Menu

Mode Gelap

Wejangan · 21 Apr 2023 08:40 WIB ·

Hidup Sebagai “Suluk”


 Sumber: NU Online Perbesar

Sumber: NU Online

Wejangan XXX
30 Ramdhan 1444 H

(Catatan: Ini adalah seri ke-30 dari seluruh rangkaian tulisan yang saya siapkan selama satu bulan penuh. Ini adalah seri terakhir untuk bulan Ramadan tahun ini. Tetapi saya akan tetap melanjutkannya setelah Ramadan, insyaallah mulai 10 Syawal dan seterusnya. – UAA)

Hidup di dunia ini, sejatinya, adalah sebuah “suluk”, atau perjalanan. Yang disebut “suluk” ialah hidup yang disadari sebagai perjalanan sementara saja menuju ke kehidupan lain yang lebih sejati, yaitu kehidupan akhirat yang oleh Qur’an disebut sebagai “lahiya al-hayawan”, kehidupan yang sesungguhnya. Orang yang memiliki kesadaran semacam ini disebut sebagai “salik”, pejalan, “traveller”. Kata kuncinya adalah: “disadari”. Karena itu kesadaran menjadi fondasi penting bagi hidup sebagai suluk ini. Tidak semua hidup disadari sebagai suluk.

Karena itu, tidak semua orang bisa kita sebut “salik”. Orang-orang yang tidak menyadari hidup di dunia ini sebagai perjalanan menuju akhirat, melainkan sebagai tujuan akhir, bukanlah seorang salik. Apa yang disebut “suluk” sejatinya ialah sikap hati dan pikiran, “a state of mind and soul”. Sikap ini akan mendasari prilaku hidup sehari-hari. Tindakan yang memiliki nilai di mata Tuhan ialah tindakan yang terbit dari sebuah kesadaran, bukan tindakan yang sifatnya permukaan saja, artifisial. Tindakan seperti ini ibarat badan tanpa nyawa. Tindakan semacam ini adalah seperti zombie alias mayat yang bergerak; tindakan robotik.

Sekali lagi, kita tidak boleh melupakan ajaran dasar al-Ghazali tentang akhlak. Apa yang disebut akhlak bukanlah tindakan yang tampak di permukaan belaka, melainkan sifat tertentu yang mengakar dalam jiwa. Dengan kata lain, akhlak juga merupakan sikap hati, “a state of mind and soul”.

Seorang mukmin sudah seharusnya juga seorang salik. Mukmin dan salik adalah dua pasangan yang seharusnya saling gandengan. Sebab hakekat iman bukanlah sekadar ber-syahadat secara verbal. Iman juga cerminan dari sikap jiwa dan pikiran. Seorang yang sungguh-sungguh beriman akan memahami dan sekaligus menghayati makna syahadat yang ia ucapkan. Yaitu kesadaran yang otentik bahwa memanglah tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Allah berkomunikasi dengan hamba-Nya melalui rangkaian para utusan yang dipungkasi oleh rasul terakhir: Nabi Muhammad (saw.).

Dengan kesadaran seperti ini, seorang mukmin akan sekaligus menjadi salik, pejalan menuju kehidupan sejati kelak. Dengan kesadaran ini, ia akan menjadikan Sang Khalik menjadi fokus dari seluruh jiwa dan pikirannya. Kalaupun ia berkecimpung dalam kehidupan duniawi, bergulat dengan upaya-upaya untuk membangun kehidupan yang layak dan beradab, ia melakukan semua itu dengan kesadaran penuh bahwa dunia hanya jembatan saja menuju dataran kehidupan lain yang lebih sejati. Ia akan memutlakkan yang ada “sekarang”; ia tidak meng-absolut-kan yang ada “di sini”. Ia menganggap yang ada sekarang dan di sini sebagai sesuatu yang relatif. “Relatif” karena yang ada di sini hanya memiliki nilai jika dikaitkan (“related to”; relatif) dengan kehidupan kelak.

Untuk merawat kesadaran rohaniah seperti ini, al-Ghazali mengajarkan beberapa cara. Dalam bagian yang lalu, saya sudah mengulas satu cara, yaitu lapar. Dengan mengosongkan perut, seseorang akan mempertajam kesadarannya tentang kesementaraan hidup di sini. Perut yang terlalu sering disesaki makanan akan membuat seseorang lupa, lengah, dan kehilangan kesadaran tersebut.

Beberapa cara lain diajarkan oleh al-Ghazali, misalnya “diam” (al-shumtu), melek di malam hari (al-sahar), dan terakhir menyendiri dalam tempat yang jauh dari riuh rendah kehidupan sehari-hari (al-khalwah). Saya ingin menyebut empat cara yang diajarkan oleh al-Ghazali ini sebagai “yoga” ala Islam. Dalam bahasa Sankerta, istilah “yoga” bermakna “terhubung”, “tersambung”. Yoga adalah tindakan tertentu yang dilakukan secara kontinyu dan disiplin agar kesadaran seseorang tetap “terhubung”. Tentu saja, yang dimaksud “terhubung” dalam konteks seorang muslim ialah terhubung dengan Sumber kehidupan, yaitu Allah.

Empat cara itu -lapar, diam, melek, dan menyendiri— akan membantu seseorang mampu mempertajam kesadaran dirinya tentang kesementaraan hidup. Ada baiknya, empat cara ini, secara rutin, dilakukan oleh seseorang. Sekali-kali dalam periode tertentu seseorang melakukan laku “diam”. Sebab kita hidup di era ketika semua orang “ngomong” melalui berbagai platform, terutama media sosial. Sekali waktu seseorang perlu diam, menahan diri tidak ngomong, agar mengendapkan diri.

Dalam periode tertentu, seseorang juga ada baiknya “melek” di malam hari. Tentu saja ini bukan melek untuk tujuan-tujuan yang sepenuhnya duniawi seperti menonton bola. Melek di sini tentu bermakna melek yang dilakukan untuk merenung dan beribadah. Tindakan melek di malam hari bisa mempertajam kesadaran jiwa seseorang. Demikian juga dengan “khalwat”, menyepi di tempat yang tersembunyi. Ini perlu dilakukan oleh seseorang secara rutin agar jiwanya tetap “on alert”, sadar dan ingat, tidak lengah.

Inilah yoga al-Ghazali. Keempat cara ini patut dilakukan secara rutin oleh setiap muslim agar ia tetap memiliki kesadaran tentang hidup sebagai suluk. Tentu saja saat terbaik untuk melakukan hal ini ialah pada bulan Ramadan. Inilah bulan “retreat” atau khalwat bagi seorang muslim; bulan berhenti sementara dari gebalau kehidupan dunia yang amat berisik.***

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College

 

 

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 408 kali

Baca Lainnya

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Guru yang Tak Terelakkan!

19 April 2023 - 07:36 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Pada Diri Setiap Manusia, Ada “Berhala”!

18 April 2023 - 08:50 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Hijab Penghalang antara Salik dan Tuhan

17 April 2023 - 09:28 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

“Wushul”: Tujuan Perjalanan Jiwa

16 April 2023 - 04:15 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Mendidik Anak ala al-Ghazali (3-terakhir)  

15 April 2023 - 08:20 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan