KOLOM JUM’AT XCIII
Jum’at, 8 Maret 2024
Pada 1 Agustus 2023, Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri menangkap lima orang terduga teroris di Boyolali, Jawa Tengah. Penangkapan itu disertai dengan temuan barang bukti berupa alat-alat untuk merakit bom, bahan-bahan kimia dan alat elektronik. Tak hanya di Boyolali, pada 15 Juli 2023, Densus 88 menangkap dua orang terduga teroris di Lombok Timur. Bahkan, pada bulan Juni 2023, Densus 88 melakukan penawanan terhadap para terduga teroris di tiga wilayah Indonesia, yaitu Surabaya, Tulungagung dan Banyuwangi. Kasus-kasus tersebut membeberkan fakta keberadaan radikalisme yang terus bergerak dan menyebar sekaligus belum bisa dihilangkan sepenuhnya oleh pemerintah.
Lebih mengerikan lagi, para khilafers hingga saat ini terus aktif menyebarkan narasi radikal di pelbagai daerah Indonesia. Bila dahulu penebaran radikalisme dilancarkan hanya lewat pintu ke pintu dan buku, sekarang aktivis khilafah telah memanfaatkan kecanggihan media sosial yang ditawarkan oleh society 5.0. Terbukti, Densus 88 pada 14 Agustus 2023 lagi-lagi melangsungkan penangkapan terhadap satu orang terduga teroris asal Bekasi. Terkira teroris yang merupakan pendukung Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) itu aktif mempropaganda umat Islam Indonesia dengan seruan jihad melalui aplikasi Facebook dan Telegram. Fenomena itu oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) disebut sebagai trend baru dalam publikasi doktrin radikal di Indonesia. Radikalisme berbasis digital juga tercatat sebagai salah satu problem society 5.0 yang berdasarkan instruksi Presiden Jokowi harus terus dicermati pergerakannya. Lantas apa saja yang mesti disiapkan oleh umat Islam dalam menyongsong narasi radikal yang tersebar di media sosial? Sebelum membahas lebih jauh, kita perlu mengetahui pengertian radikalisme.
Radikalisme adalah aliran yang memimpikan adanya transformasi, modifikasi serta regenerasi tatanan sosial dan politik dengan cara melakukan tindakan kekerasan, intoleran bahkan terorisme. Paham tersebut pada biasanya muncul dari asumsi bahwa ideologi dan sistem pemerintahan suatu negara belum mampu memecahkan aneka problem kemasyarakatan dan keagamaan serta dianggap bertentangan dengan petunjuk syariat Islam. Penganut radikalisme mengklaim bahwa persoalan-persoalan kemasyarakatan dan keagamaan hanya dapat diselesaikan oleh negara Indonesia, bahkan dunia, dengan kembali kepada negara khilafah yang runtuh pada tahun 1924. Pandangan Khilafers ini tentu tidak diperkenankan oleh pemerintah Indonesia dan agama Islam mengingat hanya akan menimbulkan perpecahan dan konflik antar umat beragama.
Karena itu, masyarakat Indonesia perlu menjaga dan menjauhkan diri dari wawasan radikal yang beredar di platform digital. Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, perlu membangun daya tangkal dan daya lawan terhadap radikalisme melalui pemahaman tentang Fikih Tata Negara. Fikih Tata Negara termasuk salah satu bagian hukum Islam yang berbicara tentang perilaku umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fikih Tata Negara dibentuk dengan tetap mengacu kepada Al-Qur’an, Hadis, dan kitab kuning kontemporer. Istilah Fikih Tata Negara sudah menjadi perdebatan para ulama dan cendikiawan muslim Indonesia di awal-awal kemunculan kelompok trans-nasional yang meragukan keabsahan Pancasila, sistem demokrasi, dan kedudukan negara Indonesia.
Fikih Tata Negara digagas dalam rangka menguatkan dan mendukung kedudukan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. Peneguhan legalitas Pancasila dari perspektif agama Islam sangat dibutuhkan agar dapat meng-counter pandangan kelompok radikal yang menganggap sila-sila dasar negara Indonesia bertentangan dengan tuntunan agama Islam. Klaim tak berdalil aktivis khilafah itu tentu saja ditolak oleh ulama dan cendekiawan muslim, karena pada hakikatnya lima sila Pancasila tidak kontradiksi dengan ajaran Islam. Bahkan Pancasila itu sendiri sinkron dengan keyakinan umat Islam. Buktinya, sila pertama yang menjiwai sila yang lain selaras dengan pengertian tauhid di dalam akidah keislaman. Pancasila juga dapat dikategorikan sebagai produk olah pikir para pemuka atau founding father negara Indonesia yang beragama Islam. Sehingga kemungkinan rumusan Pancasila dibuat hanya berdasarkan akal dan nafsu tanpa mempertimbangkan panduan agama Islam sangatlah kecil.
Selain itu, Fikih Tata Negara merupakan representasi ajaran Islam yang mengamini demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan atau pemerintahan Indonesia. Pengakuan agama Islam terhadap sistem kerakyatan itu otomatis menolak sangkaan aktivis khilafah yang menganggap sistem ketatanegaraan Indonesia kering dari nilai-nilai Islam. Budaya kritik dan demokrasi justru telah dicontohkan oleh Khulafa’al-Rasyidin yang menjadi pengganti tugas kenabian. Hal itu dibuktikan dengan maklumat Umar bin Khattab: “Wahai manusia barang siapa di antara kalian melihat sesuatu yang bengkok pada diriku maka luruskanlah.” Tak hanya itu, kontrak sosial yang merupakan kesepakatan masyarakat dan pemerintah dalam sistem demokrasi selaras dengan baiat khalifah yang pernah diterapkan di dalam ketatanegaraan khilafah. Bentuk demokrasi juga lebih Islami daripada sistem teokrasi, monarki, dan otokrasi. Lantaran demokrasi membuka kesempatan selebar-selebarnya kepada umat Islam untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang melambangkan misi kenabian.
Dengan penjelasan-penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi secara simbol dan label memang tidak identik dengan istilah ketatanegaraan yang dikenal dalam agama Islam. Tetapi, Pancasila dan demokrasi secara substansi dan esensinya sarat dengan nilai-nilai universal yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, sehingga umat Islam, terutama kelompok radikal, tidak perlu lagi memperjuangkan berdirinya negara khilafah di negara Indonesia. Ideologi dan sistem pemerintahan khilafah apabila diterapkan di Indonesia hanya akan menimbulkan rasa tidak terima dari pemeluk agama lain. Lagi pula agama Islam juga tidak mewajibkan kepada pemeluk agamanya untuk mendirikan negara khilafah. Agama Islam menyerahkan mekanisme pembentukan negara kepada penduduk setempat dengan tetap merujuk kepada prinsip kesetaraan di muka hukum (al-musawah), penegakan HAM dan kebebasan (al-hurriyyah), persaudaraan (al-ukhuwah) dan demokratisasi (asy-syura).
Ketentuan dan hukum yang tertuang di dalam Fikih Tata Negara tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih ketika berhadapan dengan radikalisme. Umat Islam yang paham serta menerapkan nilai-nilai Fikih Tata Negara tidak akan mudah terpengaruh dengan rayuan kelompok radikal. Fikih Tata Negara ibarat vaksin yang dapat melindungi umat Islam dari paparan virus radikalisme. Bahkan pemeluk agama Islam yang mengerti Fikih Tata Negara juga bisa menjadi elemen masyarakat yang turut mendukung pemerintah dalam menangkap penebar narasi radikal.
Peran Fikih Tata Negara mampu dijadikan sebagai pedoman dan panduan umat Islam dalam menghadapi radikalisme. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah empat pilar kebangsaan yang terus disosialisasikan pemerintah melalui BNPT dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kepada masyarakat Indonesia agar bisa menjadi referensi dalam menghadapi narasi radikal. Seruan tersebut kerap kali disampaikan pemerintah melalui seminar, buku hingga konten-konten media sosial. Tak hanya itu, pemerintah telah berkolaborasi dengan lembaga dan tokoh kemasyarakatan-yang berpengaruh-di Indonesia. Kerja sama tersebut diadakan dengan tujuan agar lembaga masyarakat yang ada di Indonesia dapat menciptakan petunjuk khusus yang dapat dipelajari dan diterapkan ketika berhadapan dengan radikalisme. Salah satu lembaga masyarakat yang telah berafiliasi dengan pemerintah adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hingga sekarang, MUI terus menyuarakan pentingnya berpegang dengan prinsip Islam Wasathiyah sebagai bentuk upaya pencegahan menjamurnya radikalisme.
Namun, sebelum melangkah ke ranah implementasi, Fikih Tata Negara harus disosialisasikan ke seluruh pemeluk agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini jarang sekali bahkan tidak ada lembaga atau organisasi kemasyarakatan yang menganjurkan umat Islam untuk berpedoman kepada Fikih Tata Negara dalam menghadapi radikalisme berbasis digital. Konten-konten terkait Fikih Tata Negara hanya ‘terkubur’ di dalam buku dan jurnal ilmiah tanpa diolah dengan kreatif dalam bentuk postingan media sosial, video pendek dan artikel populer yang akhir-akhir ini sangat digemari oleh peminat media daring. Fikih Tata Negara juga harus ditulis sebagaimana kitab kuning agar bisa dikonsumsi oleh kalangan pesantren. Selain itu, pembahasan Fikih Tata Negara juga perlu diperluas lagi. Misalnya membahas tentang status bendera merah putih dan hormat kepada bendera menurut tinjauan agama Islam. Sehingga pesantren bisa ikut mengambil peran aktif dalam mempertahankan keutuhan NIKRI dan membendung Gerakan radikalisme.
Oleh: Ikhsan Maulana, salah satu peserta nominator terbaik ke-7 Festival Literasi Santri 2023 yang diadakan oleh Pesantren Mansajul Ulum.