KOLOM JUM’AT LXXIII
Jumat, 7 April 2023
Seorang filsuf Arab besar tiba-tiba ikut mencamtukan diri sebagai santri pasanan di Mansajul Ulum, ia tulis “al-Farabi”. Barang tentu mustahil dan tidak masuk akal. Jadwal ngaji jam sembilan malam bakda teraweh adalah ngaji yang diisi oleh al-Farabi. Mencamtukan namanya di deretan nama santri lainnya ternyata hanya modus belaka, dalam bahasa kawula muda sekarang : Gimmick!. Kapal pasanan yang kita labuhkan setiap penghujung tahun ingin ia kendalikan. Memangnya tau apa ia soal pasanan?
Makna pasanan sudah tidak samar apabila pembaca adalah santri, atau setidaknya orang yang sering atau pernah bergumul dengan dunia pesantren. Tetapi jika ternyata adalah orang lain, maka makna pasanan secara singkat kira-kira begini. Kata “pasanan” bukanlah kata tunggal untuk menyebut istilah ini dalam dunia pesantren; “pasanan”, “pasaran”, “balagh Ramadhan”, dan aneka istilah lainnya. Sebagaimana makna harfiyahnya, pasanan digunakan untuk kegiatan yang dilaksanakan di bulan puasa. Kegiatannya bermacam-macam, beberapa sesuai keunikan pesantren masing-masing. Kebanyakan dipenuhi ngaji, lantas kegiatan ini biasa disebut “ngaji pasanan”. Pendek kata, “pasanan” adalah kegiatan mengaji di bulan puasa.
Apa yang menjadi istimewa, sementara bulan-bulan lainnya juga pesantren disesaki dengan pengajian? Mungkin itu pertanyaan spontan yang muncul di benak. Jawabannya ada beberapa, yang menjadi layak disebutkan di sini setidaknya ada dua. Pertama, dalam pasanan, berbagai kitab bisa dibaca khatam dalam tenggang waktu sekitar separuh bulan puasa, kalaupun lebih itupun tak melewati hari raya.
Meskipun kitab yang dibaca tidak terlalu tebal—tentu dengan tidak mengingkari kitab tebal lainnya yang dibaca— , khataman kitab menjadi emas yang waktu hadirnya tak bisa diduga; ia bisa hadir di besok malam, tengah bulan, atau bahkan akhir masa nyantri. Sehingga khataman di pasanan menjadi pemikat kuat, apalagi disertai rantai sanad sampai pengarang kitab. Menjadi lebih menarik lagi saat banyak kitab dari berbagai disiplin ilmu dihadirkan seperti hidangan prasmanan yang boleh dipilih sesuai selera, bahkan halal disantap semuanya. Kedua, dalam pasanan, selain prasmanan kitab yang dihidangkan, pesantren adalah oase luas yang membebaskan diri untuk dijadikan tempat berkelana santri. Sementara membincang pesantren artinya membincang banyak hal; kyai, santri, sistem sosial, kurikulum, dan banyak hal lainnya. Dalam waktu tidak lebih dari tiga puluh hari, pasanan menjadi sarana pertukaran banyak hal selain ilmu dan sanadnya. Pasanan adalah merdeka belajar dalam praktek dan teorinya.
Namun “kenapa aktifitas istimewa itu ditempatkan pada bulan puasa?” juga pertanyaan yang tak boleh ditinggalkan jawabannya. Kalender pendidikan pesantren, pada umumnya, menempatkan awal tahun ajaran pada bulan Syawal, dan akhir tahun ajaran di bulan Rajab atau Syakban. Sehingga bulan Ramadan adalah bulan bebas yang bisa diisi apapun, atau bisa kita sebut sebagai liburan. Tetapi membiarkan bulan istimewa ini kosong tanpa diisi apa-apa tentu bukan semangat yang diwarisi dari Nabi. Walhasil, bulan ini disesaki pengajian dan majlis-majlis lainnya. Bulan Ramadan adalah waktu rehat santri setelah panjang satu tahun ajaran sembari menyambut tahun berikutnya. Begitu kira-kira jawabannya. Agaknya, sampai titik ini, pandangan “kahanan” pasanan dalam benak kita menjadi jelas dan sama. Lalu apa ia adalah kereta yang berjalan sesuai rel atau ternyata adalah kapal yang linglung mencari arah, menjadi menarik untuk dibaca.
Paragraf tadi mengantarkan kita pada satu asumsi; pasanan sebagai rehat ngaji setelah satu tahun ajaran yang panjang. Lantas karena itu bulan puasa, pengajian beragam kitab atau kegiatan ala pesantren menjadi tepat. Atau taruhlah itu sebagai meluangkan waktu kita pada satu bulan di antara dua belas bulan lainnya sebagai hormat kita pada bulan suci, entah diisi pengajian atau kegiatan ala pesantren lainnya. Bagaimanapun, kita memegang dua kata kunci dalam menghadirkan pasanan; rehat\waktu luang dan ngaji. Rehat karena berada di pergantian tahun ajaran. Waktu luang karena satu bulan penuh dikosongkan dari kegiatan normal harian. Sementara ngaji adalah hidangan utama. Setidaknya itu adalah refleksi penulis, kalau ternyata kebenarannya harus sejarah yang berbicara.
Sejenak, mari taruh pembicaraan pasanan kita tadi di terserah bagian pikiranmu yang mana, di sofa besar nan empuk kalau ada, agar tetap nyaman dan utuh. Namanya Abu Nasr al-Farabi, tamu kita satu lagi yang sedang kita coba ajak bicara sekarang. Seorang filsuf besar yang dijuluki “muallim tsani” dalam sejarah filsafat Arab. Nanti dulu, jangan dulu tuduh saya akan mengusulkan filsafat sebagai arah kemudi pasanan baru kita. Selain itu berat, suara filsafat di telinga pesantren masih dianggap berisik dan gaduh oleh sebagian pendengarnya. Sebagian yang lain malah memilih menutup telinga. Bagian yang sedikit sekali masih mencoba mendengarkan sambil malu-malu. Lantas al-Farabi mau kita ajak bincang tentang apa?
Karangan al-Farabi bernama al-Madinah al-Fadilah bisa menjadi salah satu bukti ia sebagai pemikir besar. Konsep “kota ideal” adalah salah satu hal yang coba dibangun oleh para filsuf sebelum al-Farabi, termasuk filsuf Yunani yang menjadi referensi besarnya, Plato. Dalam bukunya yang berjudul “Republic”, Plato bilang begini: “Kita akan membangun negara. Tugas pembangun negara adalah membentuk cetakan-cetakan yang nantinya diisi cerita-cerita para penyair dan tugas lainnya adalah menentukan batasan-batasan yang sebaiknya tidak diterobos”. Apa hubungannya kota ideal dan cerita penyair?
Kota ideal tentu bukan dibangun oleh para penyair, al-Farabi dan Plato sepakat. Kota ideal adalah tempat aktualisasi apa yang diimpikan oleh filsuf, yakni keadilan. Bentuk keadilan secara konsep maupun praktek dan bagaimana itu digunakan adalah esensi al-madinah al-fadilah. Usut punya usut, karyanya lahir karena kegelisahan al-Farabi tentang satu hal; apa yang dikenal sebagai “keadilan” di kota-kota islam pada kurun sepertiga akhir abad ketiga sampai sepertiga pertama abad keempat ternyata jauh sekali dari konsep keadilan yang ideal. Sehingga haruslah ada kota baru yang ideal, wujudnya kebahagiaan hakiki adalah tujuannya. Kita bisa menyebut ini sebagai mimpi politik al-Farabi.
Tapi membahas kota ideal secara detail di sini bukanlah kesepakatan kita. Kota ideal yang bertujuan wujudnya kebahagian hakiki bagi manusia adalah mimpi al-Farabi. Kebahagiaan itulah puncak pelengkap kesempurnaan manusia. Apa yang bisa mewujudkan kebahagiaan itu? Pertama adalah ilm. Kedua adalah sirah. ilm bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis, sedangkan sirah bisa dicapai dengan pengetahuan praktis yang mengantarkan jiwa kepada kebahagiaan.
Namun meskipun dua hal itu menjadi komponen kota ideal, lantas itu tidaklah mengartikan berada dalam satu pangkat. Prioritasnya adalah yang pertama, sedangkan yang kedua bisa ditaruh pada sela-sela saja. Jelas, karena yang pertama bukanlah pekerjaan yang biasa-biasa saja; yang pertama hanya bisa disajikan oleh filsuf, agar diajarkan kepada khalayak. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang muncul dari al-quwwah an-natiqah. Kekuatan itulah yang mengepalai segala kekuatan yang ada dalam jiwa, termasuk mengepalai al-quwwah al-mutakhoyyilah yang menjadi sumber pengetahuan seni, salah satu cabang pengetahuan kedua. Bisa dikatakan, filsuf adalah aktor pengetahuan pertama, sementara seniman adalah pemeran pengetahuan kedua. Seniman membantu filsuf dalam membentuk laku ideal bagi penduduk kota dalam nilai-nilai yang dibentuk filsuf. Maka seniman menyajikan nilai-nilai itu dalam hidangan seninya sebagai etika. Barangkali inilah maksud perkataan Plato di muka tadi. Lantas apa seniman hanyalah penyair sebagaimana ujaran Plato, atau tidak terbatas pada itu?
Al-Fann, meminjam kalimat al-Farabi, tidak terbatas pada syair. Plato dalam perkataannya pun tidak membatasi itu, hanya karena tuntutan konteks karangannya yang akhirnya memaksa menggunakan bahasa itu. Seni, yang termasuk kategori sirah, mempunyai banyak macam; syair, musik, ceramah, melukis, dan sebagainya. Kemudian al-Farabi membagi seni menjadi dua; yang menjadi perantara mencapai ilm, dan yang tidak. Yang pertama bisa kita angkut, sementara yang kedua taruhlah di luar kota saja. Pembagian ini pernah ia terapkan dalam musik dan syair. Musik yang tidak hanya memberikan kepuasan, namun juga daya imajinasi dan emosi, sehingga bisa dijadikan perumpamaan perkara lain, taruhlah di bagian yang pertama. Sama halnya dengan syair; yang menjadi perantara mencapai kebahagian hakiki taruhlah di yang pertama. Lantas yang kedua janganlah dimasukkan dalam kota. Pembagian dikotomis ini menandakan keluwesan al-Farabi ketimbang Plato yang punya pandangan berbeda tentang penempatan seni dalam kerangka kota ideal.
Pembagian biner yang dilakukan al-Farabi, meskipun nampak lebih toleran, masih ,mengandaikan terdapat seni yang “jangan ditaruh di kota”. Padahal jika diruntutkan, yang kedua hanya dilakukan sebagai penyempurna rehat. Sementara rehat dilakukan agar mengembalikan stamina untuk melakukan pengetahuan yang pertama (ilm). Maka bagian seni yang kedua sebenarnya dihadirkan tidak lain kecuali untuk melakukan pengetahuan yang pertama, sarana kebahagian hakiki. Namun pada titik ini pun, tetap saja, secara konsep, seni dikategorikan bagian pengetahuan yang kedua. Padahal kalau mau dipandang agak jauh, bahwa syair —kita bisa masukkan jenis sastra yang lain kalau mau— juga punya kaidah-kaidah yang dibangun atas argumen-argumen akal seperti pengetahuan teoritis, maka peletakan seni di kamar yang kedua layak ditinjau ulang. Tapi marilah kita tetap setuju, bahwa seni, karena diletakakan di kamar sirah, dihadirkan untuk rehat tadi. Dan ia adalah peran penting dalam membangun kota ideal. Terhitung lebih dari tiga paragraf kita dibawa, sebenarnya al-Farabi ini mau bicara apa? Lantas pasanan mau diapakan? Kota ideal dan pasanan punya hubungannya apa?
Pasanan dan al-Farabi sudah satu persatu berbicara. Kata kunci yang ada di atas meja di depan kita sekarang adalah rehat, pesantren, ngaji, kota ideal, kebahagiaan hakiki, dan seni. Silakan kita tata kembali bersama teh dan kukis yang ada di atas meja. Kukis dan teh tentu boleh disantap dari mulai paragraf pertama tadi.
Katakanlah mimpi al-Farabi itu diwujudkan, pesantren sebagai miniaturnya. Komponen-komponen yang membentuk pesantren secara utuh mengandaikan wujudnya sebagai kota; kyai, santri, pengajian, aktifitas-aktifitas ala pesantren, dan sebagainya. Sifat ideal yang akan kita lekatkan pada kota bisa kita cerminkan dari ideologi yang pesantren jadikana pegangan. Atau kalau tidak sepakat dengan itu, alternatif lainnya adalah kita posisikan pesantren sebagai lembaga pembangun kota ideal; kota tetap kita artikan secara literal, dan sifat ideal yang akan kita lekatkan adalah apa yang ingin pesantren wujudkan. Dua hal ini menjadi tidak berbeda lantaran mahall asy-syahid—nya adalah hal yang membangun kota yang mewujudkan kebahagiaan itu; pengetahuan yang dua macam itu. Tapi anggaplah kita telah sepakat —atas paksaan saya— bahwa pesantren adalah kota ideal.
Pesantren adalah satu kota ideal yang bertujuan mencapai kebahagian hakiki. Mempelajari pengetahuan yang teoritis maupun praktis —meskipun beragam pemilahan disiplin ilmu— adalah langkahnya. Kurikulum adalah jalan panjang yang dipilih untuk dilalui. Sementara ngaji pasanan tidak masuk dalam mata pelajaran dalam kurikulum tentu kita posisikan sebagai waktu rehat seperti kesepakatan kita di muka tadi. Sebentar, pengetahuan praktis memangnya ada di pesantren?
Berbicara pesantren berarti berbicara dunia tersendiri. Persediaan topik yang kaya saat membincang pesantren menandai ada beragam hal di pesantren selain mengaji. Pandangan ini berarti turut mengamini pemosisian pesantren sebagai kota. Artinya “pesantren adalah kota ideal” sudah sepakat secara sukarela. Ragam hal itulah yang membuat hal-hal praktis wujud dalam pesantren. Kita bisa masukkan pengetahuan praktis di sana. Meskipun pada akar rumput pengetahuan praktis bisa dihitung jari, dan klasifikasi teoritis dan praktis adalah pintu yang belum tertutup kalau ingin lebih lanjut didiskusikan. Dan memang oada dasarnya, pengetahuan praktis yang bisa dihitung jari itu tidak menjadi masalah lantaran pengetahuan praktis adalah pengetahuan nomor dua yang boleh ditaruh di waktu rehat saja. Loh, waktu rehat yang mana?
Akan butuh waktu panjang saat membahas ruang “waktu rehat” itu. Namun yang disepakati adalah waktu rehat ada menjadi ruang bagi pengetahuan praktis. Entah saat agenda tahunan yang memakan dua sampai tiga kali, saat liburan, atau lainnya. Juga pasanan tidak ketinggalan, itulah poin utama kita. Lalu berbicara pengetahuan praktis yang mana pun juga butuh dua kali empat puluh lima menit lagi, karena mengenai klasifikasi saja kita belum berjabat tangan. Lantaran teh dan kukis yang di atas meja hampir telah sampai pada ajalnya, bagaimana kalau saya ajak ngebut saja? Pengetahuan praktis yang ada di pesantren wujudnya adalah seni. Kemudian bahasan kita mempersempit ke sastra. Sepakat?
Sebagai bentuk tanggung jawab, saya merasa harus menjawab “kenapa harus sastra?” setelah paksaan dilontarkan setelah akhir paragraf tadi. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah “sastra yang seperti apa?”. Mari coba jawab yang kedua dahulu. Jawaban yang saya tawarkan adalah jawaban global, yakni sastra dengan pemaknaan seluas-luasnya; teori maupun praktek, kaidah maupun karya, Indonesia, Jawa, atau bahkan Arab, dan sebagainya. Baru boleh kita rincikan lagi nanti saat pertandingan sudah dimulai di lapangan. Lalu jawaban pertanyaan pertama juga bukan hanya satu dan layak dikulik lebih dalam, tetapi yang patut disebutkan dalam kesempatan ini adalah karena sastra dalam kategori pengetahuan yang kedua (sirah) adalah paling memungkinkan dan dibutuhkan. Sebagai bentuk pengetahuan yang kedua, ia bisa dikaji lewat tulisan dan sebagai tulisan, dan menjadi sarana yang jujur dan bertanggung jawab.
Pasanan adalah waktu rehat, waktu tabarruk, dan hal-hal lain yang dianggap tak menjadi prioritas. Dan sastra pun begitu. Sehingga dalam kacamata al-Farabi, ia dan pasanan menjadi serasi. Menempatkan sastra di waktu pasanan barang tentu karena ia belum dianggap prioritas. Harapan besar kita adalah menaruh kembali sastra di salah satu ranjang kamar besar keilmuan pesantren. Sehingga ia bisa menjadi tempat nyaman dan ditiduri oleh para santri. Lebih dari itu, ia bisa melahirkan anak yang kita namai “sastra pesantren”; salah satu anak yang dilahirkan dari rahim santri. Sehingga sastra yang kita rawat dan lahirkan adalah sastra kita, bukan sastra yang lain. Tetapi saat kesadaran kita masih fikihsentris, maka sastra akan selalu berada di ruang tunggu, dan “sastra pesantren” tak pernah akan dilahirkan. Kita sepakat bahwa fikih adalah ilmu mulia, tetapi ilmu mana yang tidak menyandang status mulia?
Undangan menulis laman Mansajul Ulum adalah panggilan bagi seluruh jiwa yang menginginkan kota ideal, sekaligus mangayubagyo bulan suci yang penuh berkah. Dan tentu juga merayakan pasanan ala al-Farabi. Pasanan yang bisa diikuti oleh setiap jiwa yang terpanggil, dengan beragam tujuannya, paling mendasar adalah mendapat berkah. Dan puncaknya adalah lahirnya kota ideal. Rakyat, filsuf, atau seniman adalah pemeran yang kita pilih secara sadar dan sukarela.
Oleh: Intihob Sudh Savirta, Alumni Mansajul Ulum tahun 2021 sekaligus Mahasiswa Al-Azhar Mesir.