Menu

Mode Gelap

Cerpen · 16 Agu 2024 09:57 WIB ·

Keajaiban Hati


 Sumber: id.pinterest.com Perbesar

Sumber: id.pinterest.com

Sudah tiga bulan lebih rasa itu tumbuh subur di hati ini. Semakin hari semakin besar dan besar. Pupuk pun sudah tiada gunanya lagi bagi seseorang yang tengah dimabuk asmara. Aku menghela napas. Setiap harinya, hati ini dilanda resah oleh rindu yang menggebu.

Itu bermula dari kejadian dua bulan lalu. Pada saat itu aku bertemu dengannya secara tidak sengaja di sebuah haul untuk memperingati wafatnya syekh Ahmad Muttamakkin, Kajen. Dirinya yang pada saat itu mengenakan gamis biru lazuardi dipadukan dengan jilbab pink pastel membuatku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Kutanyakan gadis itu kepada sahabat dekatku.

“Syid, Syid,” panggilku agak keras.”

“Opo tha, Rul?” tanyanya.

“Siapa cewek yang pakai gamis biru sama jilbab pink itu?” tanyaku pada Rosyid.

Rosyid menoleh ke arah yang kutunjuk.

“Kenapa emang?” tanya Rosyid kepadaku.

“Kayaknya aku jatuh cinta pada pandangan pertama deh.” jawabku yang kini mengalihkan pandangan karena malu. Rosyid menepuk dahi.

“Aduh, Rul, Rul. Sampeyan itu sekali suka sama orang kok yang model langit sih.”

Emang kenapa tha?”

“Kamu nggak tahu, dia itu keponakan abah yai.” Aku terkejut.

Malamnya saat ngaos rutinan abah, aku masih memikirkan gadis itu. Gadis manis bergamis biru lazuardi dan berjilbab pink pastel itu melayang-layang di pikiranku. ‘Astagfirullah! Sadar, Rul, ini masih ngaji.’ Ucapku dalam hati. Hari selalu berganti tapi rasa di dada tambah kian membuncah. Kuhampiri Rosyid yang sedang njagong bersama teman yang lain.

Wih! Ada yang lagi patah hati nih.” godanya begitu aku duduk di sampingnya. Aku mendengus.

Loh, loh, sejak kapan si Irul doyan cewek?” tanya teman yang lain, Fahmi. Aku memberi tatapan tajam kepada Rosyid untuk tidak ember.

“Sejak kemarin pas haul mbah Muttamakkin. Itu loh, ning Ichla, keponakannya abah yai yang paling cantik.”

“Aduh…!” Kucubit pahanya dengan ganas. Salah siapa ember.

Wah, tak dukung sampeyan. Seratus persen.” komentar Azmi.

“Iya, aku juga. Kamu kan santri kesayangan abah, Rul. Coba matur, umurmu berapa, hah? Dua empat kan? cocok tuh.” tambah Rosyid yang kali ini kupukul kepalanya.

“Iya, iya, seandainya beneran si Irul dapet ning Ichla, nanti kita harus manggil dia gus.”

Ho’oh, Gu gus.” Kali ini kupukul semua yang ada di sana.

Wasem!

Dua minggu berlalu dan rasa itu masih menghinggap di hati, bahkan kian membesar. Kulakukan segala cara agar bisa bertemu dengannya. Minimal hanya sekedar berkomunikasi pun tak apa. Ku desak Rosyid agar ikut membantuku. Awalnya ia menolak, tapi setelah kupaksa berkali-kali akhirnya ia pun mau juga.

Rosyid punya kenalan di pondok putri yang bisa dititipi surat buat ning Ichla. Hal itulah yang akan kugunakan sebagai perantara untuk berkenalan dengannya. Dengan penuh semangat dan hati yang berdebar, ku tulis surat itu.

Assalamualaikum,

Kepada yang membuat rembulan malu,
Sudilah kiranya kamu membaca curahan hati yang tidak penting ini.
Wahai yang selalu membuat hati resah, bolehkah hati ini berkenalan?
Dengan si pemilik rembulan yang manis.
Selama dua minggu, hati ini terpenjara oleh rasa yang membuncah.
Setiap malam termenung menatap langit, membayangkan bisa bertemu walau sebentar.
Saya harap bisa mendapat balasan baik darimu.
Dari penikmat malam yang dilanda kerinduan,

Khoirul Anam,

Wassalamualaikum.

Dua hari kemudian kudapat balasan darinya. Betapa senangnya hati ini. Kubuka surat itu tengah malam di saat semua sudah tidur. Walau masih ada beberapa yang begadang untuk belajar. Kubuka surat itu pelan, dan terpampanglah tulisan latin yang indah.

Assalamualaikum,

Kepada penikmat malam yang dilanda kerinduan,
Maaf karena telah membuat hati resah,
Mungkin kamu salah melihat diri ini,
Diri ini bukanlah sang pemilik rembulan.
Yang membuat hati resah dan terpenjara oleh rasa yang membuncah.
Diri ini hanyalah makhluk yang hina,
Yang masih mencari perlindungan-Nya.
Saya mohon agar kamu tidak usah memikirkan saya,
Fokus saja pada ilmu yang sedang kamu pelajari.
Dari seorang yang malu pada rembulan,

Ichlatun Nisa,

Wassalamualaikum.

Aku terdiam.

Apakah ini sebuah penolakan? Ataukah hanya perasaanku saja? Keesokan harinya kutunjukkan isi surat itu pada Rosyid. Rosyid geleng-geleng kepala.

“Duh, kayaknya bakal susah, nih.” komentarnya. Aku mengangguk.

Dua hari berlalu dan aku baru berani membalas suratnya. Namun, lagi-lagi ning Ichla membalas dengan penolakan yang halus. Kuceritakan keluh kesahku pada Rosyid yang ditanggapi dengan candaan.

Halah, mending matur sama abah, wusssh! Kalian udah pasti dinikahin.” jawab Rosyid enteng. Kupukul kepalanya saat itu juga.

Tapi aku masih belum menyerah. Kutulis kembali sepucuk surat untuknya. Kali ini tanpa basa-basi.

Assalamualaikum,

Teruntuk ning Ichla,

Sebelumnya saya minta maaf karena telah lancang mengirimkan surat kepadamu. Tapi mau dikata bagaimana, persoalan hati siapa yang tahu. Itu adalah rahasia langit. Saya pun begitu, tidak tahu bagaimana hati ini bisa tertarik pada seorang gadis bergamis biru lazuardi dengan jilbab pink pastelnya pada saat haul mbah Muttamakkin. Itu adalah takdir. Karena itu, sudikah kamu membuka hati pada saya?

Dari saya,

Khoirul Anam,

Wassalamualaikum.

Ku serahkan surat itu kepada Rosyid yang akan diberikannya pada kenalannya. Seminggu berlalu dan aku masih belum mendapat surat balasan darinya. ‘Apakah dia marah kepadaku?’ Pikirku. Tapi pikiran itu terhapus saat Rosyid membawa surat balasan esok harinya. Perlahan kubuka surat itu dengan Rosyid yang berada di sampingku.

Assalamualaikum,

Kepada kang Irul,

Sepertinya kamu masih belum paham dengan apa yang saya tulis. Baiklah, biarkan saya menjelaskan. Saya tahu siapa kamu ini, apa saja prestasi yang kamu sumbangkan kepada pondok saya tahu. Bukankah hal itu membuktikan betapa sampeyan ini adalah orang yang berilmu dan beradab tentunya. Kalau begitu mengapa kamu tidak menekuni ilmu itu, mempelajarinya seperti bagian dari jiwa. Bukankah abah akan senang dan bangga denganmu? Saya yakin kamu tidak ingin abah kecewa karena kamu yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Saran saya, fokuslah dulu dengan ilmu yang kamu pelajari, baru setelah itu saya mungkin bisa mempertimbangkanmu.

Dari saya,

Ichlatun Nisa

Wassalamualaikum,

( P.S. surat ini tidak usah dibalas. )

Aku terdiam, begitu pula Rosyid. Rosyid menghela napas, ia mengacak rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Kali ini ning Ichla menolakku dengan tegas.

Ndak mau nyerah saja, nih?” tanyanya.

Nggak tahu.” jawabku sedih.

Setelah hari itu aku semakin murung. Semangat belajarku menurun pada saat diniyah maupun musyawarah. Rosyid dan teman lainnya ikut menghibur, tapi sayang itu tidak membantuku sama sekali. Perubahan itu pun dirasakan oleh abah yai. Di suatu malam sehabis ngaos rutinan, tiba-tiba abah memanggilku. Dengan hati yang berdebar kutemui abah di ndalem.

Assalamualaikum.” salamku.

Waalaikumsalam, sini, Nang.”

Dengan nurut aku masuk ke dalam menggunakan lutut sebagai tumpuan. Di sana tampak abah yai yang sedang nderes kitab Ta’limul Muta’allim. Beliau masih khusyuk nderes selama beberapa menit, hingga tiba-tiba.

“Apa yang sedang kamu pikirkan, Rul?” tanya abah lembut.

Aku menunduk, tidak berani menghadap wajah beliau. Tiba-tiba beliau bersyair.

“Belajarlah, sebab ilmu itu perhiasan # Keutamaan, tanda segala kebaikan.”

Aku meneguk ludah. Abah menutup kitabnya, kali ini beliau menatapku. Hal itu membuatku semakin menundukkan kepala.

“Rul, kamu itu sudah ngaji bertahun-tahun, abah percaya sama kemampuanmu. Jadi, apa yang membuatmu tiba-tiba menjadi murung?” tanya abah.

Dengan perasaan bimbang kuceritakan semua yang tengah kualami selama dua bulan ini dengan jujur. Tanpa ada yang ditutup-tutupi, termasuk tentang surat-suratan itu. Ku pikir abah akan marah mendengar ceritaku. Namun, beliau hanya tertawa menanggapinya.

Wis, hal kayak gitu ndak usah kamu pikir susah, belum saatnya. Lanjutkan saja ngajimu sampai tuntas. Kalau berjodoh ya… pasti dipertemukan. Kalau tidak ya sudah, jadikan saja sebagai pelajaran.” jelas beliau.

“Tapi, Bah.”

“Rul, setiap pencari ilmu pasti punya cobaannya masing-masing. Kamu mungkin juga sedang dicoba dengan kehadiran sosok Ichla. Tapi abah yakin, kamu pasti bisa melewati itu semua.”

Diam sesaat. Aku akhirnya mengangguk.

Nah, sana balik. Sinau sing sregep, tidak usah pakai mahabbah-mahabbahan. Ngajine dikencengi.”

Nggih, Bah.”

Aku pamit undur diri dengan malu. Dari mana abah tahu soal mahabbah itu? Memang benar, dua hari yang lalu aku minta sebuah mahabbah yang ampuh dari Azmi. Tapi sumpah demi Allah, mahabbah itu belum kugunakan sama sekali. Lagi pula hanya Azmi dan aku yang mengetahui soal mahabbah itu. Bahkan Rosyid sekalipun tidak kuberitahu.

Setibanya di dalam kamar, teman-teman langsung mengerubungiku. Mereka bertanya dengan heboh perihal pemanggilan diriku.

“Kenapa dipanggil, Rul?”

“Abah dukan ndak?

Shut! Satu-satu woy!” Aku geleng-geleng kepala.

Kuceritakan semua yang terjadi saat dipanggil abah tadi, termasuk menceritakan soal ning Ichla yang kutaksir. Mereka kompak tercengang saat mendengar respon abah.

Yah, kok ndak dukan, sih.” seru Fahmi.

“Iya. Tak kira bakal didukani habis-habisan gara-gara surat-suratan sama cah putri.” tambah Rosyid. Memang biadab semua mereka.

Eh, tapi bagaimana soal mahabbahnya?” tanya Azmi tiba-tiba. Rosyid dan Fahmi tercengang.

“Hah! Berani sekali kamu mau pakai mahabbah segala.”

“Iya, iya.”

“Tenang saja, aku ndak jadi pakai kok.” Semua menghela napas lega.

“Terus sekarang bagaimana perasaanmu sama ning Ichla?” tanya Rosyid.

Aku diam. Tunggu dulu! Entah kenapa tiba-tiba aku sudah tidak merasakan perasaan itu. Rasa sukaku pada ning Ichla, rindu yang menggebu, semua hilang tak berbekas secara misterius. Mungkinkah aku telah melewati ujian ini. Kutatap wajah teman-temanku yang kini penasaran menunggu jawaban dariku. Syukurlah, engkau telah menyelamatkanku ya Rabbi. Tanpa kuasa-Mu, mungkin aku sudah terjerumus ke dalam lubang kemaksiatan.

Karya: Siti Mauidhotur Rohmah, alumni Mansajul Ulum 2023.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 122 kali

Baca Lainnya

Pesan dari Replika

13 September 2024 - 10:07 WIB

Risalah Langit

19 Juli 2024 - 08:07 WIB

ISMAIL

21 Juni 2024 - 07:28 WIB

Terjemah Rasa

24 Mei 2024 - 09:07 WIB

Belajar dari Ilmu Padi

26 April 2024 - 17:50 WIB

Belajar dari Ilmu Padi

29 Maret 2024 - 18:30 WIB

Trending di Cerpen