KOLOM JUM’AT XL
Jum’at, 7 Mei 2022
Genap satu bulan umat Islam di Indonesia menunaikan ibadah puasa Ramadhan, menahan rasa lapar dan dahaga. Setelah matahari tenggelam di akhir bulan Ramadhan, pekik takbir menggema bersahut-sahutan di masjid, musholla dan majlis-majlis sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Kesunahan menghidupkan malam Idul Fitri tersebut menurut Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar ditetapkan dari hadis riwayat Imam Syafi’i dan Ibnu Majah yang diriwayatkan dari sahabat Abu Umamah berikut ini :
من أحيا ليلتي العيدين لله محتسبا لم يمت قلبه يوم تموت القلوب.
Artinya; Barang siapa yang menghidupkan malam idul fitri, maka hatinya tidak akan mati di saat hati-hati yang lainnya telah mati.
Tapi sayangnya, riwayat Abu Umamah ini dhaif. Tapi meski begitu sepertinya kedhaifannya tidak terlalu parah sebab Imam Nawawi tetap memasukkan hadis fadhail a’mal (hadis yang menjelaskan tentang keutamaan beribadah) tersebut ke dalam kitabnya al-Adzkar pada Bab al-Adzkar al-Masyru’ah fi al-‘Idaini. Padahal al-Azdkar adalah kitab yang beliau tulis khusus untuk diwariskan sebagai buku panduan beribadah bagi umat islam.
Perlu diketahui bahwa ulama sepakat selama hadis fadhail amal tersebut tidak terlalu parah kedhaifannya, hadis tersebut boleh diamalkan. Demikian sebagaimana yang telah Imam Nawawi jelaskan pada muqadimah kitab al-Azkar. Apalagi jika ada riwayat lain atau nash yang secara substansi juga mendukung anjuran melaksanakan fadhail a’mal tersebut. Seperti firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 185 berikut :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya; Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa) dan hendaklah kamu bertakbir atau mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah 185)
Ayat di atas secara substansi mendukung anjuran memperbanyak takbiran sejak malam berakhirnya puasa ramadhan yaitu malam Idul Fitri, yang mana kesunahan bertakbir tersebut bertujuan untuk menghidupkan malam Idul Fitri.
Dalam kitab Fathul qarib Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi juga menjelaskan :
فقال ويكبر ندبا كل من ذكر وأنثى وحاضر ومسافر فى المنازل والطرق والمساجد والأسواق من غروب الشمس من ليلة العيد أي عيد الفطر ويستمر هذا التكبير الى ان يدخل الإمام في الصلاة للعيد
Artinya : Beliau (mushonnif) berkata, “bagi setiap orang laki-laki, wanita, orang yang berada di rumah, dan musafir, sunnah membaca takbir di rumah-rumah, jalan-jalan, masjid-masjid dan pasar-pasar, mulai dari terbenamnya matahari malam hari raya, maksudnya hari raya idul fitri.” Kesunnahan takbir ini tetap berlangsung hingga imam mulai melaksanakan shalat hari raya.
Setelah menjalankan sholat hari raya, masyarakat muslim Indonesia biasanya melakukan berbagai tradisi lokal seperti bermaaf-maafan (Halal bihalal), dan bersalam-salaman. Tradisi tersebut lumrah di temui, terutama bagi mereka yang tinggal di desa. Selain itu, mereka biasanya juga menyediakan berbagai hidangan khas hari raya ala muslim Nusantara.
Berkenaan dengan tradisi bermaaf-maafan dan bersalam-salaman, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tradisi tersebut dibolehkan dalam Islam atau dilarang? Pertanyaan ini muncul karena sebagian orang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw tidak ada anjuran bermaaf-maafan dan bersalam-salaman secara khusus di hari raya.
Jika kita mencari dalil anjuran bermaaf-maafan di hari raya secara spesifik dalam Al-Qur’an dan hadis, mungkin itu tidak akan ditemukan. Namun bukan berarti tradisi tersebut menyalahi ajaran Islam. Sebab, dalam Al-Qur’an dan hadis banyak ditemukan ayat dan matan yang menunjukkan anjuran bermaaf-maafan dengan sesama, termasuk antara nabi Muhammad saw dan para sahabat.
Firman Allah swt :
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3] ayat 159).
Anjuran bermaaf-maafan juga dapat ditemukan dalam hadis. Misalnya, nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath- Thabrani). Hadis ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pemeluknya untuk bermaaf-maafan jika terjadi kesalahan atau pelanggaran, bukan saling membalas mendendam.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sifat pemaaf dan sikap saling memaafkan adalah ajaran Islam yang mesti dipraktikkan, terlepas dari kapan dan di mana itu terjadi. Lebih jauh, tradisi bermaaf-maafan di hari raya tidaklah terlarang dan baik dilakukan. Meskipun pengkhususan waktu di hari raya tidak ada dalilnya, namun sikap memaafkan merupakan ajaran universal Islam. Di samping itu, tidak ada larangan spesifik dalam Al-Qur’an maupun hadis terkait pengkhususan waktu bermaaf-maafan. Bahkan, bermaaf-maafan di hari raya bisa menjadi alternatif perekat hubungan yang sulit dilakukan di hari biasa. Wallahu a’lam.
Oleh: Muhammad Sholihul Huda, Santri Mansajul Ulum.