KOLOM JUM’AT LXXXIV
Jum’at, 13 Oktober 2023
Ilmu waris atau yang dikenal dengan ilmu faraidh merupakan salah satu disiplin ilmu yang menjadi bagian penting dalam kajian hukum Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW memerintahkan kaum muslim dalam salah satu haditsnya untuk mempelajari ilmu ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، تَعلَّمُوا الفرائِضَ وعلِّموهُ فَإِنَّهُ نصْف الْعِلْمِ، وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْتزَع مِنْ أُمَّتِي”
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda -Wahai Abu Hurairah, pelajari dan ajarkanlah ilmu faraidh karena sesungguhnya ia adalah separuh dari ilmu, yang kelak akan terlupakan, dan ia merupakan hal (ilmu) pertama yang akan dicabut dari umatku.”
Urgensi ilmu waris juga dibuktikan dengan dalil al-Quran. Secara langsung, Allah SWT menjelaskan bagaimana pembagian harta waris kepada para ahli waris melalui firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ…الآية
Namun sayangnya, ayat ini sering disalah artikan bahkan disalahgunakan oleh sebagian orang. Narasi “kaum laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan” sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa Islam adalah agama yang tidak ramah gender, atau mengunggulkan laki-laki, dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Oleh karena itu isu ini perlu diluruskan agar kesalahpahaman tersebut tidak berlanjut secara turun-temurun ke generasi berikutnya.
Berdasarkan pemaparan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini diturunkan oleh Allah SWT sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian yang lebih terhadap kaum perempuan pada masa datangnya Islam. Sebab pada masa Jahiliyah harta warisan hanya diberikan kepada kaum lelaki saja, sementara kaum perempuan tidak mendapatkan jatah sepeserpun. Tujuan awal ini perlu terus difahami agar penafsiran yang dikembangkan tidak terlepas dari spirit dasarnya.
Lebih lanjut lagi, pemberian untuk laki-laki sebesar dua kali lipat bagian perempuan juga bukan merupakan bentuk diskriminasi karena mengunggulkan kaum laki-laki dibanding perempuan. Hal ini juga sering kali disalahpahami, sehingga banyak orang beranggapan bahwa pembagian dalam hukum waris seakan-akan hanya didasarkan pada gender (jenis kelamin).
Perlu diketahui bahwa dalam ilmu waris (faraidh) sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Muhammad ‘Imarah, salah satu anggota Hai’ah Kibar al ‘Ulama yang ada di bawah naungan Dewan Otoritas Tertinggi Al-Azhar Mesir, terdapat tiga kriteria yang menjadi pertimbangan untuk menentukan bagian bagi setiap individu yang menjadi ahli waris, tanpa memandang jenis kelamin sebagai aspek penentunya.
Pertama, derajat kedekatan hubungan darah (darajah al qarabah) antara ahli waris dan pemberi waris (orang yang meninggal). Semakin dekat hubungan antara keduanya, maka semakin besar bagian yang diperoleh ahli waris tersebut tanpa melihat apakah ia laki-laki atau perempuan. Misalnya ketika seseorang wafat meninggalkan anak laki-laki dan perempuan serta cucu laki-laki dari anak laki-laki. Maka dalam pembagiannya, anak perempuan bersama anak laki-laki mendapat ‘ashabah bil ghair, sedangkan cucu laki-laki tidak mendapatkan apapun. Hal ini karena garis keturunan anak lebih dekat daripada cucu tanpa melihat jenis kelaminnya.
Kedua, kedudukan generasi pewaris dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang (mauqi’ al jail al warits min al tatabu’ al zamaniy li al ajyal). Generasi yang sedianya akan menghadapi dan menanggung beban kehidupan di masa depan mendapatkan bagian lebih besar daripada generasi yang telah melewati masa hidup yang cukup panjang. Maksudnya ahli waris dari generasi yang lebih muda akan mendapatkan bagian lebih besar daripada generasi yang lebih tua, karena mempertimbangkan langkah kehidupannya yang masih panjang.
Contoh kasusnya, ketika seseorang wafat meninggalkan anak perempuan serta ayah, maka anak perempuan mewarisi lebih banyak daripada ayah dari si mayit. Padahal jika dilihat secara kedekatan hubungan dengan mayit, anak dan ayah memiliki derajat yang sama, bahkan ayah merupakan pokok (ashl) dan anak merupakan cabang (far’). Hal ini karena anak merupakan generasi yang lebih muda yang akan menghadapi kehidupan panjang di masa mendatang.
Ketiga, kewajiban untuk menafkahi (al iltizam bin nafaqah). Kriteria terakhir yang menjadi penentu besaran proporsi warisan adalah kewajiban yang dibebankan syariat kepada kaum laki-laki untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Berbeda halnya dengan perempuan yang dibebaskan untuk menyimpan harta untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu sebagaimana ditetapkan dalam hukum waris Islam, laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian perempuan seperti halnya dalam kasus mayit meninggalkan anak laki-laki dan perempuan.
Yang perlu diketahui pula bahwa kasus laki-laki mendapatkan dua kali lipat bagian perempuan hanya terjadi dalam empat kasus saja dari tiga puluh kasus lebih pembagian waris lainnya. Selain empat kasus tersebut, bagian laki-laki dan perempuan berbeda-beda. Ada saatnya perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki, ada kalanya pula perempuan mendapatkan bagian lebih banyak daripada laki-laki, bahkan terdapat kasus di mana perempuan menghalangi laki-laki sehingga ahli waris perempuan mendapat bagian, sementara laki-laki tidak.
Karenanya kita perlu senantiasa merenungkan kembali tujuan Allah yang mengatur syariat sedemikian rupa. Semua syariat yang diberikan oleh Allah tiada tujuan lain kecuali untuk kemaslahatan umat manusia. Selain itu hendaknya ayat-ayat al-Quran juga dipelajari secara mendalam sehingga membuahkan pemahaman yang tepat dan komprehensif. Agar dapat menghasilkan tafsir dan hukum yang membawa kemaslahatan dan menjauhkan dari kecurigaan-kecurigaan yang melemahkan.
Oleh: Irfatin Maisaroh, guru Madin Mansajul Ulum dan mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang.