KOLOM JUM’AT CXVIII
Jum’at, 28 Februari 2025
Tradisi khitan perempuan hingga saat ini masih menjadi isu kontroversial, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai negara-negara muslim lainnya. Praktik ini masih marak terjadi di masyarakat karena munculnya persepsi bahwa terdapat doktrin agama yang mendasari praktik khitan tersebut.
Di samping anggapan tersebut, masyarakat juga percaya bahwa khitan perempuan merupakan salah satu cara untuk mengurangi hasrat seksual pada perempuan. Harapannya, setelah si bayi tumbuh dewasa dia tidak terjerumus dalam perbuatan zina dan pergaulan bebas.
Namun stelah dikaji ulang, ternyata tidak ditemukan satupun sumber hukum islam otoritatif baik Al-Qur’an maupun hadis yang menyebutkan hukum khitan perempuan secara eksplisit dan jelas. Sehingga timbul banyak sekali spekulasi terkait hukum tersebut. Para ulama sepakat bahwa tradisi khitan laki-laki dan perempuan telah berlangsung sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut kemudian di akomodasi dalam ajaran islam sesuai visi dan misi agama Islam, yakni kemaslahatan dan rahmatan lil ‘alamin.
Sebagian ulama Timur Tengah telah mencoba merumuskan problematika terkait khitan perempuan. Pada tanggal 3 Juli 2007 Darul Ifta Mesir mengeluarkan fatwa secara tegas tentang keharaman khitan bagi perempuan. Mereka menilai praktik tersebut termasuk kategori tradisi yang diharamkan menurut syara’ (‘adatan muharramatan syar’an). Hal ini berdasarkan kajian para ahli medis yang mengutarakan bahwa pemotongan alat vital dapat menimbulkan dampak negatif bagi perempuan.
Syaikhul Azhar pada waktu itu, Muhammad Sayyid Thanthawi juga berpendapat senada. Ia berargumen bahwa tidak ada satupun nash syariat shahih yang menjadi landasan hukum khitan tersebut. Begitu juga Syaikh Yusuf Al-qardhawi, ia berargumen bahwa khitan perempuan termasuk kategori taghyirul khalqi (mengubah ciptaan Allah SWT). Dalam artian jika hal tersebut tidak dilandasi hukum yang kuat serta kondisi yang menuntut diberlakukannya khitan tersebut maka khitan perempuan hukumnya terlarang menurut syara’.
Secara medis, khitan perempuan dampak berdampak negatif bagi fisik maupun psikologi perempuan. Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI, dr. Ena Mulati, MSc menegaskan bahwa khitan perempuan dapat menyebabkan banyak sekali dampak buruk, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek , khitan permpuan dapat menimbulkan pendarahan hebat, infeksi, pembengkakan pada jaringan dan sulit berkemih. Sedangkan dampak khitan perempuan dalam jangka panjang dapat menyebabkan penurunan kepuasan sesksual serta timbulnya jaringan parut pada bagian vulva (area kulit yang mengelilingi saluran kencing atau uretra dan vagina). Hal tersebut dapat mengakibatkan nyeri ketika berhubungan seksual. Kemudian perempuan juga dapat mengalami trauma psikis yang mengganggu kesehata jiwa.
Melalui pertimbangan di atas, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 tahun 2022 menjadikan isu khitan perempuan menjadi isu penting yang harus dikaji ulang. KUPI membahas isu tersebut dalam Musyawarah Keagamaan dengan tema perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongsn dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Para ulama perempuan melalui KUPI sepakat bahwa khitan perempuan atau praktik pemotongan serta pelukaan genitalia perempuan tanpa alasan medis hukumnya haram.
Selain itu, anggapan masyarakat bahwa khitan perempuan dapat mencegah hasrat seks perempuan sehingga ketika dewasa tidak menjadi liar merupakan asumsi negatif terhadap perempuan. Tak ada bukti bahwa perempuan tanpa khitan akan menjadi liar. Sebagaimana perempuan yang melakukan khitan tidak akan menjadi liar. Melalui asumsi tersebut perempuan sejak bayi telah mereka anggap sebagai makhluk yang berpotensi mengumbar nafsu seksual. Tentu asumsi demikian telah merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Dengan begitu, Fatwa KUPI di atas dapat menjadi refleksi kita bahwa tradisi khitan perempuan tidak selayaknya kita lestarikan memandang banyak sekali dampak buruk yang merugikan pihak perempuan. Serta dapat menjadi acuan kita dalam menjaga saudara kita sesama muslim maupun non-muslim dari berbagai ancaman kesehatan. Wallahu a’lam.
Oleh: Vicky Oktavianto, Redaktur EM-YU.