(Bagian Dua)
Setelah sembilan jam perjalanan, Jabbar akhirnya menapaki kakinya di tanah. Ia telah sampai di Surabaya, segera ia membuka lipatan kertas dari saku bajunya. Kiainya menyelipkan selembar kertas yang berisi informasi yang mungkin dibutuhkan Jabbar selama di Surabaya. Kiainya bilang, jika ia sudah di Surabaya, ia akan dijemput oleh seseorang. Itu artinya, ia harus menunggu. Menepilah Jabbar di sebuah warkop, sambil menunggu ia memesan secangkir kopi.
“Mas Jabbar ya? Saya Bagas yang mau jemput Mas Jabbar.” seorang laki-laki paruh baya dengan kaos merah mendekatinya.
Jabbar mengulurkan tangannya. Mereka bersalaman.
“Iya, Mas. Saya Jabbar.” ucap Jabbar.
“Ayo, Mas. Kita langsung ke penginapan saja biar Mas Jabbar bisa langsung istirahat.” Bagas langsung mengajaknya menuju mobil kijang hijau tua yang terparkir tak jauh dari warung. Jabbar segera menerima ajakan Bagas. Setelah menghabiskan sisa kopi di gelasnya, ia beranjak dari warung dan menuju ke mobil.
Selama di perjalanan mereka membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari obrolan sekompleks PPI sampai pembicaraan acak mengenai tingkah santri sehari-hari.
“Wah, berarti Mas Jabbar sekarang ini lagi mengabdi ya di pondoknya?” tanya Bagas.
Jabbar mengangguk “Ya, pelan-pelan saja, Mas. Saya masih harus banyak belajar.” sambung Jabbar.
“Tapi, menurut saya santri itu keren loh, Mas. Dia bisa kuat gitu ya mengabdi kepada Kiai nya. Bahkan tanpa dibayar sepeser pun. Sabar dan khidmahnya itu loh, hebat banget..!” puji Bagas. Jabbar tersenyum pahit, membayangkan bagaimana tingkahnya dan teman-teman sehari-hari di Pesantren.
“Tetep saja, Mas. Masih banyak santri yang begajulan.” ucap Jabbar sedikit tidak terima. Masalahnya, ia sendiri santri begajulan.
“Lho, berubah itu proses tidak, gak bisa cepet-cepet. Wong masak air saja memakan waktu, apalagi hal sepenting merubah diri jadi lebih baik lagi. Maklum, Mas.” Jabbar menghembuskan nafas pelan. ‘Wes iki angel-angel’ batin Jabbar di dalam hati.
“Ya meskipun santri sering dibilang kuno, sebenarnya itu bagus sih. Mereka di dalam pondok saling menumbuhkan rasa nasionalisme dan suportif. Mereka juga pasti akan mengikuti nasehat dari Kiainya bagaimanapun keadaannya. Nah, itu yang seharusnya dicari anak muda sekarang.” ucap Bagas lagi.
“Alah, sama saja, Mas. Mas Bagas juga sama kan mengabdi? Katanya tadi ngabdi sejak dua tahun PPI didirikan? Sama saja, Mas. Sampean juga josss pol.” Jabbar yang tidak mau kalah mengeluarkan argumennya sambil menarik pembicaraan yang tadi-tadi.
“Lhoooo, saya gini itu nggak benar-benar mengabdi, Mas. Saya kerja paling cuma sehari dua hari, itu juga saya dapat sangu dikit-dikit, cukup lah buat bayar kontrakan dua bulan. Apalagi saya pasti dapat job dua minggu sekali, kalo ada acara besar gini malah sangunya bisa tiga kali lipat.” Bagas tertawa kecil. Kini wajah Jabbar tertekuk. Tentu yang dimaksud sedikit tidaklah benar-benar sedikit. Satu kali saja uang sangu cukup untuk membayar kontrakan, hitung satu bulan dua kali. Berapa banyak uang yang didapat Bagus sementara ia bekerja tidak full 24 jam per satu minggu?
“Wes tah, arek santri itu hebat banget.” Bagas tersenyum ta’dzim.
“Contohe kayak Mas Jabbar ini.” sambungnya.
Jabbar termenung mendengar ucapan Bagas, ia sendiri tidak yakin apakah ia benar-benar santri sehebat yang dikatakan Bagas tadi? Jangankan sejauh itu, ia saja berfikir apakah ia benar-benar santri?
“Ayo, Mas. Kita sudah sampai.” ucapan Bagas menghentikan lamunan Jabbar.
“Oh iya, Mas. Pegel juga badan saya.” Jabbar segera menyambar tas hitam yang ia letakkan di jok belakang tadi.
Bagas dan Jabbar memasuki penginapan. Penginapan itu sebenarnya tidak begitu besar, tapi fasilitas di sini tentu lebih memadai daripada di Pesantrennya.
“Nih, Mas Jabbar dapet kamar nomor delapan. Kalau butuh apa-apa bilang saja ke pelayan di sini, terus kalau mau kenalan sama yang lain silahkan saja diketuk pintu sebelah kamarnya. Nanti Mas Jabbar di gedung ini sama sebelas santri lainnya, kita mengundang dua belas santri besok. Saya pergi dulu ya, Mas. Saya mau ngurus acara. Besok saya jemput jam delapan pagi ya, Mas.” Bagas mengulurkan tangannya sebelum berpisah. Jabbar menerimanya.
Hari ini sangat melelahkan, Jabbar memutuskan untuk segera membersihkan diri dan sholat, setelah itu ia akan beristirahat sambil berkenalan dengan santri lain.
###
Suasana begitu ramai kala Jabbar memasuki lobi itu. Semua berbaur menjadi satu. Jabbar sempat ragu siapa tau ia salah memasuki gedung. Pemandangan di sini sangat asing baginya, terlihat seperti Opera di film layar tancap. Pakaian Necis dan rambut klimis, serta gaun milik desaigner ternama dan rambut tertata, berbanding terbalik dengan setelan Jabbar yang hanya menggunakan sarung motif bakaran dan kemeja lengan panjang berwarna hitam.
Jabbar kembali goyah. Ia berniat kabur dari acara dengan memutar arah langkahnya menuju pintu masuk. Masa bodo dengan amukan Kiainya besok. Nyalinya benar-benar ciut di sini.
“Hayoo, Mas Jabbar mau kabur ya?” nahasnya ia malah bertabrakan dengan Bagus.
“Enggak kok, Mas. Tadi barang saya ada yang ketinggalan di mobil.” Jabbar memberi alasan yang membuat Bagus mengerutkan dahinya.
“Kayaknya tadi gak ada yang ketinggalan.” ujar Bagas membungkam Jabbar. Jabbar menghela nafas pasrah, sementara Bagus tertawa kecil.
“Ayo, Mas. Masuk saja nanti saya bisa dimarahin Pak Jamal kalau delegasi santri ada yang tidak hadir tanpa alasan yang jelas.” Bagus menarik tangan Jabbar untuk ikut masuk menuju ke ruang sidang konferensi PPI.
Sidang itu diikuti oleh seribu pelajar dari berbagai aliansi, ditambah dengan dua belas orang santri dalam proyek uji coba pembangunan yayasan yang membutuhkan banyak dukungan. Tentunya selain pelajar dan santri adapula Presiden BJ. Habibie yang kala itu baru menjabat menjadi Presiden Indonesia. Tentu sidang ini bukan sembarangan.
Jabbar meringis kala melihat santri-santri lainnya. Rata-rata santri lain yang diajukan adalah santri yang memiliki prestasi cemerlang di Pesantrennya. Sedangkan dia baru merubah niatnya beberapa hari kebelakang.
“Silahkan nanti delegasi santri bisa memperkenalkan diri setelah presentasi selesai.”
Jantung Jabbar berdegup lebih kencang. Haduh, kenapa sekarang urusan seremeh ‘Perkenalan’ terasa amat berat.
”Saya Fairuz Ubaid, dari Pesantren XX. Sekarang kesibukan saya selain menjadi pembimbing diniyah dan pengurus harian, saya sedang mengajukan beberapa riset mengenai lingkungan pesantren kepada Menteri Daerah. Selain itu saya juga insyaallah tahun depan berangkat ke Cairo untuk melanjutkan S2 di Universitas Al-Azhar. Mohon do’anya.” tutup seorang santri yang berjarak dua orang dari Jabbar. Jabbar semakin kalap dibuatnya.
Lihat saja, minimal-minimalnya santri yang diajukan adalah seorang organisator pondok. Ada yang sedang melakukan penelitian kajian kitab kuning, ada yang sedang asyik mengembangkan proyek lingkungan, ada yang sibuk mengajukan proposal produk lokal milik pesantren, bahkan hal sekeren santri, yaitu kuliah di Universitas ternama.
“Mas, gilirannya sampeyan.” Sodoran mic Jabbar terima dengan gemetar.
“Eng…., Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh, saya Jabbar Al-Mizan.” Jabbar meneguk salivanya kasar, apalagi yang harus dia ucapkan?
“Sayaaa… saa.. saya hanya santri.” ternyata setelah menunggu selama hampir satu menit, hanya kalimat itu yang dapat keluar dari bibir Jabbar.
“Iya, saya hanya santri biasa, paling-paling saya hanya membantu pekerjaan ndalem. Sudah itu saja, saya nggak sibuk apa-apa. Mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan. Nggeh, terima kasih atas perhatiannya. Wassalamua’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Jabbar segera memberikan micnya kepada santri lain. Pyuuhhh, lihat bukan? Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Jabbar Al-Mizan.
Konferensi Pers selesai tiga jam kemudian. Setelah bersalaman dengan anggota Pers lain, Jabbar melangkah gontai menuju parkiran mobil. Pikirannya diusik oleh satu pertanyaan. ‘Kapan ia punya kesempatan seperti santri pers lainnya?’ hanya satu pertanyaan, tapi entah mengapa semua terasa berhenti hanya karna satu pertanyaan itu.
“Mas Jabbar, wehh…., Mas Jabbar.” Sayup-sayup terdengar suara Bagus berteriak dari kejauhan. Jabbar menoleh mendapati Bagus sedang berlari ke arahnya. Jabbar berhenti sambil mengerutkan keningnya bingung.
“Ada apa toh, Mas? Kok ngejar saya sampe gitu?” tanya Jabbar polos. Bagus mengatur napasnya yang semula berhenti.
“Sampeyan, dipanggil bapak ke ruangan.” ucap Bagus. Jabbar melotot.
‘Saya buat kesalahan apa lagi?’ tanyanya dalam hati.
Tapi dengan segera kakinya melangkah mengikuti Bagus. Hingga ia memasuki ruangan berpintu jati dengan arsitektur mewah. Ada sebuah meja bundar dengan kursi sofa tunggal di sekelilingnya. Tak jauh dari sana, terdapat bendera-bendera yang berkaitan erat dengan organisasi PPI dan sebuah lemari kaca berisi berbagai macam sertifikat dan penghargaan.
Jabbar mencium tangan Pak Jamal sambil menunduk. Begitu pula dengan sesepuh yang duduk di sebelahnya. Tanpa ragu Jabbar menyaut tangan beliau lalu menciumnya.
Jujur, Jabbar sendiri tidak tau siapa saja yang ada di sana.
“Nah, ini Pak B.J. santri yang tadi njenengan minta ke sini.” ungkap Pak Jamal. Jabbar membelalakan matanya dalam tundukan kepalanya.
‘Jadi yang barusan saya salami itu Pak Presiden? Pantas beliau tersentak. Aduh saya lancang sekali’ begitu rutuk Jabbar hingga kini.
“Oalah, ini ya? Lihat karismanya begitu kuat ya? Keren, saya takjub denganmu, Nang” Jabbar lagi-lagi tersentak. Apakah Pak Presiden sedang bercanda?
“Maaf, saya mohon maaf sebelumnya jika saya buat kesalahan” ucap Jabbar takut-takut.
Lantas Pak Jamal dan Pak B.J Habibie langsung tertawa.
“Lihat, Mal. Masak belum ngapa-ngapain sudah minta maaf. Dikiranya kita mau sidang dia apa ya?” Pak Presiden meneruskan tawanya.
“Sudahlah, Pak. Langsung saja dieksekusi.” ujar Pak Jamal membuat Jabbar merinding.
Jabbar menatap keduanya. Lalu dengan tiba-tiba tangan Pak Presiden menepuk pundaknya pelan.
“Kamu nggak pernah kuliah kan?” tanya Pak Presiden
“Mboten nate, Pak. Saya habis lulus cuma ngabdi di pesantren” jawab Jabbar jujur.
“Yawes, tahun depan kamu mau toh berangkat ke Cairo? Tenang saja, nanti biaya saya yang tanggung kok.” tawar Pak Presiden. Jabbar menatapnya heran. Apakah Pak Presiden sedang bercanda?
“Loh, serius saya ini, kamu mau nggak?” tawar Pak Presiden lagi. Jabbar mengangguk keras. Sungguh, ini jawaban atas seluruh pertanyaan tadi.
“Tapi kenapa saya, Pak?” tanya Jabbar dengan memberanikan dirinya.
“Ya, meskipun kamu tadi bilang hanya ‘SANTRI’, tapi bagi saya itu memiliki banyak sekali arti baik tersirat maupun secara harfiah. Pernah dengar sebuah perjelasan pretelan dari kata Santri? Mulai dari huruf ‘S’ sampai dengan ‘I’?” Jabbar mengangguk pelan.
“Nah, seruntut itu makna kata yang kamu ucapkan tadi. Meskipun hanya ‘SANTRI’, tapi siapa sangka ia memiliki kelebihan dan kegunaan sebanyak itu. Apalagi sampeyan tadi mengabdi pada Kyai kan? Wah, Jangan kira itu bagaimana mulianya, itu sangat mulia sekali. Selain itu, menurut saya kamu sejak tadi juga menerapkan prinsip tawwadlu’ kepada sesama baik kepada saya dengan salim tadi maupun saat kamu memperkenalkan diri, mengucapkan salam terlebih dahulu. Hal sesepele itu ternyata juga mencerminkan adab santri kepada dunia luar. Santri tidak harus diakui dengan rentetan jabatannya, tapi mengakui bahwa kita itu santri, itu lebih dari cukup. Karena jabatan berlaku cuma beberapa saat. Sedangkan santri, sepanjang masa.”
Pak Presiden meneguk sisa air di dalam gelas hingga tandas.
“Kamu boyong juga tetap disebut santri kan? Gak ada yang namanya mantan santri itu.” Jabbar tertawa kecil, berusaha menanggapi lelucon Pak Presiden.
“Tapi, saya izin Pak Kiai dulu mboten nopo-nopo nggih?” tanya Jabbar lagi. Pak Presiden mengangguk.
“Lah ini, Ta’dzim nya diterapkan.” tutur Pak Presiden.
“Tapi saya masih bodoh, Pak. Saya belum bisa kalau berangkat langsung.” ucap Jabbar lagi. Pak Presiden tertawa kecil.
“Iya, kan belajar dulu toh. Berangkatnya satu tahun lagi, nanti sambil menunggu berangkat kamu matengin dulu bahasa arabmu, mungkin di Pare boleh. Nah, setelah persiapan cukup, nanti kamu baru berangkat.” jelas Pak Jamal. Jabbar menggaruk tengkuknya yang tak gatal, aduh.., ia malu sekali.
“Wes, kamu balik bilang ke Kiaimu, minta izin dan saran baiknya bagaimana. Nanti sampaikan salamku buat Kiaimu itu.” ucap Pak Jamal. Jabbar mengangguk.
“Bagus, anterin Jabbar sampe ke pondok ya? Bisa toh?” Perintah Pak Jamal yang segera disanggupi oleh Bagus. Bagus tersenyum ke arah Jabbar. Lumayan, ia jadi kecipratan pesangon dari jatah berkahnya Jabbar.
Segera Jabbar dan Bagus keluar ruangan. Sembilan jam kemudian ia sudah sampai di depan pondoknya.
###
Sang Kiai menghembuskan napasnya pelan. Sudah ia duga, dengan Jabbar menghadiri sidang konferensi Pers kemarin akan menjadi tanda akhir pengabdian sekaligus pembuka langkah baru bagi santrinya itu. Sekarang sebagai guru yang baik ia hanya bisa memberikan yang terbaik bagi santrinya.
“Iya, Nang. Abah ridho lillahi ta’ala kamu menerima tawaran Pak Presiden.” ucap Sang Kiai final. Jabbar dan Bagus –yang ikut sowan– tersenyum lega.
“Selamat ya, Nang. Kamu ternyata bisa. Prestasi bukan hanya sekedar nilai dan angka di raport saja, tapi sebagaimana kita bisa menerapkan dan menyebarkan ilmu itu untuk diri kita sendiri maupun orang lain. Ingat, Nang. Selalu perbarui niat kamu. Ada hadits mengatakan ‘innamal a’malu binniyyati’ mudahnya segala sesuatu berasal dari niat. Nah, itu bisa jadi acuanmu ke depannya. Niat yang baik, tentu menghasilakn sesuatu yang baik pula” Jabbar mengusap air matanya yang menetes.
“Oh iya, sebagai hadiah dan temanmu berjalan nanti, Abah mau berikan hal terbaik yang abah punya. Tapi kamu mau menjaganya dengan sepenuh hati kan?” tanya Sang Kiai memastikan, tentu Jabbar mengangguk antusias, hatinya berdebar tak karuan. Ia sudah membayangkan dirinya menggunakan sorban, kopiah atau apapun dari Kiainya.
“Nggih, Bah. Saya ikhlas akan menjaga hal tersebut dengan segenap jiwa dan raga saya.” ucap Jabbar yakin. Sang Kiai tersenyum.
“Nduk, kemarilah.” panggil Sang Kiai.
Segera tirai pembatas tersibak menampilkan seorang gadis seanggun Ratu Elizabeth dengan kecantikan bak Cleopatra dan mata indah dengan goresan celak di bawahnya. Setidaknya, itu deskripsi yang ada di kepala Jabbar saat ini.
“Ning Hyra Yasmin Al-Kafka sudah Abah serahkan kepadamu, Nang. Dia nanti akan menemanimu belajar sekaligus hidupmu setelah ini. Hitung-hitung sebagai tanda terimakasihku, akad dan acara lainnya akan digelar dua bulan setelah ini. Kamu sanggup kan?” tanya sang Kiai.
Jabbar menitikkan air mata, lalu mengangguk.
Sungguh, sebanyak apapun kalian mengeluh, tuhan akan berbaik hati menutup keluhmu.
-TAHUN 2023-
“Terus sekarang, Mbah Jabbar kemana, Kek?” tanya Wulan setelah cerita selesai.
“Mbah Jabbar lagi sibuk nulis buku buat Santri-santri Indonesia, kalian mau jadi santri gak? Asyik loh..!” ajak Kek Iwan. Anak-anak spontan berteriak “MAUUU!!!”
“Emang Mbah Jabbar nulis apa?” tanya yang lainnya.
“Ya banyak, dari artikel opini ada, berita ada, novel ada, sampai cerpen pun ada. Kalian suka baca cerpen toh?” anak-anak megangguk antusias.
Lalu dengan santai mereka kembali merenungi pesan yang terkandung sambil menatap padang ilalang yang begitu menenangkan. Apalagi ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan matahari yang mulai mengantuk di ujung sana.
“Kek Iwan!!” panggil seseorang dari kejauhan. Ridwan menoleh lalu memicingkan matanya.
“Iya ada apa Sana? Sebentar lagi Kakek pulang kok” ujar Ridwan kepada Sana, cucunya. Tapi Sana malah berlari mendekat ke arahnya sambil membawa sebuah bingkisan.
“Ada paket buat kakek, aku baca pengirimnya dari Jabbar Al-mizan.” ucap Sana menyerahkan bingkisan dengan samak coklat tua itu. Ridwan menerimanya dengan riang, segera ia membuka paket itu di depan anak-anak.
Di dalamnya terdapat beberapa lembar surat dan sebuah buku karya terbaru milik Jabbar, dengan gagah tertulis ‘ANTALOGI CERPEN, SAYA HANYA SANTRI’ di bagian covernya. Ridwan tersenyum tulus. Sungguh, ia bangga mempunya teman santri seperti Jabbar.
-SELESAI-
Oleh: Naaay, Santri Mansajul Ulum.