Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 24 Nov 2023 15:20 WIB ·

Fikih Pancasila: Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat


 Sumber: Dunia Santri Perbesar

Sumber: Dunia Santri

KOLOM JUM’AT LXXXVII
Jum’at, 24 November 2023

Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, sejatinya masyarakat masa lampau sudah mempunyai norma tersendiri dengan berkeyakinan pada adat masing-masing. Norma yang terlahir dari suatu kebiasaan masyarakat setempat dapat memunculkan tindakan yang sangat diperhatikan sekaligus memiliki esensi tersendiri. Hal ini, dapat kita ketahui dengan membuka lembaran sejarah masa lampau yang masih terjaga eksistensinya sampai sekarang dengan penerapan norma berbeda-beda pada berbagai kelompok.

Masyarakat ada kalanya mengikuti aliran dinamisme, penyembah roh atau hewan, Hindu-Budha dan sebagainya. Munculnya kelompok inilah yang kemudian menjadikan cikal bakal lahirnya suatu kerajaan di Nusantara dengan corak berbeda-beda dan tentu dengan keyakinan berbeda pula.

Hadirnya beberapa kerajaan yang tersebar di Nusantara dengan latar belakang beragam, perlahan-lahan menimbulkan pergesekan dan adu kekuatan. Perebutan kekuasaan terjadi secara dinamis. Sikap arogan mengakar kepada para penguasa. Ujungnya, keterpecahan tidak dapat terelakkan.

Pada abad ke-7 masehi, agama Islam masuk ke Indonesia. Satu demi satu tradisi yang menyimpang diluruskan sesuai aturan syari’at. Perlahan kerajaan Islam lahir (seperti kerajaan Pasai, kerajaan Demak) dengan partisipasi Wali Songo. Mereka semua (para Wali) dapat menyemarakkan proses Islamisasi secara global. Mereka berharap terwujudnya kemaslahatan umat menuju sesuatu yang diridhoi tercapai. Pelan-pelan harapan itu mulai tewujud dengan mulai sadarnya sebagian penguasa dhalim beserta pengikutnya. Tindakan tidak manusiawi pun berkurang.

Pada masa sebelum dan pasca kemerdekaan, tindakan tidak manusiawi menjalar ke pelosok negeri. Berbagai kelompok memporak-porandakan kesatuan dalam keberagaman, merebut kekuasaan demi kepentingan pribadi, menyebabkan kemiskinan yang mengantarkan kesengsaraan rakyat. Sejarah negara kita dari dulu sampai sekarang mengalami ketimpangan sosial. Sementara ajaran agama menghadapi “kepanikan” dalam memberikan  solusi masalah-masalah tersebut.

Relasi Agama dan Negara

Diskursus hubungan antara Islam dan negara selalu bergema dari berbagai akedemisi dan cendekiawan. Kajian ini selalu menarik lantaran para pakar mempunyai perspektif tersendiri. Kita ketahui bersama, sistem kenegaraan yang ada dalam Islam tidak begitu tegas. Alquran dan hadis sebagai rujukan pertama tidak memberikan petunjuk yang jelas. Adapun Islam dengan nasnya hanya berbicara perihal sistem ketatanegaraan secara universal (ijmali) dan secara garis besar. Dengan demikian, konsep ketatanegaraan sampai saat ini masih menjadi bahan kajian yang dinamis.

Agama Islam dalam menjalankan syari’atnya mempunyai batasan-batasan (qoyyid) dalam mengatur apa yang diperintahkan dan dilarang. Sementara negara, juga mempunyai norma secara tertulis serta aturan adat yang harus diperhatikan masyarakatnya. Adapun nas Alquran hanya berbicara secara garis besar. Karenanya, peran nalar manusia sangat dibutuhkan dalam menghubungkan teks-teks agama dan negara sesuai realitas umat yang senantiasa menuntut adanya perubahan. Hal itu menjadikan kelenturan Islam dalam mengapresiasi perkembangan masyarakat.

Dalam buku, Fiqh Tata Negara, K.H. Dr. (Hc) Afifuddin Muhajir menerangkan secara spesifik perihal relasi agama dan negara. Ia mengklasifikasikan beberapa sub pembahasan sebagaimana berikut:

“Sebagaimana diketahui, kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan (ghayah), melainkan sebagai sarana (wasilah). Tujuan berdirinya sebuah negara ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia secara lahir-batin baik di dunia maupun di akhirat. Dengan ungkapan lain, kehadiran negara harus mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan dan berkebutuhan.”

Setidaknya dari uraian tersebut, saya rasa yang menjadi titik tekan, bahwa negara bukanlah tujuan melainkan sebagai sarana. Dalam artian, agama Islam disertai ajarannya membutuhkan seperangkat media untuk menyampaikan sekaligus memberikan edukasi kepada umat. Di sinilah kehadiran negara sebagai wasilah menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan atas terselenggaranya nilai-nilai keislaman. Bagaimanapun, negara kita dengan kemajemukan yang tersebar merupakan bentuk final penerapan sebagai manifestasi kesejahteraan. Sebagaimana ungkapan berikut:

“Dengan wataknya yang holistik dan universal, Islam sesungguhnya tidak mendikotomi agama dan negara. Sebaliknya, Islam menganggap bahwa negara pada dasarnya merupakan representasi agama dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebagaimana instrumen agama, negara tentunya menjadi bagian integral atau perluasan dari institusi agama itu sendiri. Dari pandangan ini kemudian muncul ungkapan, al Islamu din wa ad-Daulah (Islam adalah agama sekaligus negara).”

Pancasila dan Maqhasih asy-Syariah

Antara Pancasila dan Maqhasid asy-Syariah memiliki tujuan yang selaras yakni bertemu dalam bingkai maslahat. Mengenai Maqhasid asy-Syariah sekurang-kurangnya kita harus mengatahui dua hal. Pertama, dalam memahami nushus asy-syariah (teks-teks agama), kita harus memerhatikan Maqhasid asy-Syariah. Tujuannya agar dapat melahirkan produk hukum yang tidak kaku, serta bisa diterapkan secara kontekstual. Kedua, adanya Maqhasid asy-Syariah membantu memecahkan persoalan yang tidak ada dalam nas secara langsung.

Menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili, Maqhasih asy-Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syariat yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Menurut Imam as-Syathibi, fungsi dari Maqhasid asy-Syariah bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemaslahatan manusia di dunia-akhirat.

Sementara dalam konteks fikih, konsep maslahat inilah yang mencerminkan ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Para ushuly (Sebutan orang yang ahli dalam ushul fikih) membagi maslahat menjadi tiga. Pertama, maslahah mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang diapresiasi oleh Syari’ (Allah Swt.) melalui nas. Kedua, maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak diakui langsung dari syariat tetapi tidak ada dalil syar’i yang meniadakannya. Ketiga, maslahah mulghah, yaitu kemaslahatan yang diabaikan dan tidak digunakan oleh syariat.

Sementara itu, di negara kita, konsep maslahat (Maqhasid asy-Syariah) sudah tercermin dalam Pancasila. Dalam artian, Pancasila dan Maqhasid asy-Syariah adalah dua entitas tetapi memiliki esensi yang sama.

Pancasila dan Upaya Mewujudkan Kesejahteraan

Sebagai negara dengan konsep demokrasi, Indonesia memberikan hak pengawasan penuh kepada masyarakat untuk memberikan saran, kritik, dan masukan kepada pemimpin yang berkuasa. Konsep ini dijalankan lantaran mempertimbangkan kemajemukan dan perbedaan

Dalam mengimplementasikan konsep demokrasi, ideologi Pancasila mampu merangkul semua masyarakat dari berbagai kasta. Dengan ideologi ini, masyarakat akan melakukan kewajiban serta mendapat hak yang sama di mata hukum.

Diskursus mengenai kebhinekaan dan Pancasila mampu mengantarkan publik untuk berselancar ke arah kesejahteraan global. Bagaimanapun, nilai yang terkandung di dalam  Pancasila harus menjadi pegangan semua masyarakat. Bahkan hal ini tentu diyakini, Pancasila berfungsi sebagai ideologi dasar negara dan konstitusi, dapat mengakomodasi aspirasi berbagai agama dan menempatkan secara fungsional.

Agama Islam yang berwatak moderat (washatiyah) sudah sangat lama menjadi pedoman di seluruh penjuru Nusantara. Dalam Islam juga terdapat tujuan yang terorganisir. Bila Pancasila menjunjung tinggi dengan apa yang terkandung di dalamnya, maka dalam Islam juga terdapat prinsip besar. Di antaranya, prinsip al-Syura (permusyawaratan), al-Adalah (keadilan), al-Musawah (kesetaraan), dan al-Hurriyah (kebebasan).

Islam sangat menerima ideologi Pancasila sebagai asas. Lantaran semua sila yang ada di dalamnya tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Namun, saya rasa yang perlu dikaji lebih luas ialah tantangan Pancasila saat ini. Setidaknya terdapat tiga hal. Pertama, munculnya beberapa kepentingan yang memecah belah persatuan. Kedua, kurangnya pemahaman terhadap Pancasila dari masyarakat. Ketiga, minimnya kesadaran diri untuk mengamalkan Pancasila.

Islam sangat memerhatikan kondisi umatnya. Hal ini juga sejalan dengan prinsip Pancasila. Bahkan Islam juga memberikan hak kebebasan beragama tanpa adanya keterpaksaan (لااكراه في الدين). Oleh karenanya, sangat tidak etis menurut saya, bila ada kelompok radikalisme yang sering memaksa kepada masyarakat untuk beragama Islam. Munculnya kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dengan negara, aksi terorisme dengan bom bunuh diri atas nama ‘jihad’ adalah tindakan yang sudah keluar dari koridor Islam.

Perihal kelompok yang ingin merubah ideologi Pancasila dengan negara Islam (khilafah), saya kira besar kemungkinan mereka kurang menggunakan nalarnya. Padahal, ideologi Pancasila sama sekali tidak berbeda dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan isi Pancasila juga terkandung dalam Alquran.

Penutup

Saya begitu menyadari, kajian tema besar Pancasila sudah kelewat bergema. Namun terlepas dari hal itu, ada satu hal yang kurang dari tema tersebut. Adanya kajian Pancasila dan Maqhasid asy-Syariah, serta keterkaitan dengan berbagai kasus masih dibilang minim diajukan di meja diskusi publik. Saya sengaja menulis ini dengan harapan agar semua publik tidak hanya paham di bibir saja. Melainkan sampai mengaplikasikan nilai yang terkandung dalam Pancasila di kehidupan sehari-hari.

Kita sepatutnya berterima kasih kepada Founding Father pendiri negara dan beberapa ulama yang terlibat menjadikan Pancasila sebagai falsafah dasar negara Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kondisi negara kita yang majemuk dengan beragam ras, agama, suku, dan budaya.

Saya rasa, ideologi Pancasila sudah mencakup dan bisa menciptakan kesejahteraan warga negara. Namun, yang masih harus mendapat perhatian lebih adalah minimnya kesadaran menjadi warga negara yang baik. Karena minimnya kesadaran inilah banyak timbul kasus kriminalitas (korupsi dll). Kesadaran untuk mengamalkan Pancasila adalah wujud menciptakan kesejahteraan rakyat (maslahat) dan menggugatnya adalah wujud memecah belah umat.

Oleh: Muhammad Aldi Listayono, santri PP. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, peraih juara harapan 1 dalam Festival Literasi Santri 2023 di Pesantren Mansajul Ulum, Pati.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 169 kali

Baca Lainnya

Bayang-Bayang Feodalisme dalam Sistem Pendidikan Indonesia

6 September 2024 - 12:23 WIB

Maqashid Syari’ah: Landasan Pesantren dalam merumuskan Konsep Fikih Digital 

23 Agustus 2024 - 13:38 WIB

Santri Era Society 5.0 Melek Digital Mapan Spiritual

9 Agustus 2024 - 17:03 WIB

Strategi Cemerlang Sultan Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

26 Juli 2024 - 12:25 WIB

Keistimewaan Ilmu Nahwu

12 Juli 2024 - 19:19 WIB

Melestarikan Dakwah Islam Rahmatan Lil Alamin Era Modern Melalui Tulisan

28 Juni 2024 - 07:24 WIB

Trending di Kolom Jum'at