Menu

Mode Gelap

Wejangan · 30 Mar 2025 08:46 WIB ·

Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (2)


 Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (2) Perbesar

Wejangan XXXIV
30 Ramadhan 1446 H

Melanjutkan tulisan sebelumnya.

Batas-batas kemungkinan

Jika saya menggambarkan Kiai Sahal sebagai sosok kiai-cum-pemikir yang sangat peduli dengan kontekstualisasi fikih, maka pertanyaannya adalah: sejauh mana kontekstualisasi fikih itu bisa dilakukan? Sejauh mana fikih bisa direlevansikan dengan perkembangan zaman? Apakah fikih bisa “diliberalisasikan” begitu rupa sehingga bisa menjustifikasi, misalnya, orientasi seksual kaum LGBT, isu yang ramai dibicarakan saat ini?

Di sini, kita berhadapan dengan batas-batas kemungkinan dalam sebuah tradisi, termasuk tradisi pemikiran pesantren yang berbasis fikih. Dalam pandangan saya, setiap tradisi, baik tradisi relijius maupun sekular, mempunyai batas-batasnya sendiri. Seberapa jauh pun kita melakukan upaya pembacaan ulang atas sebuah tradisi, pada akhirnya kita harus mengakui bahwa ada batas tertentu, pada titik mana pembacaan ulang atas tradisi harus berhenti. “Harus” di sini bukan saja dalam pengertian normatif: harus berhenti karena normanya memang begitu. Tetapi “harus” di sini juga sekaligus secara faktual: bahwa faktanya memang tradisi bersangkutan tak bisa ditarik terlalu jauh hingga melampaui batas kemampuan fleksibilitasnya.

Tentu saja, apa yang disebut batas di sini bisa didefinisikan secara berbeda dari satu pemikir ke pemikir yang lain. Masing-masing pemikir bisa memiliki pengertian yang berbeda tentang batas-batas kemungkinan fleksibilitas tradisi fikih. Lepas dari perbedaan itu, pada akhirnya kita harus mengakui bahwa ada batas tertentu dalam kemungkinan kita membaca ulang tradisi, termasuk tradisi fikih pesantren. Karena itu, kontekstualisasi fikih yang digagas Kiai Sahal tetap harus dipahami dalam kerangka batas-batas itu. Hal ini, bagi saya, sangat absah, dan masuk akal.

Di mana batas itu?

Menjawab pertanyaan ini sangatlah tidak mudah. Tetapi saya akan berusaha merumuskan sebisa mungkin batas-batas intelektual yang bisa dicapai dalam usaha kontekstualisasi fikih.

Pertama-tama, tentu saja adalah batas yang sifatnya umum, yaitu batas skriptural – batas yang digariskan oleh kitab suci; dalam hal ini Quran dan sunnah. Tahap berikutnya adalah batas non-skriptural. Dalam konteks pemikiran hukum Sunni, batas ini dicerminkan melalui dua doktrin pokok: ijma’ dan qiyas. Keempat hal ini merupakan fondasi pokok dalam proses yang disebut istinbath, digging-up, menggali suatu “legal determination,” ketentuan hukum dalam kerangka berpikir kelompok Sunni. Tetapi batas-batas ini masih bersifat umum. Ada batas lain yang lebih spesifik.

Batas itu adalah tradisi bermazhab. Inilah batas yang membedakan antara kalangan Sunni pada umumnya, dan kalangan yang kurang terikat atau bahkan anti-mazhab, seperti kelompok Salafi/Wahabi[1] atau kalangan yang belakangan sering disebut 3 alla-mazhabiyyun (non-madhhabists). Secara lebih spesifik lagi, batas itu dicerminkan melalui tradisi mazhab Syafii, mazhab yang paling dominan di kawasan Asia Tenggara saat ini. Batas-batas kontekstualisasi fikih yang dianjurkan Kiai Sahal tentu hanya mungkin dalam kerangka tradisi ini. Hanya saja, Kiai Sahal mencoba membuat terobosan: yakni mengubah pola bermazhab, dari yang sifatnya semata-mata berpegang pada qaul atau pendapat ulama Syafiiyyah,[2] menuju kepada pola bermazhab yang sifatnya manhaji.

Terus terang, saya belum melihat rumusan yang komprehensif mengenai apa manhaj atau metodologi mazhab Syafii seperti dipahami oleh Kiai Sahal atau NU. Secara sporadis gagasan mengenai dasar-dasar “epistemologis” mazhab Syafii sudah dikemukakan oleh beberapa kiai-intelektual NU. Tetapi rumusan yang definitif dan komprehensif, sejauh yang saya tahu, belum kita jumpai.

Yang bisa saya pahami dari gagasan bermazhab secara metodologis adalah dua hal. Pertama, mendaya-gunakan teori fikih (ushul al-fiqh) dan kaidah-kaidah fikih (qawa’id al-fiqh) dalam menganalisis suatu masalah. Ini berbeda dengan pola analisis sebelumnya yang hanya semata-mata bertumpu pada upaya menundukkan suatu kasus kepada pendapat ulama Syafii yang ada dalam literatur fikih Syafiiyyah yang dianggap standar (al-kutub al-mu’tabarah). Kedua, melihat suatu masalah berdasarkan konteksnya. Berpikir melalui konteks, dalam pandangan saya, merupakan pergeseran paradigmatik yang penting yang digerakkan mula-mula oleh sosok-sosok seperti Kiai Sahal.

Contoh kasus bermazhab secara manhaji ini, secara empiris, ditunjukkan oleh Kiai Sahal melalui penggunaan kaidah terkenal dalam fikih, idza ta’aradlat mafsadatan ru’iya a’dhamuhuma birtikab akhaffihima. Maknanya: jika kita dihadapkan pada dua ancaman, maka kita harus memilih ancaman yang paling ringan. Ini sama dengan kaidah yang juga dikenal dalam agama Katolik: prinsip minus malum (lesser of two evils). Kaidah ini dipakai oleh Kiai Sahal dalam, misalnya, kasus lokalisasi pekerja seks. Dalam pandangan beliau, lokalisasi bisa dibenarkan berdasarkan kaidah ini. Lokalisasi bukan berarti legalisasi praktek zina yang diharamkan oleh Islam, melainkan melindungi masyarakat dari ancaman yang lebih besar, yaitu wabah penyakit menular (STD, sexually transmitted diseases).

Corak bermazhab semacam ini juga sekaligus merefleksikan pandangan keagamaan khas NU yang banyak menjadi bahan telaah para ahli. Dalam berbagai kesempatan, sejumlah kiai dan intelektual NU, seperti Kiai Mukhith Muzadi, Gus Dur, juga cendekiawan Muslim yang datang dari latar campuran kultur NU-Masyumi seperti Cak Nur, mengungkapkan observasi yang menarik tentang pandangan keagamaan umat Islam NU ini. Yakni, pandangan yang cenderung tak mutlak-mutlakan (zero sum game). Teman saya yang namanya kebetulan agak mirip-mirip dengan Kiai Sahal, yaitu Akhmad Sahal, pernah menggambarkan pandangan keagamaan Kiai Sahal ini sebagai realisme fikih.[3]

Dalam situasi sosial yang kongkret, kita memang kerapkali dihadapkan pada keadaan yang tak ideal. Pilihan yang harus kita ambil biasanya bukan antara yang sangat baik dan baik, melainkan antara yang buruk dan kurang buruk. Keadaan yang tak ideal inilah yang dihadapi oleh fikih Islam dalam kehidupan sehari-hari. Fikih mencoba merumuskan pola keagamaan yang akomodatif terhadap situasi semacam itu.

Kiai-kiai NU juga biasa menggunakan kaidah fikih lain, mala yudraku julluh la yutraku kulluh: suatu tujuan tak boleh ditinggalkan sama sekali hanya gara-gara kita tak bisa mencapai keseluruhannya. Kaidah fikih ini mencerminkan suatu pandangan hidup yang anti-perfeksionisme, sebaliknya mengafirmasi pada kenyataan yang kurang ideal yang tak bisa dihindarkan.

Pola bermazhab secara manhaji mencerminkan adanya sikap keberagamaan yang lentur, fleksibel, dan akomodatif. Kontekstualisasi fikih seperti digagas Kiai Sahal dipraktekkan dalam batas-batas kelenturan yang dimungkinkan oleh pola keberagamaan yang akomodatif seperti itu.

Sementara itu, batas lain juga perlu ditelaah di sini. Selain batas skriptural, non-skriptural, dan mazhab, juga ada batas lain yang penting dalam praktek kontekstualisasi fikih seperti dipraktekkan oleh Kiai Sahal, yaitu batas kontekstual; dalam hal ini, batas konteks Indonesia. Kelenturan berfikih sosial ala Kiai Sahal dimungkinkan, tetapi juga sekaligus dibatasi oleh konteks budaya Indonesia (baca: Jawa dan Melayu). Ini sangat nampak, misalnya, dalam isu hubungan antara Pancasila dan Islam. Sementara kelompok-kelompok Islam garis keras merumuskan keduanya dalam hubungan yang kontradiktif dan saling bertentangan, para ulama dan cendekiawan NU seperti Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Sahal dan Gus Dur justru melihat hubungan antara keduanya sebagai dua hal yang saling melengkapi, bukan bertentangan. Negara agama dianggap sebagai opsi yang tidak realistis dalam kerangka kehidupan bernegara seperti di Indonesia, sama dengan tak realistisnya opsi lain: sekularisme.

Model-model Kekiaian atau Keulamaan

Sebagai model, Kiai Sahal adalah sosok yang ideal dalam kerangka kehidupan keagamaan di Indonesia. Dalam diri beliau, tergambar kombinasi yang pas antara dua imperatif: imperatif menjaga tradisi, sekaligus imperatif mengembangkan secara dinamis tradisi tersebut. Saya bisa mengatakan, bahwa secara umum, sosok kekiaian yang berkembang di masyarakat NU kurang lebih mendekati gambaran yang ada pada diri Kiai Sahal ini. Model keulamaan atau kekiaian yang menonjol dalam NU dicirikan dengan dua sifat tersebut: keulamaan yang menjaga tradisi, sekaligus mengakomodasi perubahan.

Kita bisa menyebut modal keulamaan lain sebagai antitesis yang radikal: misalnya model keulamaan yang cenderung puritanistik, dan memperlakukan Islam sebagai ideologi politik ketimbang sebagai etika sosial sebagaimana menjadi aspirasi para kiai NU. Contoh keulamaan model ini bisa diwakili oleh para “kiai” yang berafiliasi dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, misalnya. Salah satu contoh terbaik tentu adalah Yusuf Qardawi. Meskipun pada pemikiran Qardawi kita lihat unsur-unsur fleksibilitas dan kelenturan, namun gaya dan “thought style” Qardawi jelas berbeda dengan model keulamaan yang dicontohkan oleh sosok seperti Kiai Sahal. Tekanan pada dimensi politik dan ideologi pada model keulamaan Qardawi lebih menonjol, sementara pada model keulamaan ala Kiai Sahal, kita melihat tekanan justru lebih diletakkan pada dimensi Islam sebagai etika sosial.

Corak aktivisme yang menonjol pada kiai seperti Kiai Sahal adalah aktivisme sosial, bukan aktivisme politik seperti kita lihat pada model keulamaan ala Ikhwan. Karena itu, wilayah perjuangan para kiai seperti Kiai Sahal, pada umumnya, adalah wilayah sosial-ekonomi. Sementara wilayah politik, meskipun dipandang penting, di mata mereka bukanlah arena yang kepentingannya setara dengan wilayah sosial.

Karena itu, jargon “Islam din wa dawlah” tidak terlalu menonjol dan menjadi perhatian utama bagi kiai-kiai seperti Kiai Sahal. Ini yang menjelaskan kenapa kiai-kiai NU tidak terlalu antusias dengan perjuangan untuk formalisasi syariat di Indonesia. Hukum Islam sebagaimana tercermin dalam kajian fikih merupakan pokok kajian dalam lembaga-lembaga pendidikan NU. Yang menarik, agenda untuk menjadikan hukum fikih sebagai hukum positif di Indonesia kurang begitu mendapatkan simpati yang besar di kalangan ulama dan intelektual NU. Sosok cendekiawan NU seperti Gus Dur bahkan dengan gigih menentang upaya-upaya seperti itu. Hukum Islam tentu harus dilaksanakan oleh umat Islam, tetapi bukan melalui “daya paksa” aparat negara yang bisa menimbulkan implikasi sosial negatif yang luas, sebegaimana dialami oleh banyak negara yang telah bersekperimen dengan proyek ini.

Model keulamaan khas NU dan keulamaan puritan tentu saja saling bersaing untuk memperebutkan pengakuan sosial di kalangan umat Islam saat ini. Model keulamaan ala Kiai Sahal, sejauh ini, masih cukup dominan pengaruhnya di Indonesia. Model keulamaan yang puritan, apalagi yang cenderung fundamentalistik, kurang mendapat sokongan di kalangan umat, meskipun pelan-pelan ia mulai mencoba merebut perhatian umat, terutama karena demokratisasi ruang sosial yang dimungkinkan oleh teknologi digital dan relaksasi politik pasca-reformasi 1998 di Indonesia.

Tentu saja, dalam pandangan saya, model keulamaan ala Kiai Sahal lebih pas dalam konteks kebutuhan kita membangun negara yang inklusif, sebagaimana dikehendaki oleh semangat Pancasila dan konstitusi kita. Yang saya maksud dengan “negara inklusif” di sini adalah negara yang melindungi semua kelompok, termasuk kelompok minoritas.

Meskipun Kiai Sahal tak pernah mengutarakan pendapatnya secara eksplisit mengenai hak-hak kaumminoritas, seperti Ahmadiyah, Syiah, dll., tetapi yang pasti adalah bahwa beliau tak pernah meng-endorse pandangan keagamaan yang diskriminatif, apalagi agresif dan menyerang kelompok-kelompok Islam yang berbeda. Sebuah anekdot menarik yang saya dengar dari penuturan seorang teman mengisahkan tentang kunjungan sejumlah kiai dari Jawa Timur untuk meminta “endorsement” Kiai Sahal terhadap posisi keagamaan mereka yang menganggap Syiah sebagai kelompok sesat. Kiai Sahal menolak memberikan persetujuan, dengan memberikan komentar pendek, “Jangan libatkan saya dalam masalah ini.”

Sikap Kiai Sahal yang “non-intervensionis” terhadap keyakinan kelompok lain ini, menurut saya, mencerminkan kecenderungan yang umum (mohon dikoreksi jika observasi saya keliru) di kalangan kiai-kiai NU. Sikap Kiai Sahal memang berbeda dengan sosok Gus Dur yang lebih dekat kepada figur kecendekiawanan yang “bebas” (dalam pengertian tak terikat terlalu ketat dengan batasan-batasan tradisi). Dalam kasus Gus Dur, yang kita lihat adalah sikap yang dengan eksplisit menunjukkan simpati kepada Syiah, begitu rupa sehingga Gus Dur menyebut NU sebagai sebentuk Syiah kultural.

Sikap keulamaan yang toleran dan non-intervensionis terhadap kelompok-kelompok yang berbeda, dalam pandangan saya, lebih masuk akal dalam konteks negara Indonesia yang sedang berusaha memantapkan budaya demokrasi pasca-reformasi. Salah satu elemen kebudayaan yang panting dalam konsolidasi demokrasi tentu saja adalah penghormatan terhadap hak-hak kaum minoritas.

Tanpa disadari, sosok-sosok seperti Kiai Sahal ini memberikan sumbangan yang penting dalam memperdalam akar-akar demokrasi di Indonesia melalui penanaman dan penghunjaman nilai-nilai toleransi dan sikap non-intervensionisme menyangkut kepercayaan dan keyakinan kelompok-kelompok minoritas.

Post-script Setelah Kiai Sahal

Yang menjadi masalah saat ini adalah kita berhadapan dengan “gaya intelektual” baru yang muncul setelah generasi Kiai Sahal. Kelahiran gaya ini, antara lain, dipantik apinya oleh sosok seperti Gus Dur. Gaya intelektual baru ini bisa kita lihat melalui sumber-sumber pemikiran yang mengilhaminya. Gaya baru ini bukan semata-mata bersandar pada bacaan “al-kutub al-mu’tabarah” yang dikenal di lingkungan NU selama ini, terutama kitab-kitab yang menjadi sumber rujukan dalam bahsul masa’il. Buku-buku berbahasa Arab yang ditulis oleh sarjana Muslim modern seperti Hassan Hanafi, Mohamed Arkoun, Muhammad Abid Al Jabiri, Ali Harb, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, dll., misalnya, menjadi rujukan dalam gaya intelektual baru di lingkungan NU. Rujukan ini dibaca oleh sebagian pelajar NU yang melewatkan pendidikan di Timur Tengah, seperti Mesir.

Saya belum pernah mendengar komentar pribadi Kiai Sahal mengenai rujukan-rujukan baru ini. Saya juga tak tahu apakah Kiai Sahal mengkoleksi atau membaca buku-buku yang ditulis oleh pemikir Muslim generasi baru ini. Yang saya tahu, sebagian kalangan di NU, terutama kiai-kiai muda yang cukup terbuka terhadap bacaan baru, mulai mencicipi literatur semacam ini. Alm. Gus Ishom Hadziq dari Pesantren Tebuireng, misalnya, membaca dengan penuh minat karya-karya Hassan Hanafi, terutama karyanya yang paling terkenal, Min al-Aqida ila al-Thawra. Kiai Hussein Muhammad dari Cirebon, setahu saya, sangat akrab dengan karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd, terutama bukunya yang sangat penting Mafhum al-Nass. Ketua Umum PBNU sekarang ini, KH Said Aqil Siradj, jelas sangat akrab dengan buku-buku yang ditulis oleh Muhammad Abid Al Jabiri, terutama seri Kritik Nalar yang menjadi “trade-mark” dari pemikir asal Maroko itu.

Saya sendiri berkenalan dengan literatur baru ini melalui sosok-sosok seperti Gus Dur. Saya mengenal untuk pertama kali karya-karya Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi dan Muhammad Abid Al Jabiri melalui Gus Dur. Peran Gus Dur dalam memperkenalkan “literatur baru” kepada lingkungan NU jelas tak bisa diabaikan. Inilah gaya intelektual yang selama ini disebut sebagai “Islam liberal”. Ada sejumlah ciri yang menarik dalam pemikiran baru ini.

Pertama, tekanan pada pentingnya aspek historisitas dalam memahami sebuah teks. Harus diakui, gagasan ini dipengaruhi oleh filsafat tafsir atau hermeneutika yang berkembang di Barat, yang juga banyak mempengaruhi model telaah dalam disiplin ilmu yang disebut humanities, ilmu-ilmu kemanusiaan. Muhammad Arkoun menulis banyak artikel yang berkaitan dengan ide historisitas teks ini – apa yang oleh dia disebut tarikhiyyat al-fikr al-‘Arabi. Nasr Hamid Abu Zayd juga melanjutkan gagasan ini melalui sejumlah karya dia, termasuk dalam bukunya yang sudah saya sebut di atas.

Tak bisa diingkari bahwa gagasan tentang historisitas teks ini sudah menjadi semacam gagasan yang diterima secara umum di kalangan para sarjana Islam yang berada di lingkungan akademis seperti di UIN/IAIN. Oleh karena banyak pelajar NU yang menempuh studi di lembaga tersebut, dengan sendirinya mereka terdedahkan (exposed) terhadap gagasan ini.

Gagasan tentang historisitas teks ini sebetulnya dengan mudah diterima oleh sebagian kalangan NU karena sudah ada “iklim kondusif” yang mengarah ke sana. Kontekstualisasi fikih yang pernah digagas oleh Kiai Sahal pada dasarnya satu langkah saja menuju kepada gagasan tentang historisitas teks.

Kedua, agama sebagai sumber kritik atas struktur ketidak-adilan. Ini gagasan yang sangat menonjol dalam pemikiran Hassan Hanafi, terutama melalui idenya tentang Kiri Islam (al-Yasar al-Islami). Dalam pandangan Hassan Hanafi, agama kerapkali menjadi alat untuk melegitimasi struktur kekuasaan yang tak adil. Tugas Kiri Islam adalah melakukan “kritik” atas penyalah-gunaan agama semacam itu dan mengembalikannya sebagai sumber harapan dan pemberdayaan bagi orang-orang yang tertindas. Langsung atau tidak langsung, Gus Dur banyak memperoleh pengaruh dari gagasan ini. Simpati Gus Dur yang mendalam pada teologi pembebasan yang datang dari Amerika Latin jelas dibentuk, antara lain, oleh simpatinya pada ide-ide yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi.

Ketiga, penghargaan terhadap keragaman pemahaman keagamaan. Ini tercermin dalam gagasan tentang pentingnya “religious freedom”, kebebasan keyakinan. Gagasan ini digaungkan dengan sangat konsisten oleh Gus Dur. Citra NU sebagai ormas Islam moderat yang sangat bersahabat dengan kaum minoritas jelas tak bisa dipisahkan dari peran Gus Dur. Pengarus gagasan kebebasan keyakinan ini di kalangan generasi baru NU jelas sangat besar. Ini tak bisa dipisahkan pula dari pengaruh bacaan baru yang mengilhami anak-anak muda NU dari generasi pasca-Gus Dur. Kita tahu, salah satu pemikir Muslim yang buku-bukunya banyak dibaca oleh generasi baru NU adalah Abdullahi An Naim, seorang profesor dan pemikir Muslim asal Sudan yang banyak mencurahkan perhatian pada isu HAM dan pentingnya menafsirkan ajaran Islam dalam konteks HAM.

Ada cukup banyak gagasan lain yang diilhami oleh bacaan baru dan meninggalkan pengaruh yang mendalam di kalangan generasi baru NU. Saya tak akan mengulasnya secara lebih mendalam di sini. Yang penting dikemukakan di sini adalah bahwa ada “thought style” atau gaya pemikiran baru yang muncul setelah era Kiai Sahal. Gaya pemikiran baru ini tidak serta-merta berhadapan secara kontradiktif terhadap tradisi intelektual yang ada di NU. Tetapi juga tidak seluruhnya bisa diharmonisasikan dengan tradisi tersebut. Benturan, dalam kasus tertentu, mungkin saja ada.

Bagaimana kita menyikapi hal ini?

Ada dua kemungkinan sikap yang bisa kita pikirkan. Pertama, sikap menyangkal, denialism. Kita bisa saja menolak sama sekali pengaruh bacaan baru ini dengan cara melarangnya sebagai bahan rujukan di kalangan NU. Kita memasang pagar pemisah yang kokoh untuk melindungi tradisi NU dari pengaruh bacaan baru itu. Kedua, sikap menerima dialogis: mencoba mendialogkan bacaan baru itu dengan bacaan yang sudah ada dan diakui dalam tradisi NU.

Sikap yang pertama, bagi saya, sama sekali tidak ideal. Sebab, memproteksi diri dan mencegah generasi baru NU dari pengaruh bacaan baru hampir mustahil dan tak bisa dilaksanakan di era keterbukaan informasi saat ini. Sensor literatur sudah sering dilakukan oleh banyak kelompok Islam, tetapi hasilnya selalu berbalik dengan apa yang semula dikehendaki oleh penggagas sensor itu.

Sikap yang kedua, menurut saya, jauh lebih bisa diterima. Inilah sikap yang secara esensial sebetulnya dicontohkan baik oleh Kiai Sahal dan Gus Dur. Dalam kasus Gus Dur, saya kira tak bisa diragukan lagi bahwa sosok ini sangat membuka diri dengan pelbagai ragam bacaan baru. Seperti saya sebutkan di atas, tokoh pertama yang memperkenalkan bacaan baru di lingkungan NU adalah Gus Dur.

Sikap intelektual yang membuka diri sebetulnya dicontohkan oleh Kiai Sahal. Sejauh yang saya tahu secara pribadi, Kiai Sahal sangat terbuka dengan hal-hal baru, asal tidak bertentangan secara diametral dengan ajaran Islam. Bahwa Kiai Sahal menggagas ide fikih sosial sudah menunjukkan adanya keterbukaan intelektual dari pihak beliau kepada tantangan dan perubahan sosial yang berkecamuk di tengah masyarakat.

Selain itu, sikap kedua ini juga lebih konsisten dengan jargon yang terkenal di kalangan nahdliyyin sendiri, al-mukhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bi a;- jadid al-ashlah. Jargon ini mencerminkan sikap keagamaan yang realistis yang menjadi ciri khas pandangan keagamaan di kalangan NU selama ini. Sikap ini juga jauh lebih sesuai dengan instink sosial dalam setiap komunitas apapun. Untuk menjaga kelangsungan eksistensinya, setiap kelompok sosial tidak merta-merta menerima elemen-elemen baru yang bisa saja mangancam daya hidupnya; tetapi juga tidak serta-merta menolak elemen baru tersebut, sebab bisa saja ia merupakan unsur yang akan memperkut kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, sikap realistis yang selalu diambil oleh setiap komunitas sosial di manapun adalah jalan tengah: mempertahankan old wisdom, tetapi juga bisa menerima new wisdom jika ia memang lebih baik dari tradisi yang ada.

Sekian.

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Catatan:

Tulisan ini telah diunggah pada 6 November 2019 di akun Facebook beliau dan diizinkan untuk diunggah ulang melalui website resmi Pondok Pesantren Mansajul Ulum.

[1] Mereka mengaku melakukan “ijitihad langsung” terhadap Quran dan sunnah, meskipun dalam 3 kenyataannya mereka lebih dekat dengan mazhab Hanbali yang merupakan salah satu dari empat mazhab utama dalam masyarakat Sunni.

[2] Istilah syafiiyyah harus dibedakan dari istilah lain: syafii. Syafiiyyah adalah komunitas ahli hukum Islam 4 yang berafiliasi dengan mazhab Syafii, meskipun pendapat mereka tidak serta merta identik dengan Imam Syafii, pendiri mazhab tersebut. Sementara istilah syafii adalah nisbah atau atribut perorangan bagi seorang alim atau sarjana yang berafiliasi dengan mazhab Syafii. Istilah syafii bisa juga berarti nama bagi Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii.

[3] Akhmad Sahal, “Kiai Sahal dan Realisme Fikih”. Majalah Tempo 24/2/2014

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 33 kali

Baca Lainnya

Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (1)

23 Maret 2025 - 08:22 WIB

Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

16 Maret 2025 - 07:51 WIB

The Age of Polarization

9 Maret 2025 - 09:01 WIB

Adakah (Kajian) Filsafat Islam di Indonesia?

2 Maret 2025 - 07:51 WIB

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan