Menu

Mode Gelap

Wejangan · 23 Mar 2025 08:22 WIB ·

Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (1)


 Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (1) Perbesar

Wejangan XXXIII
23 Ramadhan 1446 H

Kedudukan kiai atau ulama di tengah-tengah masyarakat Muslim sangat penting. Dia sering digambarkan sebagai pewaris para nabi (waratsat al-anbiya’; the heirs to prophets). Dia juga, dalam istilah Prof. Muhammad Qasim Zaman, bertindak sebagai “the custodian of change,” pengawal perubahan, agar arah perubahan itu tidak melenceng jauh dari jalan lurus (ortodoks) sebagaimana tertuang dalam Quran dan sunnah. Kiai juga, dalam istilah yang dulu pernah dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geertz, adalah “agents of change,” pelaku perubahan. Dia bukan saja sebagai pengawal yang menjaga agar tradisi terus bertahan, tidak terkorupsi oleh perubahan; tetapi juga pelaku perubahan yang aktif.

Di tengah-tengah zaman yang teramat “progresif” sekarang ini, dengan perubahan-perubahan yang cepat di dalamnya, dan tuntutan yang kian tinggi agar kita menyesuaikan diri dengan perubahan itu, peran kiai kadang-kadang tampak begitu “konservatif”. Di mata banyak kalangan, mungkin juga termasuk saya, tugas kiai yang menonjol adalah menjaga atau mengkonservasi tradisi. Sementara tuntutan yang berkembang di masyarakat justru menuju ke arah yang lain, yakni mengembangkan, bahkan kalau perlu merombak (bahkan mendekonstruksi) tradisi, agar sesuai dengan perkembangan zaman.

Di mana-mana, terutama di kalangan yang sering disebut “cendekiawan,” gagasan yang lebih menonjol bukanlah konservasi, melainkan reformasi, tajdid, pembaharuan, transformasi, islah, liberalisasi, kontekstualisasi, dsb. Di tengah-tengah desakan zaman yang cenderung “dekonstruktif” terhadap tradisi dan hal-hal yang diwarisi dari masa lampau ini, kita bisa mempunyai gambaran yang agak kurang positif mengenai peran seorang kiai atau ulama.

Kalau mau memakai jargon yang populer di masyarakat nahdliyyin, imperatif zaman baru sekarang ini lebih mengarah kepada “al-akhdzu bil jadid,” mengadopsi hal-hal yang baru. Segala yang baru cenderung dilihat dengan mata takjub, dan dengan kesan yang positif. Sementara imperatif “al-mukhafadzah ‘alal qadim,” merawat tradisi lama, dianggap kurang dominan. Bahkan dalam beberapa kasus, imperatif yang kedua itu dianggap mengandung masalah, dan karena itu harus dikritik.

Di lain pihak, ada juga segolongan masyarakat yang menganggap bahwa imperatif perubahan mengandung bahaya laten yang harus diwaspadai, bahkan dipandang sebagai konspirasi pihak luar yang ingin menghancurkan Islam dan tradisinya yang sudah mapan. Kelompok ini lebih meletakkan titik tekan pada imperatif konservasi, menjaga tradisi, seraya memandang kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada tafsir atau pembacaan ulang atas tradisi sebagai ancaman yang harus dihalau jauh-jauh.

Dalam sejarah Islam, dua arus yang saling bertentangan ini sebetulnya sudah pernah ada. Baik arus yang pro-al-jadid maupun mazhab yang pro-al-qadim, dua-duanya kita jumpai dalam sejarah intelektual Islam yang umurnya sudah lebih dari seribu tahun 1 itu. Kedua arus pemikiran ini juga tak pelak kita jumpai di dalam masyarakat nahdliyyin. Dalam setiap masyarakat, adanya kecenderungan dua arus pemikiran seperti ini, bagi saya, sangatlah wajar. Dinamisme suatu kelompok sosial dimungkinkan karena adanya titik keseimbangan antara imperatif kemajuan dan imperatif menjaga apa yang sudah ada (the old wisdom). Masyarakat yang sehat tak bisa mengabaikan pentingnya dua dimensi itu.

Dalam sosok Kiai Sahal, saya menemukan contoh yang baik bagaimana titik moderasi atau tengah-tengah itu dicapai. Yakni titik tengah antara imperatif perubahan dan imperatif menjaga tradisi. Pada diri Kiai Sahal, saya menemukan dua dimensi itu bisa berjala secara kurang lebih seimbang.

Saya mencoba menggambarkan sosok Kiai Sahal dengan meletakkan beliau di antara dua kategori, yaitu Kiai dan Cendekiawan. Saya memandang bahwa Kiai Sahal tidak bisa dimasukkan secara pas ke dalam dua kategori itu. Beliau berada di antara kedua kategori itu. Atau lebih tepatnya, beliau menggabungkan dua watak tersebut. Kiai Sahal adalah kiai dan sekaligus cendekiawan.

Kiai Sahal Bukan…

Saya mulai dengan aspek negatifnya dulu, yakni kategori-kategori di mana Kiai Sahal tidak bisa secara tepat dimasukkan ke dalamnya. Kiai Sahal jelas bukan kiai dalam pengertiannya yang lazim kita kenal selama ini, yakni figur sosial yang tugasnya hanyalah merawat tradisi, mengaji kitab kuning, mengasuh santri di pesantren, menjadi tempat rujukan sosio-spirito-kultural masyarakat di sekitarnya, dan kurang peduli dengan tantangan sosial yang ada.

Kiai Sahal juga bukan kiai dalam pengertian sosok yang dalam menganalisis masalah-masalah sosial melulu bertumpu pada pola fikir halal-haram yang kaku. Dalam banyak kesempatan, termasuk dalam konteks percakapan personal ketika “njagong” dengan para tamu yang sowan ke “ndalem” beliau, Kiai Sahal bahkan kerap melontarkan kritik terhadap pola pikir yang rigid dan kaku seperti itu. Sebaliknya, Kiai Sahal mengharapkan agar disiplin fikih yang menjadi tulang-punggung tradisi intelektual pesantren diubah orientasinya, dari fikih yang melulu mengurus soal-soal ritual dan ibadah murni menjadi fikih yang berorientasi sosial. Fikih, di mata beliau, harus relevan dengan tantangan yang berkembang di masyarakat.

Walau Kiai Sahal adalah sosok yang ‘alim di bidang fikih, tetapi beliau bukanlah kiai yang kita kenal selama ini, yakni berpegangan pada mazhab Syafii secara tekstual atau qauli. Melainkan beliau menganjurkan agar ada perubahan orientasi paradigmatik dalam pola berfikih di NU, dari al-tamazhub al-qauli, bermazhab secara tekstual, menuju kepada al-tamazhub al-manhaji, bermazhab secara metodologis. Perhatian Kiai Sahal pada aspek metodologi atau cara berpikir memang sudah tampak sejak dini dalam karir intelektual beliau. Sejak usia masih sangat muda, Kiai Sahal telah menulis karya berjudul Thariqat al-Hushul yang merupakan supra-komentar (khasyiyah) atas kitab Ghayat al-Wusul – sebuah karya klasik yang banyak dikaji di pesantren-pesantren NU mengenai teori hukum Islam (ushul al-fiqh). Tentu Kiai Sahal tidak menganjurkan untuk 2 meninggalkan pola bermazhab tekstual sepenuhnya, tetapi pola ini harus disempurnakan dengan pola bermazhab yang bersifat manhaji.

Karena keprihatinan Kiai Sahal terhadap isu-isu sosial yang dihadapi umat, terutama dalam sektor sosial dan ekonomi, beliau dikenal dengan gagasannya tentang kontekstualisasi fikih – dalam pengertian meletakkan fikih di dalam terang tantangan sosial yang berkecamuk di masyarakat. Dari sinilah muncul gagasan kunci beliau mengenai fikih sosial.

Tetapi Kiai Sahal juga bukan sosok cendekiawan yang kita kenal selama ini, yakni, sosok intelektual yang lebih akrab dengan metodologi pemikiran modern yang berasal dari Barat. Kiai Sahal jelas bukanlah Muhammad Arkoun yang dikenal dengan antusiasmenya untuk mengadopsi pelbagai pemikiran Perancis mutakhir, terutama teori dekonstruksinya Derrida dan arkeologi dan genealoginya Michael Foucault. Kiai Sahal bukanlah Nasr Hamid Abu Zayd yang dikenal karena usahanya untuk menerapkan teori hermeneutika modern dalam penelaahan teks Quran.

Kiai Sahal juga bukanlah sosok yang bisa kita samakan dengan Gus Dur dan Cak Nur – dua cendekiawan Muslim Indonesia yang kita kenal karena usahanya untuk melakukan pribumisasi dan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.

Dunia Kiai Sahal tetaplah dunia Kitab Kuning, bukan dunia bacaan di mana Gus Dur dan Cak Nur asyik-masyuk di dalamnya. Dalam menelaah persoalan-persoalan sosial, Kiai Sahal tentu tidak menggunakan teori-teori sosial yang banyak dipakai oleh Gus Dur. Tidak seperti Gus Dur, Kiai Sahal tak memakai teologi pembebasan dalam menganalisis soal-soal kemasyarakatan yang dihadapi oleh umat nahdliyyin. Tidak seperti Cak Nur, Kiai Sahal tidak menggunakan teori peradaban yang dipakai oleh Marshall Hodgson, penulis The Venture of Islam yang kerap dijadikan rujukan oleh Cak Nur itu. Setahu saya, Kiai Sahal tidak memiliki masalah intelektual dengan teori sekularisasi atau desakralisasi (ala Harvey Cox) yang menjadi bahan permenungan mendalam bagi Cak Nur.

Tetapi, dengan mengatakan ini semua, bukan berarti Kiai Sahal terkungkung dalam dunia yang terisolir dan tak memiliki keprihatinan dengan soal-soal besar yang dihadapi oleh umat Islam, terutama dalam konteks Nahdlatul Ulama. Isu kemiskinan, misalnya, menjadi pusat perhatian Kiai Sahal yang cukup mendalam. Dalam banyak kesempatan, saya kerap mendengar beliau mengutarakan pedapat yang menarik tentang isu kecukupan gizi. Ketika isu ini menjadi bahan perdebatan yang luas di kalangan ilmuwan sosial Indonesia pada 1980an, terutama melalui perumusan indeks kecukupan gizi yang pernah diajukan oleh Prof. Sajogjo dari IPB (Institut Pertanian Bogor), Kiai Sahal menyambut gagasan ini secara positif. Beliau mengatakan, isu kecukupan gizi mestinya bukan hal yang asing bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang akrab dengan fikih. Dalam fiqih, ada pembahasan yang cukup luas mengenai nafkah minimal yang harus disediakan oleh seorang suami kepada isteri dan keluarga. Nafkah di sini mencakup pangan, sandang, dan papan.

Dalam setiap kitab fikih yang dikaji di pesantren, selalu kita jumpai bab khusus mengenai nafkah (Kitab al-Nafaqat). Pembukaan bab mengenai nafkah dalam kitab 3 Minhaj al-Talibin karya Imam al-Nawawi,[1] misalnya, menjelaskan tentang kaidah dasar 1 nafkah dalam pandangan hukum Islam:

 عَلَى مُوْسِرٍ لِزَوْجَتِهِ كُلَّ يَوْمٍ مُدَّا طَعَامٍ، وَمُعْسِرٍ مُدٌّ، وَمُتَوَسِّطٍ مُدٌّ وَنِصْفٌ

Atas seorang laki-laki yang berkecukupan, ada kewajiban menafkahi isteri sebesar dua mudd bahan makanan pokok per hari; atas yang miskin, satu mudd, dan atas yang sedang-sedang saja, satu setengah mudd.[2]

Gagasan sederhana dalam fikih klasik tentang nafkah minimum (semacam UMR yang kita kenal saat ini), oleh Kiai Sahal dipahami secara lebih kontekstual dalam kaitannya dengan isu kecukupan gizi. Dalam pandangan Kiai Sahal, fikih Islam tidak saja berurusan dengan soal-soal ritual yang sempit, tetapi juga mencakup ide tentang syarat dasar bagi seorang manusia untuk bisa hidup yang bermartabat. Syarat minimal itu tentu saja berkenaan dengan kebutuhan dasar atau yang –pada dekade 80an ketika perdebatan soal kecukupan gizi itu muncul—biasa disebut sebagai “basic needs”.

Dimensi fikih yang bersifat keduniaan (this-worldly) sebetulnya jauh lebih dominan ketimbang dimensinya yang bersifat keakhiratan (other-worldly). Kiai Sahal sangat sadar betul mengenai hal ini. Karena itu, Kiai Sahal mempunyai keyakinan yang tinggi bahwa, jika dipahami secara tepat dan kontekstual, fikih yang merupakan tulang punggung tradisi intelektual pesantren bisa menjadi sumber untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Tantangannya adalah bagaimana dimensi-dimensi keduniaan dalam fikih itu dikembangkan secara kreatif dan dinamis agar bisa menjawab tantangan-tantangan modern. Di sinilah gagasan fikih sosial yang menjadi “intellectual preoccupation” Kiai Sahal menjadi sangat penting.

Karena keprihatinannya yang mendalam terhadap soal kualitas hidup umat inilah, Kiai Sahal, dalam langkah yang sama sekali tak terduga bisa keluar dari seorang kiai yang tak pernah melewatkan pendidikan di universitas modern, menggagas berdirinya tiga lembaga penting secara berurutan: LSM yang bergerak di bidang “community development”, rumah sakit (RSI Pati) dan bank perkreditan rakyat.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Sahal ini, bagi saya, mempunyai makna yang mendalam dan penting. Pada tahun-tahun 70an, dunia pesantren kerap dipandang oleh kalangan luar sebagai –meminjam istilah Gus Dur dulu—“subculture” yang identik dengan etos-etos negatif, seperti eskapisme (sikap abai terhadap dunia), fatalisme (jabariyyah), nerima-ing-pandum, tawakkal (dalam pengertian “resigning” atau undur diri dari gebalau dunia) – apa yang oleh sosiolog Max Weber dulu pernah disebut sebagai  “askese ukhrawi” (other worldy asceticism). Pada masa era pembangunan di zaman Orba dulu, etos-etos semacam ini dipandang sebagai hambatan kultural bagi kemajuan. Di mata kaum Muslim modernis, etos-etos ini juga dilihat secara negatif karena menghalangi apa yang disebut dengan “the idea of progress”, ide kemajuan.

Saya yakin, Kiai Sahal merasakan benar sinisme kalangan luar semacam itu – situasi yang juga pernah saya rasakan pada dekade 70an dan 8oan. Melalui gagasannya tentang fikih sosial, Kiai Sahal sebetulnya ingin mengubah citra pesantren, dari dunia yang sibuk dengan dirinya sendiri, menjadi katalisator perubahan bagi masyarakat di sekitar. Ini bisa ditempuh melalui jalan “intelektual”, yaitu melakukan kontekstualisasi fikih dan mendialogkannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan.

Kiai Sahal adalah…

Jika Kiai Sahal bukan kiai, tetapi juga bukan cendekiawan, pertanyaannya adalah: Siapakah Kiai Sahal? Jawabannya sudah saya kemukakan di atas: Kiai Sahal adalah sosok yang ada di tengah-tengah antara dua kategori itu. Atau lebih tepatnya, beliau mengombinasikan dalam dirinya dua watak sekaligus: watak kekiaian dan watak kecendekiawanan. Memakai istilah yang biasa dipakai dalam bahasa Arab modern, Kiai Sahal adalah seorang ‘alim dalam pengertian tradisional, sekaligus juga seorang mutsaqqaf, orang yang mempunyai kelengkapan pengetahuan tentang kondisi dan tantangan zaman mutakhir.

Dengan istilah yang lain, dalam diri Kiai Sahal tercermin dua karakter yang menarik: karaktek seorang kiai dalam pengertian konvensional – “kiai ngaji” yang dengan tekun mengajarkan tradisi kitab kuning kepada para santri, melalui praktek pengajaran yang sering disebut metode bandongan (metode perkuliahan). Pada saat yang sama, pada diri Kiai Sahal juga kita jumpai karaktek “kiai pemikir”. Ini tampak dalam perhatiannya terhadap aspek metodologis dari tradisi intelektual pesantren. Salah satu butir-butir pokok pemikiran Kiai Sahal tertuang dengan sangat baik dalam pidatonya saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Jakarta pada 18 Juni 2003. Dalam pidato ini, secara eksplisit dia menuangkan gagasannya mengenai dasar-dasar berfikir dalam kerangka fikih sosial.

Dilanjutkan dalam kolom wejangan selanjutnya.

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla, Pendiri Ghazalia College.

Catatan:

Tulisan ini telah diunggah pada 6 November 2019 di akun Facebook beliau dan diizinkan untuk diunggah ulang melalui website resmi Pondok Pesantren Mansajul Ulum.

 

[1] Supra-komentar (khasyiyah) atas kitab ini yang ditulis oleh Qalyubi dan ‘Amirah banyak menjadi rujukan 1 dalam forum bahtsul masa’il di lingkungan NU. Biasa dikenal dengan Khasyiyah Qalyubi wa ‘Amirah (sebagian ada yang memvokalisasikan lain: ‘Umairah).

[2] Khasyiyatan (Qalyubi wa ‘Amira), vol. 4, hal. 70.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 59 kali

Baca Lainnya

Kekiaian dan Kecendekiawanan: Kiai Sahal dan Pergulatan Fikih Sosial (2)

30 Maret 2025 - 08:46 WIB

Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

16 Maret 2025 - 07:51 WIB

The Age of Polarization

9 Maret 2025 - 09:01 WIB

Adakah (Kajian) Filsafat Islam di Indonesia?

2 Maret 2025 - 07:51 WIB

Hidup Sebagai “Suluk”

21 April 2023 - 08:40 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla

Lapar Sebagai “Jalan Rohani”

20 April 2023 - 07:11 WIB

Kiai Ulil Abshar Abdalla
Trending di Wejangan