KOLOM JUM’AT LXI
Jum’at, 21 Oktober 2022
Definisi pemimpin sempurna. Demikianlah Rosulullah SAW. Tiada yang dapat diragukan di setiap sendi sejarah hidupnya, seakan tak kenal habis bahan shohih yang menjadi bukti, baik itu merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah, ataupun penuturan sejarah dan pandangan pakar yang objektif.
“Saya lebih berhak atas orang mukmin dari pada diri sendiri. Seandainya ada orang mati meninggalkan harta, maka itu milik keluarganya. Seandainya ada orang mati meninggalkan utang dan anak-anak asuhan, maka datanglah kepadaku, itu tanggung jawabku.” Demikian pidato Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Riwayat di atas menjadi bukti konkret bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok sejati yang senantiasa memikirkan nasib umatnya.
Bahkan dari segala aspek Rosulullah SAW selalu mengutamakan umatnya. Hal ini tercerminkan melalui setiap langkah yang beliau ambil dalam menetapkan hukum. As-Syeikh Abdul Wahhab Khollaf menuturkan melalui karyanya kitab Tarikh At-Tasyri’ Al-Islamiy bahwa dalam menetapkan hukum Rosulullah SAW selalu menggunakan 4 prinsip ini:
Pertama At-Tadarruj, yakni menetapkan hukum secara bertahap, bukan sebaliknya. Ibarat kata terdapat seorang mu’allaf diberi sebuah buku tebal berisi hukum-hukum islam, tentu saja mu’allaf tersebut akan keberatan dan ada kemungkinan lebih memilih kembali ke agamanya dulu. Maka dengan bijaksananya Rosulullah SAW menggunakan prinsip ini, agar muslimin di zaman itu yang notabenenya mantan orang kafir quraisy yang masyhur akan kejahiliyahannya merasa ringan dalam menjalankan setiap ketetapan-ketatapan islam. Hal ini juga sebagai wasilah agar dengan cara perlahan seperti demikian dapat menjadi obat penyembuhan hati bagi orang-orang quraisy.
Jika kita lihat kembali sejarah pada masa awal Islam dibentuk, maka akan tampaklah bukti nyata penerapan prinsip ini, yaitu salah satunya adalah sholat fardlu 5 waktu. Pada mulanya sholat hanya dituntut untuk melaksanakan di pagi dan sore hari. Itupun tanpa dibatasi roka’at dan tanpa dibatasi cara tertentu, karena memang pada dasarnya الصلاة لغة الدعاء. Begitu juga dengan ketetapan-ketetapan lain seperti perintah untuk berpuasa, zakat, larangan meminum khamr, ketentuan-ketentuan menikah dan lain sebagainya.
Prinsip kedua yaitu At-Taqlil Wa At-Taqnin, yakni menyedikitkan aturan. Dengan adanya prinsip yang satu ini jelaslah bahwa Allah SWT dan RasulNya tidak ingin memberatkan umatnya dengan menetapkan hukum-hukum yang tidak penting, melainkan menetapkan hukum yang benar-benar dibutuhkan oleh umat. Seperti turunnya ayat 219 surat Al-Baqarah yang menerangkan larangan meminum khamr yang berbunyi :
يسئلونك عن الخمر والميسر .
Rosulullah SAW juga melarang umatnya untuk banyak bertanya dan menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya (قيل قال). Allah SWT juga menjelaskan dalam firmanNya yang berbunyi:
يا أيها الذين آمنوا لاتسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسؤكم وإن تسألوا عنها حين ينزل القرآن إن تبد لكم
Dari ayat tersebut keluarlah perintah untuk jangan menanyakan sesuatu yang dari sana memunculkan sesuatu yang justru memberatkan diri sendiri.
Selain kedua prinsip tersebut, terdapat prinsip yang ketiga yaitu At-Taysir Wa At- Takhfif, yakni memudahkan dan meringankan hukum-hukum yang ditetapkan. Lagi dan lagi, prinsip yang digunakan Rosulullah SAW semata-mata agar umatnya tidak merasa terbebani justru sebaliknya dengan senang hati menjalankan setiap aturan yang ditetapkan dalam islam. Allah SWT dengan jelas menuturkan melalui surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbumyi:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد الله بكم العسر
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Allah SWT Maha Tahu akan setiap potensi yang dimiliki masing-masing hambanya, sehingga Allah SWT sama sekali tidak ingin memberatkan hambanya, utamanya dalam hal beribadah. Justru Allah SWT hanya berkehendak sesuatu yang mudah saja bagi hambanya seperti yang dituturkan ayat di atas.
Buktinya dalam keadaan-keadaan tertentu yang mengandung kesulitan melaksanakan hukum, maka ditetapkan adanya dispensasi. Keadaan-keadaan tersebut seperti ketika sakit maka diperbolehkan tayamum, ketika bepergian diperbolehkan menjama’ dan mengqosor sholat, ketika terpaksa maka diperbolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan, dan masih banyak lagi seperti halnya kekeliruan, lupa dan ketidaktahuan.
Sebenarnya, sudah sangat cukup dengan hanya ketiga prinsip ini untuk dijadikan bukti sempurnanya kepemimpinan Rosulullah SAW. Akan tetapi, akan kurang rasanya jika saya tidak menuturkan prinsip yang ke empat, yaitu Musayarotu At-Tasyri’ Masholihan An-Nas. Maksudnya, dalam menerapkan hukum Rosulullah SAW selalu dengan mempertimbangkan kemaslahatan manusia. Dalam islam telah ditetapkan satu kaidah:
إن الأحكام تدور مع عللها وجودا و عدما
Artinya: “Hukum itu terjadi menurut adanya sebab dan tidak adanya sebab.”
Karena itu tidak jarang Rosulullah SAW dengan bimbingan Tuhannya mengganti, bahkan menghapus hukum yang sudah tidak sesuai dengan kemaslahatan umatnya.
Contoh yang sudah sering kita dengar adalah hukum berziarah kubur. Dahulu ketika muslimin masih terbawa akan kejahiliyahannya, Rosulullah SAW melarang mereka untuk berziarah, karena beliau takut mereka malah menyembah kepada kuburan tersebut dan dapat menjerumuskannya ke dalam kemusyrikan. Akan tetapi, ketika muslimin sudah meninggalkan masa-masa kejahiliyahannya, Rosulullah SAW kembali memperbolehkan berzirah kubur. Karena dengan demikian dapat mengingatkan manusia akan kematian yang datang kapanpun. Selain kasus di atas, dahulu Allah SWT mewajibkan sholat menghadap ke arah Baitul Maqdis kemudian menghapusnya dan mewajibkan menghadap ke arah ka’bah. Alasanya, agar kiblatnya orang islam berbeda dengan kiblatnya orang-orang nasrani. Proses penggantian dan penghapusan hukum tersebut merupakan bukti bahwa proses penetapan hukum islam itu sejalan dengan kemaslahatan dan kepentingan manusia.
Tunai sudah ke empat prinsip yang selalu Rosulullah SAW jadikan dasar dalam menetapkan hukum. Dan dari masing-masing prinsip tersebut terdapat cinta yang begitu besar, cinta yang beliau persembahkan teruntuk umatnya. Mengingat hal ini membuat saya tergeliti teringat sebuah buku karya Quraish Shihab yang berjudul “Jawabannya Adalah Cinta”.
Oleh: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, Santri Mansajul Ulum.