Sesosok perempuan yang dikagumi oleh banyak orang, perempuan tangguh yang penuh pendirian, sang pendidik untuk santri-santrinya meraih kesuksesan. Beliau adalah Ibu Nyai Zulfa Khumairo’ yang tampak serius tengah melantik pengurus Pusat serta pengurus Rusantri.
Dengan penuh kelembutan dan hati-hati beliau membacakan naskah pembaiatan. Tidak lupa juga dengan menambahkan nasehat-nasehat yang tak pernah bosan untuk didengarkan. Setelah semuanya usai, beliau lalu memanggilku memberikan nasehat dengan penuh kasih sayang, sehingga hatiku luluh membuat diri ini tambah bersemangat untuk mengemban amanah darinya.
“Li, kamu kan ketua Rusantri, bantu Umik untuk mengurus anak-anak ya. Umik percaya kamu bisa membuat kebiasaan buruk anak-anak hilang, yang terpenting jangan membuat kepercayaan Umik hilang.” ucap beliau yang membuat air mataku mulai berjatuhan. Diriku pun tak kuasa membalas kata apapun kepadanya, karena ku masih takut jika mengecewakan beliau di lain hari.
“Gak perlu nangis, Li. Kamu itu sudah pilihan terbaik, insyaallah dengan kamu mau berkhidmah ilmumu akan bertambah barokah.” beliau kembali menasehati.
“Amiin, Umik. Matursuwun sanget.” hanya kata itulah yang mampu kubalaskan padanya.
Aku bergegas kembali ke pondok setelah Bu Nyai Zulfa kondur. Sesampainya di kamar aku mulai merebahkan tubuhku, tak hendak tidur, melainkan memikir-mikirkan kembali nasehat yang beliau berikan. Dalam hatiku yang terdalam selalu ada suara yang meronta-ronta menginginkan hal baik selalu datang.
***
Di sepertiga malam terakhir diriku masih terjaga. Aku mengadukan semua keresahan yang ada dalam hati kepada Sang Pencipta.
“Ya Allah, jaga hamba dari segala macam hal yang berpotensi mengecewakan mereka semua yang sudah mempercayaiku. Hamba mohon perlindungan-Mu, Ya Allah.”
Dalam keheningan malam, aku mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mencoba meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Sampai akhirnya aku tertidur pulas di atas sajadah sambil memeluk Al-Qur’anku hingga adzan subuh berkumandang.
“Allahu Akbar Allahu Akbar” lantunan suara adzan membuatku terbangun dari tidur malamku. Suara yang kerap kali dulu kuabaikan sebelum mengemban amanah ini. Dan kini justru suara itulah yang membangunkanku tanpa rasa malas sekalipun.
Teett…. Teett…. Teett.…!
Ku bunyikan bel tapi tak ada satupun santri yang bangun di sekitarku. Aku merenung kebingungan karena ini memang sudah menjadi kebiasaan mereka. Susah dibangunkan dan jarang mengikuti kegiatan pagi.
Ku kumpulkan semua keberanian untuk membangunkan teman-temanku. Dengan penuh hati-hati dan rasa cemas, aku mulai menepuk-nepuk satu persatu bahu temanku. Tapi nihil, bukannya pada bangun mereka justru memarahiku karena telah mengganggu tidur nyenyaknya. Melihat mereka tidak beranjak aku segera meminta bantuan kepada mbak Afi, selaku ketua pondok Pusat untuk membangunkan anak-anak yang sulit dibangukan.
Mendengar semua ceritaku mbak Afi langsung mengajakku untuk membangunkan mereka bersama-sama. Mereka mulai bangun satu persatu setelah mendengar suara mbak Afi yang seperti ledakan bom. Sangat keras dan mengerikan membuat mereka segera bergegas wudhu kemudian bersiap untuk berjamaah.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat, tepat hari ini di Pondok Bahrul Ulum sedang mengadakan tes masuk tahfidz. Terdapat banyak peserta yang mengikuti tes tersebut dan aku merupakan salah satunya. Aku tidak memiliki banyak persiapan, hanya saja keberanian dan ngaji yang pas-pasan yang bisa kupasrahkan.
Nginggg….. Nginggg…… Tes Tes
“Assalamualaikum warahmatullah wabarokatuh, diberitahukan kepada segenap santri yang mengikuti tes tahfidz diharap kedatanganya di aula lantai 2 sekarang juga. Hal yang membingungkan bisa ditanyakan nanti. Cukup sekian, wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.”
Setelah pengumuman berakhir semua peserta pun berbondong-bondong pergi ke aula lantai 2.
“Sudah ngumpul semua ini?” tanya mbak Afi kepada para peserta.
“Insyaallah sampun, Mbak.” jawabku sembari menatap semua santri yang hadir di dalam aula.
“Berhubung sudah kumpul semua, langsung saja saya mulai. Assalamu’alaikum warohmatullaah wabarokaatuh.”
“Waalaikumsalam warahmatullah wabarakatuh” jawab para peserta secara serentak.
“Berhubung Umik tidak bisa rawuh, jadi saya yang akan menyampaikan pesan beliau” ucap mbak Afi.
“Pesan bu nyai mengenai materi tes tahfidz, yaitu menghafal surah Yunus sebanyak-banyaknya dalam sehari semalam. Jadi, besok pagi insyaallah dites sama Umik langsung. Mungkin cukup itu yang bisa saya sampaikan. Apakah ada pertanyaan?”
“Insyaallah sudah jelas, Mbak” jawab Ghaitsa salah satu peserta.
“Ya sudah kalau begitu saya cukupkan, wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.” mbak Afi mengakhiri perjumpaan pagi itu yang dibalas salam oleh para peserta dengan penuh semangat. Para peserta langsung mulai berlomba-lomba menghafal saat itu juga hingga larut malam pun mereka masih semangat untuk terus menghafalkan.
***
“Waktu yang ditunggu-tunggu sudah tiba, mari kita mulai tes pagi hari ini dengan bacaan ummul kitab ‘alahadzihinniyah Al-fatihah’’ ucap mbak Afi.
Peserta mulai dipanggil satu persatu dan menghampiri penyemak yang kosong. Yaitu antara Bu Nyai Zulfa Khumairo’ dan Bu Nyai Elfi Inayah selaku adik dari Bu Nyai Zulfa. Dan ternyata nama yang pertama kali dipanggil adalah namaku. Jadi aku bisa memilih ingin menghampiri Bu Nyai Zulfa atau Bu Nyai Elfi.
Mulai kulantunkan ayat-ayat yang sudah kuhafalkan, pelan-pelan dan tidak terasa ternyata sudah hampir habis ayat yang tersimpan dalam pikiranku.
“Innafikhtilaafillayli wannahaari wamaa kholaqollahu fissamaawaati wal ardhi la aayaati liqoumi yattaquun, shodaqallahul’adhziim’’
“Sampun, Mbak?’’
“Nggih sampun, Bu..’’ jawabku dengan satu anggukan.
“Balik pondok langsung, Mbak. Anak-anak langsung suruh siap-siap sekolah. Terus yang masih tes ini diizinkan saja dulu tidak apa-apa’’
“Nggih, Bu’’ jawabku sekali lagi.
Aku langsung menutup Al-Qur’anku lalu kuraih tangan bu nyaiku yang begitu harum. Aku menciumnya agak lama, kemudian aku berjalan mundur hingga diriku tak lagi terlihat olehnya. Setelah itu aku langsung bergegas ke pondok untuk melaksanakan amanahnya.
***
“Chil…, ayo cepat berangkat!!!’’ teriakku.
“Sabar, Li. Orang sabar disayang pacar.’’ balas Chillo, salah satu teman dekatku.
Nama aslinya Shilla, tapi karena badannya itu kecil, aku dan teman-teman memberikan lakab Chillo kepadanya. Selang beberapa menit dia pun akhirnya selesai, dan kita langsung berangkat ke sekolah bersama.
“Chil, kamu sudah putus sama si Hasan?’’ Chillo diam tak menjawab, karena mungkin dia tau apa yang akan terjadi jika dirinya jujur.
Sejak pertanyaan itu terlontarkan, keheningan di antara aku dan Chillo pun berlangsung hingga di sekolah.
“Heeeeeeyyy..…, guru-guru pada rapat, kita jam kosong sampai pulang.’’ teriak Izza yang disambung sorak bahagia dari teman-temanku.
Lain halnya dengan diriku, aku justru takut karena kesempatan seperti inilah yang akan digunakan anak-anak untuk bertemu dengan pacarnya. Rasanya kuingin menghilang ketika situasi seperti ini. Untuk menghilangkan keresahan, kumulai membaca buku nonfiksi agar tidak memikirkan hal yang tidak-tidak.
Beberapa menit kemudian, anak-anak putra mulai berdatangan di jendela dan memanggil-manggil sang kekasih hatinya sendiri-sendiri seperti biasanya. Hal buruk tersebut sudah menjadi kebiasaan para santri di sini dari mulai angkatan pertama. Aku sudah sering menasehati mereka, tapi percuma saja karena mereka menganggapku remeh.
“Anak-anak ngapain di jendela?” tanya Bu Afri selaku guru bk yang datang tiba-tiba. Mereka sontak langsung duduk rapi kembali agar perbuatan mereka tidak ketahuan. Tapi percuma karena mereka tidak pernah jera meskipun sudah tertangkap berulang kali
***
“Lily, sekarang giliranmu mengutarakan kendala-kendalamu dari rapat Rusantrimu kemarin” pinta pemimpin rapat.
“Masih bingung, Mbak. Setiap rapat anak-anak susah bicara mengenai kendalanya, jadi banyak kendala yang mereka simpan sendiri” jawabku dengan jujur.
“Faktor apa yang membuat mereka tidak mau mengutarakan kendalanya?” tanya mbak Mahya, wakil ketua pusat.
“Kemungkinan dari faktor takut, Mbak. Karena yang menjadi kendala terkadang dari pengurus sendiri.” jawabku sambil menunduk karena merasa belum menjadi ketua yang mengayomi.
Mendengar penjelasanku mbak Afi merasa bersalah karena jarang menemaniku mengawasi anak-anak. Dan sering membiarkanku berjalan sendiri meski sering dijatuhkan oleh anggota-anggotaku.
Dok…dok….dok….
“Assalamualaikum, Mbak. Tolong pangilin Lily disuruh ke ndalem sekarang.” ucap Najwa dengan penuh kepanikan, aku yang mendengarnya langsung pergi ke ndalem seketika itu juga.
Sesampainya di ndalem aku kebingungan karena tidak ada siapapun di ruang tamu
“Lily, disuruh ke kamarnya umik” perintah mbak Aini, salah satu mbak ndalem di pondokku yang baru saja keluar dari kamar Umik
“Nggeh, Mbak. Matur suwun.” balasku dengan gelagapan.
Sesampainya di dalam kamar ternyata Umik memberikan masukan-masukan mengenai kepengurusanku. Dan sebelum aku beranjak keluar Umik memintaku untuk mengumpulkan semua anak-anak yang ikutan tes tahfidz kemarin. Dengan sekuat tenaga aku langsung memanggil teman-teman untuk berkumpul di ndalem.
“Sampun sedoyo niki?” tanya Umik kepada mbak Aini yang berjalan tepat di belakangku
“Sampun insyaallah, Mik” jawabnya dengan suara agak serak.
“Langsung saja, assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. Anak-anakku hari ini Umik mengumpulkan kalian untuk melihat hasil tes tahfidz yang sudah terlaksana 2 minggu lalu.” ucapan umik terjeda.
Uhuukk….uhuukk…uhuukk….
“Masing-masing anak mengambil lintingan kertas sesuai instruksi dari saya.” Umik kembali melanjutkan ucapan yang terjeda tadi, dan selang beberapa menit kemudian Umik memanggil nama-nama para peserta.
“Lily, Khilya, Nayla, Fauziyah, Shofa, Ghaitsa, dan Yasmin kalian ambil lintingan kertas sebelah kiri, dan sisanya ambil yang bagian kanan, jangan buka dulu, nanti dibuka bersama-sama.
“Sekarang kalian sudah memegang hasil tes kalian, apapun hasilnya harus diterima, yang masuk semoga semangat menghafalnya semakin tinggi dan yang belum bisa masuk juga semoga semangatnya lebih tambah lagi. Karena sebenarnya ini kesuksesanmu yang masih tertunda. Selamat membuka, umik pamit dulu karena ada urusan lain. Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.” Umik mengakhiri perjumpaan.
Semua peserta langsung membuka kertas yang dipegangnya. Peserta yang mengambil di bagian kanan menangis semua, karena bagian kananlah kelompok peserta yang tidak lulus tes masuk tahfidz.
“Ayo kembali ke pondok saja, lanjut nangis di sana” ucap Najwa.
“Benar, soalnya kalau di sini takutnya ada keluarga ndalem” balas Khilya.
Para peserta langsung kembali ke pondok dan masuk ke kamar masing-masing. Sejak hari itu aku tambah rajin. Aku selalu mengisi hari-hari dengan muroja’ah hingga menjadikan pekerjaan tersebut sebagai hobi. Meskipun terkadang masalah dalam kepengurusanku membuatku jatuh berulang-ulang.
Kerajinanku, kedisiplinanku, keteladananku, serta keadilanku tak berlangsung lama, semuanya berubah sejak diriku mengenalnya. Sosok laki-laki tampan yang membuat hati ini nyaman, dirinya bernama Raditya. Aku mengenalnya dari kepengurusan sekolah berlanjut dengan kerjasama hingga menumbuhkan rasa cinta yang tanpa disengaja.
***
“Khil, Lily sakit? Akhir-akhir ini dia sering absen kenapa?” Umik melontarkan pertanyaan kepada Khilya yang sedang mengaji bilghoib kepada umik.
Khilya hanya geleng-geleng sambil mengucap bahwa dirinya tidak tau mengenai hal ini.
“Suruh ngaji, Khil. Hari ini dia harus setor sama aku, kalau dia udzur ngajinya ganti dziba’, dan harus bawa buku prestasi.” Umik melanjutkan ucapan beliau dengan sedikit nada agak tinggi.
Khilya segera kembali ke pondok untuk menjalankan amanah dari Umik.
“Lily, sampeyan hari ini disuruh ngaji setoran ke Umik” ucap Khilya dengan penuh kepanikan.
Mataku langsung terbelalak mendengarkan amanah Umik yang disampaikan Khilya.
“Cepet, Li. Nanti Umik duko.” pinta Khilya.
Aku bergegs mengambil buku prestasiku dan kubuka setiap lembarnya sampai ke lembar bulan ini, dari awal bulan sampai sekarang aku hanya ngaji 2 kali dan selebihnya alpha semua.
“Lily, yang ngaji tinggal Fauziyah dan Shofa” ucap Najwa.
Aku langsung berlari menuju ndalem agar tidak ketinggalan. Ketika diriku masuk yang mengaji tinggal Fauziyah, tidak lama kemudian Fauziyah selesai. Aku langsung maju dan mulai mengaji, awalnya lancar tapi ketika sampai tengah aku tidak bisa sama sekali dan dituntun Umik dengan penuh rasa sabar sampai akhir.
“Ada masalah apa kamu?” tanya Umik dengan halus, tapi diriku hanya diam mematung tanpa jawaban.
“Kamu kan sudah terjun ke al-Quran, sudah tidak diikutkan mukhadloroh hanya untuk memaksimalkan hafalanmu. Jadi kalau kamu malas-malasan malah tidak dapat hasilnya.” aku mendengarkan beliau dengan membayang-bayangkan semua perubahan yang semakin hari semakin suram.
“Progresmu mengenai kasus pacaran gimana, Li? Udah selesai atau malah kamu ikut-ikutan?” jantungku langsung berdetak kencang mendengar pertanyaan Umik.
“Benar atau tidaknya Umik tidak tahu secara pasti. Intinya ingat satu pesan ini ‘ngajimu ora bakal lancar selagi awakmu iseh kenal wong lanang’, Li” Umik menasehatiku dan hanya kubalas dengan anggukan karena rasanya diriku tidak bisa mengucapkan sepatah kata apapun.
Aku semakin khawatir, apa saja yang sudah diketahui Umik tentang diriku saat ini.
“Assalamualaikum” terdengar suara asing dari arah pintu.
“Waalaikumsalam” jawab Umik sambil menghampiri asal suara tersebut.
“Monggo pinarak, Pak, Bu.” pinta Umik kepada tamunya.
Setelah menghampiri tamu, Umik kembali menghampiriku lagi yang tetap duduk di tempat semula. Umik tidak kembali menasehati namun hanya menyuruhku untuk menyampaikan pesan kepada mbak ndalem. Dengan rasa semangat aku langsung pergi ke dapur ndalem untuk menyampaikan pesan dari Umik.
***
“Lily!” suara Chillo yang mengagetkanku, namun aku hanya diam dan tidak menghiraukannya.
“Li? Baik-baik saja kan?” tanya Chillo sedikit khawatir.
Aku membalasnya hanya dengan anggukan karena sebenarnya diriku tidak baik-baik saja, sejak saat Umik menasehatiku kala itu aku jadi semakin merasa bersalah kepada Umik.
Setiap hari di dalam hatiku terbesit rasa ingin menyudahi hubunganku dengan laki-laki itu. Tapi rasa itu hilang ketika diriku hendak melakukannya. Semakin hari aku semakin bimbang antara putus atau terus, karna akhir-akhir ini dirinya sangat berharga di hidupku.
“Lily! Ini ada paket dari Radit!” teriak Khilya sambil menghampiriku dengan membawa sebuah kotak yang bersampul doraemon.
“Apa ini?” tanyaku dengan heran.
“Buka sendiri lah, Li. Lagian mana aku tahu isinya apaan kan ini yang ngasih Radit bukan aku” balas Khilya dengan sedikit tertawa.
Kumulai membuka kotak tersebut, aku menemukan sebuah tulisan rapi menempel di depan bungkusan.
Semua itu butuh proses
Jadi, buka ini juga harus berproses
Kulanjutkan membuka bungkus kertas kado tersebut satu persatu yang berlapis-lapis, dan di akhir bungkus terdapat tulisan dengan font arab.
تبسم قبل الفتح
(Tersenyumlah sebelum membuka)
Aku tersenyum membacanya sambil membuka lagi lapisan yang tersisa. Seketika itu juga aku menangis haru melihat keindahan isinya. Bukan karena mahal harganya melainkan perjuangannya membuat hal tersebut menjadi bermakna. Teman-temanku langsung menghamipiriku untuk melihat bingkisan yang sampai membuat air mataku jatuh. Bingkisan tersebut berupa sebuah buku catatan rumus matematika yang sengaja Radit buat hanya untukku.
***
Hari ini adalah hari kelulusan bagi anak Tsanawiyah Bahrul Ulum. Mereka sangat bahagia merayakan kelulusanya. Tepat di hari ini juga aku akan pindah ke pondok yang lebih jauh lagi, orangtuaku bergantian menyebutkan alasan-alasan mereka menginginkanku pindah. Salah satunya yaitu karena aku semakin hari semakin nakal. Awalnya Umik tidak mengizinkan dan diminta tetap di pondok beliau tapi keinginan Ibuk sangat tinggi mengenai diriku, takutnya aku tambah nakal jika tetap di sini.
“Rencana ajeng pindah pundi” tanya Umik kepada orangtuaku.
“Kajen, Bu Nyai.” jawab Ibuku dengan nada agak kecewa.
“Nggih kulo setuju, amergi lulusan mriko saget manfaati ten lingkunganipun, mugi-mugi Lily saget kados niku” harapan Umik untukku.
“Amin, maturnuwun, Bu Nyai” balas Ibuku.
Setelah semuanya selesai, aku langsung memberesi semua barang barangku tanpa terkecuali. Karena setelah ini aku langsung bertempat di pondok baruku. Aku pamit kepada semua santri di sana, lalu kemudian bergegas keluar dan langsung pergi ke pondok baruku.
***
Pondok Pesantren Al-Falah
Mulai kulangkahkan kakiku ke halaman pondok baruku. Di dalamnya banyak pepohonan yang hijau dan berbuah lebat, rasanya sejuk hingga membuatku menganggurkan ucapan mbak Raya.
“Lily? Dengar ucapan mbak Raya?” ucap mbak Raya sambil menepuk pundakku guna memastikan.
“Eh, apa tadi, Mbak?” balasku dengan senyuman.
“Kamu sekolah di mana?”
“Di sekolah Al-Hikmah, Mbak. Awalnya sih pengen sekolah di Miftahul Huda, tapi berbuhung pas aku tanya-tanya pendaftarannya udah ditutup” jelasku.
“Masyaallah yang sabar ya, Li. Insyaallah Allah punya jalan yang jauh lebih baik lagi. Lagipula semua sekolah kan tergantung kitanya, percuma kalau sekolahnya mendukung tapi kitanya susah belajar, kan semua jadi terbuang sia-sia, iya kan?” ucap mbak Raya menasehati, aku hanya membalasnya dengan anggukan
Setelah lama mengelilingi seluruh isi pondok, aku segera membersihkan badan dan melanjutkan kewajiban sholat.
***
“Di sini ada yang namanya Lily?” sesosok ustadzah sedang bertanya kepada anak-anak yang berada di gazebo
“Ini Lily, Ustadzah” jawab Febi, salah satu teman baruku.
“Kamu ditimbali bu nyai, ayo tak temani ke ndalem” ajak ustadzah Dessy kepadaku.
Aku dan ustadzah Dessy langsung pergi ke ndalem untuk menemui Bu Nyai Ma’rufah sebut saja Ibuk. Aku ditanyai banyak hal dari mulai tabungan hafalanku hingga program di pondok yang dulu. Sebelum beliau menyudahi, beliau menyuruhku untuk menyetorkan hafalanku kepada ustadzah Dessy sedikit demi sedikit. Dan beliau juga memberikan nasehat-nasehat yang sangat menggetarkan hati membuatku tersadar akan perbuatan-perbuatanku yang keliru.
Sejak saat inilah aku mulai merubah kebiasaan burukku. Dan dari sinilah aku memulai semuanya dari nol. Usai dari ndalem aku dan mbak Dessy berbincang-bincang di gazebo, saling tanya dan bertukar cerita sampai aku dan ustadzah terlelap di sana.
***
Sudah beberapa bulan aku sekolah di Al-Hikmah. Rasa semangatku selalu ikut serta mengiringi di setiap langkahku. Malam-malamku selalu kuisi dengan belajar dan belajar, kemudian ketika aku tidak faham aku tak pernah sungkan bertanya kepada teman-temanku dan menanyakan kembali kepada guru mapel yang bersangkutan.
“Lily, kamu kok belajar terus sih? Ayolah refreshing sebentar, biar nggak stres belajar terus.” ucap Vika, salah satu temaku yang paling julit
“Iya tuh Lily, ga suka kumpul-kumpul sama kita ya?” balas Okta ikut menambahi ucapan Vika.
“Sudahlah percuma, Lily itu sudah terlanjur alim ya guys” pinta Ifa kepada kedua temannya.
Aku hanya melihat mereka sambil keheranan dan berkata dalam hati ‘Kenapa mereka seneng banget sih julitin banyak orang?’
Mereka membalas tatapanku dengan sinis. Aku semakin malas melihatnya dan kuputuskan untuk meninggalkan mereka. Meskipun banyak teman yang sering membuatku goyah, diriku tetap tidak ada rasa ingin menyerah, karena pesan Bu Nyai Ma’rufah selalu menemaniku. Salah satu pesan beliau yang paling ku ingat dan mampu membangkitkanku dari keterpurukan yaitu:
“Nduk, wong ngapalke al-Qur’an iku cubone akeh. Ono seng dicubo karo wong lanang, ono seng masalah keluarga, ono seng masalah ekonomi, ono seng dicubo karo penyakit, karo liya-liyane lah. Cubo iku koyo krikil, seng jengene wong mlaku kan ora bakal dalane apik terus ta? Mesti ono seng jengene krikil-krikil seng ngadangi leh mu mlaku. Terus tugase kita iku ogak mandek mergo ono krikil mou, tapi kita kudu nglewati krikil-krikil iku, intine kuwi, Nduk. Ndereso seng deres, maksude iku neng keadaan opo wae kudu tetep nderes, dino iki nderes, sesok nderes, mbesok nderes, nderes terus sampai nderes iku dadi hobimu” (Nak, orang menghafalkan al-Quran itu ujiannya banyak. Ada yang diberi ujian laki-laki, ada yang masalah keluarga, ada yang masalah ekonomi, ada yang diuji masalah penyakit, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ujian itu seperti kerikil, yang namanya orang berjalan itu jalannya tidak bagus terus kan? Pasti ada yang namanya krikil-krikil yang menghadangi kamu berjalan. Lalu tugas kita itu tidak berhenti sebab ada krikil tersebut, tapi kita harus melewati krikil-krikil itu, intinya itu, Nak. Bacalah selalu, maksudnya adalah dalam keadaan apapun kamu harus tetap membaca. Hari ini membaca, besok membaca, besoknya lagi membaca, baca terus sampai membaca itu menjadi hobimu).
Aku memandangi kalender di dinding kamarku. Ternyata jadwal libur akhir tahun akan tiba di akhir pekan ini. Aku berniat ketika pulang nanti, aku akan membuat surat untuk Raditya guna mengakhiri hubunganku dengannya. Agar aku lebih leluasa menghafal al-Qur’an dengan tenang dan lancar.
Karya: SaYah, Santri Mansajul Ulum.