
  • Bapak Halimi
  • Bapak Asmuri
Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 813 kali

Baca Lainnya

Nantikan! Kolom Khusus (Wejangan)

23 Maret 2023 - 13:14 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Diambil Menantu Sang Kiai (Bagian II)

11 Agustus 2022 - 04:14 WIB

KH. Abdullah Rifa’i : Anak Desa dan Pecinta Ilmu Sejati (Bagian I)

11 Agustus 2022 - 01:50 WIB

Trending di Profil Masyayikh