Bagian 2
Tak terasa ngaji posonan pun akhirnya telah selesai dilaksanakan pada pagi itu. Seketika para santri pun langsung kembali ke kamarnya masing masing. Tapi tidak dengan gus Aji, karena ia santri baru di pondoknya, ia pun ingin menjelajahi semua tempat yang ada di sana. Lorong demi lorong pun ia coba jelajahi semua. Di bagian belakang pondok, ia melihat rentetan pohon bambu yang berbaris rapi tampak bahagia menyambut kedatangannya dengan bergoyang-goyang manja. Ia pun berjalan menghampiri pohon-pohon bambu tersebut untuk mampir berteduh. Tiba-tiba gus Aji pun mendengar suara pertikaian beberapa orang di balik pohon bambu itu.
“Tidak, tidak aku yang membocorkan rahasia kalian.”
“Ah, bohong..!!!”
“Beneran, Kang.”
“Hei! Kenapa kalian memukuli santri ini?” ujar gus Aji dengan sedikit menggetak pada para pemuda itu.
“Heh! Bocil kenapa kamu ikut-ikutan urusan kami, sana pergi.” sontak para santri itu.
“Justru aku yang bertanya sama kalian, kenapa kalian memukuli santri ini.” sahut gus Aji dengan mengangkat tangan kanannya menunjuk santri yang tampak ketakutan.
“Hei! Rupanya kamu nantang kami ya.” ujar salah seorang santri itu.
“Tidak, aku hanya ingin bertanya kepada kalian kenapa kalian memukuli santri ini. Ingat, Kang, segala masalah itu bisa diselesaikan dengan baik-baik tidak dengan dengan kekerasan seperti ini.” nasihat gus Aji kepada santri itu.
Suasana pun menjadi panas atas segala tutur kata gus Aji itu.
“Des, duk, plek.” suara pukulan dari para geng para remaja itu tiba-tiba menghantam gus Aji.
“Berhenti!” teriak dari santri yang tadinya dipukul oleh geng santri tersebut.
“Sudahlah! jangan pukuli dia, dia tidak ada salah sedikit pun pada kalian, pukuli sajalah aku.”
Tak kunjung lama seorang pengurus pondok yang tak sengaja lewat melihat kejadian tersebut. Ia pun langsung menghampiri tempat kejadian.
“Berhenti!” ujar pengurus itu.
Lalu para santri yang memukuli gus Aji dan juga santri kecil itu kabur dengan cepatnya.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya santri pengurus itu dengan sedikit khawatir pada gus Aji dan juga santri yang di sampingnya.
“Iya, Kang. Kami masih baik-baik saja” ujar gus Aji.
“Pasrahkan padaku, Kang. Nanti biar aku yang urus mereka.”
“Iya, Kang. Terima kasih” gus Aji tersenyum.
“Ngomong ngomong kamu ini santri baru ya, Kang?” tanya santri pengurus itu kepada gus Aji.
“Iya, saya ingin ikut ngaji posonan di sini.”
“Oh….ya sudah kalau begitu, lain kali hati-hati ya. Beritahu para pengurus kalau ada apa-apa. Mari kembali ke pondok untuk istirahat”
“Oke, siap, Kang.”
***
Malam pun tiba dengan disambut suara gemericik air gerimis. Para santri tampak sibuk mengobrol ke sana kemari tanpa henti. Tapi, tak kunjung lama suasana pun berubah menjadi tegang atas datangnya para rombongan pemuda kampung yang tadinya memukul seorang santri cilik dan juga gus Aji.
“Hei! Kalian ada yang melihat santri baru di sini?” ucap salah satu pemuda tersebut. Mereka menganggap gus Aji santri baru karena baru pertama kalinya ia melihat di pesantren itu. Karena sering, di pondok itu para anak-anak kampung sekitar kalau ingin ikut mengaji selalu disambut oleh Kiai Muhammad Dahlan Al Qudsi.
“Tidak, kami sama sekali tidak melihat santri itu.” ucap salah seorang santri yang berada di situ dengan sedikit takut kepada rombongan remaja tersebut.
“Saya, Kang.” ucap gus Aji secara tiba-tiba dari dalam kamar bersama seorang santri pengurus.
“Ada apa lagi, Kang?” tanya santri pengurus pada para pemuda itu.
“Tidak, Kang. Aku ingin mengajak santri baru ini untuk pergi ngopi. Itung-itung buat nebus kesalahan tadi pagi.”
“Baiklah, aku ikut.” ucap gus Aji tiba-tiba.
Tapi, bukanya merasa bahagia justru gus Aji menjadi sengsara pada malam itu. Segerombolan pemuda itu seketika menghabisi gus Aji sampai tak berdaya.
“Kalau kamu berani menginjakkan kaki di pesantren sana lagi dengan mengadu pada pengurus atau Abah Yai. Hukumanmu pasti akan lebih kejam lagi dari pada ini.”
Di pagi harinya para santri pun bingung karena gus Aji tidak kembali di pondok dari semalam.
“Ada yang melihat kang Aji?” ucap seorang santri yang tampak kebingungan.
“Mungkin masih tertidur di warung kopi. Semalam kan ia diajak pergi ngopi sama para pemuda kampung sini.”
Tanpa menunggu waktu lama seorang yang mencari gus Aji tadi pun langsung menghampiri warung kopi tempat gus Aji pergi.
“Dari semalam santri yang kamu jelaskan ini tidak ada di sini.” balas seorang penjual kopi setelah dijelaskan mengenai ciri-ciri gus Aji oleh salah seorang santri pengurus.
“Santri baru kok udah mau macam-macam, pantesan aja kemarin dihajar oleh pemuda kampung sini.” gerutu salah seorang pengurus tersebut.
“Ngapunten, Bah. Santri baru yang bernama kang Aji dari semalam sampai pagi ini tidak ada di pondok.” ucap salah seorang pengurus pada Kiai Muhammad Dahlan Al Qudsi sepulang dari pencariannya dari warung kopi.
“Kok bisa tidak ada itu bagaimana, cari lagi suruh kembali.”
Kedua santri pengurus itu pun langsung keluar dan kembali dengan misinya mencari santri pergi.
“Ada-ada saja anak ini. Baru saja di sini malah bikin banyak masalah lagi.” gerutu salah seorang santri pengurus tersebut.
“Udahlah, mungkin ia masih terbawa suasana kebebasan dari rumahnya.” balas seorang santri di sampingnya.
“Aku ingin buang hajat nih, mampir ke masjid sana dulu yuk,” lanjutnya.
“Kebiasaan, efek kebanyakan makan nih. Ya udah mari.”
“Eh, itu kang Aji, kenapa ia tiduran di sini?” mereka berdua melihat seorang tertidur di pojokan masjid.
“Ya udah, kamu samperin dulu. Aku sudah tidak tahan ini.” santri pengurus itu pun berlari dengan cepatnya.
“Hei, bangun, tidur mulu.” dengan sekejap pun mata gus Aji langsung terbuka.
“Kamu ngapain di sini? Jangan bilang kamu kabur dan hari ini tidak puasa loh.”
Maaf, Kang. Aku ketiduran di sini tadi malam. Hari ini aku puasa kok.” balas gus Aji dengan suara yang agak serak.
“Ya udah, mari balik ke pondok, kamu di cari Abah tadi.”
“Tapi..,”
“Udah tidak ada tapi-tapian, Abah sendiri ini yang minta.” santri pengurus tersebut memotong pembicaraan gus Aji.
“Sudah selesai buang hajatnya, Kang. Mari langsung pulang saja sudah sangat mengantuk ini rasanya.”
“Ya udah mari, untung saja kamu tidak pergi jauh, Ji.”
“Iya, Kang. Maaf.”
“Sebagai hukuman, setelah ini kamu harus menguras kamar mandi di pondok ya, Ji.” salah satu pengurus itu pun tersenyum.
“Baik, Kang.” gus Aji tampak pasrah.
Setelah beberapa menit kemudian pun mereka sampai di pesantren.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, mana gus Ajinya?”
“Baru menyelesaikan hukuman, Bah. Ia menguras kamar mandi.” Kedua pengurus tersebut pun tampak terkejut mendengar Kiai Muhammad Dahlan Al Qudsi mengucapkan “Gus”.
“Lho, tidak usah dikasih hukuman. Suruh saja ia langsung kemari.”
“Nggih, Bah.”
“Maaf, Bah. Saya semalam keluar tidak izin dahulu sampai pagi ini.” ucap gus Aji dengan tampak sangat bersalah.
“Ngapain saja kamu itu? Puasa tidak hari ini?”
“Puasa, Bah. Maaf semalam saya diajak pergi ngopi sama pemuda desa sini tapi tiba-tiba di pertengahan jalan saya dikeroyok.”
“Kamu ngapain aja sampai menyulut emosi mereka itu, Gus.” Kiai Muhammad Dahlan Al Qudsi terkejut.
“Kemarin, sehabis ngaji pagi aku melihat santri sini di hajar oleh mereka, Bah. Tanpa berpikir panjang aku langsung membantunya sampai akhirnya perkelahian kita berhenti setelah ada salah seorang pengurus mendatangiku. Mereka pun belum puas atas perkelahian tersebut dan membalaskan dendamnya semalam.”
“Ya Allah, Gus. Kalau ada apa-apa itu bilang sama pengurus. Kalau terjadi apa-apa itu saya nanti yang merasa malu sama orang tua kamu karena tidak bisa menjagamu.”
“Nggih, Bah. Nyuwun pangapuntenipun.”
Akhirnya para pemuda kampung itu pun merasa sangat bersalah setelah mengerti siapa gus Aji yang sebenarnya. Terlebih para pengurus yang tidak tahu kejadian yang sebenarnya tapi langsung saja memberikan hukuman kepada gus Aji. Semua santri yang ada di pesantren pun juga ikut menghormati kehadiran gus Aji di pesantren Al Amin setelah mengetahui siapa gus Aji yang sebenarnya. Tapi, sifat gus Aji masih sama seperti biasa, ia meminta semua teman-temannya untuk memanggil ia “Kang” saja dari pada “Gus”.
Selesai.
Karya: Muhammad Alif, Santri Mansajul Ulum.