Menu

Mode Gelap

Kolom Jum'at · 12 Agu 2022 01:33 WIB ·

Isu Kekerasan Seksual dan Pentingnya Otokritik


 Sumber gambar : medialampung.co.id Perbesar

Sumber gambar : medialampung.co.id

KOLOM JUM’AT LII
Kolom Jum’at, 29 Juli 2022

Kasus kekerasan seksual, akhir-akhir ini, menjadi berita yang ramai dibicarakan. Mendengar berita itu rasanya menyedihkan sekali. Karena korban kekerasan seksual adalah anak-anak di bawah umur. Ironisnya lagi kasus itu terjadi di lingkungan lembaga pendidikan Islam, seperti pondok pesantren. Bahkan, berita terkini mengabarkan adanya penggrebekan pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di salah satu ponpes di Jawa Timur.

Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan definisi tentang kekerasan seksual sebagai segala bentuk tindakan seksual yang dilakukan terhadap anak sebelum mencapai batasan umur tertentu yang telah ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan. Kasus kekerasan seksual pada anak adalah sebuah tindakan keji yang melanggar hukum. Perilaku biadab ini harus ditindak secara tegas dan mendapatkan perhatian yang serius. Masyarakat dan negara juga harus memberikan perhatikan khusus kepada korban. Karena tindakan ini mempunyai dampak yang sangat hebat bagi anak sebagai korban. Dampak berat yang dialami oleh korban itu terjadi baik secara fisik, psikis, maupun sosial. Diantara dampak paikologis akibat kekerasan seksual adalah pengalaman traumatis bagi anak maupun keluarganya. Korban kekerasan seksual bahkan akan mengalami powerlessness (perasaan tak berdaya), merasa tidak mempunyai kemampuan dan tersiksa ketika melaporkan peristiwa tersebut.

Dampak sosialnya bisa berupa stigma dan stereotip dari masyarakat yang berkepanjangan. Efek sosial ini semakin berat jika masyarakat juga tidak berbuat apa-apa dan tidak memberikan perlindungan khusus kepada korban. Karena beratnya dampak yang harus ditanggung oleh korban, maka tidak banyak korban yang secara berani melaporkan kasus yang mereka alami. Kasus kekerasan seksual yang diberitakan adalah seperti fenomena gunug es. Artinya, kasus yang tercatat secara resmi jauh lebih sedikit dari kenyataan yang ada sebenarnya. Karena korban kekerasan seksual akan mengalami powerlessness.

Selain dampak psikologis dan sosial, kasus kekerasan seksual juga berdampak pada fisik korban, seperti penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, luka pada alat kelamin, resiko tertular penyakit menular seksual, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, kehamilan yang tidak diinginkan dan lainnya. Praktik kekerasan seksual ini sesungguhnya berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Karena itu kehadiran negara dalam memberikan jaminan bagi korban sangat dibutuhkan, sebagai wujud dari perlindungan pada seluruh rakyatnya. Perlindungan itu bisa diwujudkan melalui penegakan peraturan perundang-undangan, terutama tentang tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga siapapun yang terbukti melanggar peraturan perundang-undangan harus mendapatkan hukuman yang berlaku.

Sayangnya, kasus kekerasan seksual ini sering berhenti pada gunjingan dan masih sedikit sekali yang menjadi perhatian serius masyarakat. Kasus yang ditangani serius baru sebatas kasus yang telah mencapai puncak pelanggaran yang serius. Selebihnya masih terabaikan tanpa penangan yang baik. Tidak sedikit aparat penegak hukum yang menganggap ini adalah masalah privat. Sehingga mereka pasif dan hanya menunggu korban yang proaktif menuntut dan melaporkan. Sementara beratnya dampak psikologis korban masih sering tidak difahami oleh masyarakat. Rasa trauma yang membuat korban tidak berani membuka kasusnya difahami oleh masyarakat bahwa menyembunyikan kasus kekerasan seksual dianggap lebih baik. Karena hal itu dianggap mampu menutup aib korban. Mereka tidak berpikir sebaliknya, bahwa membiarkan kasus kekerasan menguap tanpa penanganan berarti telah membiarkan pelaku tanpa sanksi dan merasa tidak bersalah sama sekali.

Pentingnya Otokritik Bagi Pesantren

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sudah selayaknya dunia pesantren menjadi komunitas Islami sekaligus pioneer dalam mencetak generasi penerus bangsa yang mempunyai kualitas moral yang baik. Hal ini dibuktikan atas kontribusi besar pesantren dalam memproyeksikan santri- santrinya untuk menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkualitas. Karena di dalam pesantren para santri dibekali dengan dengan berbagai pengetahuan, terutama kaitannya dengan moral. Di sisi lain, dalam mewujudkan hal tersebut, pesantren harus menjadi wadah bagi generasi muda bangsa yang memberikan jaminan keamanan dan ketentraman dalam menjalani masa pendidikan dengan mematuhi dan terbuka terhadap seluruh peraturan perundang-undangan. Selain sebagai lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren harus dapat menjadi agen perubahan bagi komunitas masyarakat pesantren agar selalu terbuka terhadap seluruh peraturan yang berlaku.

Fenomena terjadinya kekerasan seksual di pesantren menjadi kritikan keras bagi dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren, atas mulai minimnya jaminan proteksi keamanan bagi para santri, terutama santri putri, dalam menjalani pendidikan di dalamnya. Temuan kasus-kasus kekerasan di atas, harus menjadi ibroh/pelajaran dan pengingat bagi pesantren terhadap lemahnya proteksi pada para santri. Dengan adanya kasus yang ada, menjadi sebuah keharusan bagi dunia pesantren untuk mereposisi diri agar terus berbenah dan meningkatkan pengawasan serta pengamanan terhadap para santri dari ancaman kekerasan seksual.

Upaya reposisi itu bisa dilakukan pesantren melalui beberapa langkah penting, diantaranya:

1. Melalui edukasi. Pesantren saat ini harus menyadari tentang pentingnya edukasi kepada seluruh civitas akademikanya terhadap wacana kekerasan seksual. Edukasi tersebut tidak hanya dalam perspektif hukum agama semata. Melainkan juga perspektif hukum positif negara.

2. Mengubah cara pandang terhadap relasi laki-laki dan perempuan yang lebih adil. Tidak bisa dipungkiri bahwa budaya klasik yang bias gender telah masuk di pesantren melalui berbagai pengaruh, baik kitab turats yang merupakan warisan klasik maupun tradisi masyarakat yang ada di sekitarnya hingga hari ini. Fakta ini tidak hanya dialami oleh pesantren. Dengan prinsipnya “Al-Muhafadzah alal-qadim ash shalih wal-akhdzu bil-jad al-ashlah”, pesantren harus membuka diri untuk melakukan koreksi terhadap cara pandang yang tidak adil terhdap perempuan, baik dalam level teori maupun praksisnya.

3. Terbuka dan melek terhadap wacana perundangan yang menjelaskan dan mengatur tentang pelanggaran yang menyangkut kekerasan seksual. Pemahaman yang baik terhadap wacana perundangan yang berlaku, menjadikan pesantren mampu berkolaborasi dengan pemerintah untuk bersama-sama menghapuskan kekerasan seksual, khususnya di pesantren.

Dengan langkah-langkah diatas, diharapkan praktik kekerasan seksual di dunia pesantren bisa dihapuskan. Dengan demikian, pondok pesantren akan tetap menjadi mitra bagi bangsa Indonesia dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang unggul dan memiliki kualitas moral yang baik dengan ilmu yang dikuasai oleh para santri.

Oleh: Muhammad Ulil Albab, Santri Mansajul Ulum dan Mahasiswa PBA IPMAFA, Pati.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 280 kali

Baca Lainnya

Perempuan Guru Ulama Laki-laki Terkemuka

17 Januari 2025 - 09:35 WIB

Peradaban Babilonia: Refleksi dan Resolusi saat Tahun Baru

3 Januari 2025 - 19:35 WIB

Pentingnya Pendidikan Kesetaraan Gender bagi Laki-Laki

20 Desember 2024 - 18:02 WIB

Kritisisme, Juru Damai Rasionalisme dan Empirisme

6 Desember 2024 - 07:47 WIB

Urgensi Pesantren Ramah Anak

22 November 2024 - 13:35 WIB

Dampak Buruk Konsumsi Makanan Berlebih dalam Perspektif Dokter dan Ulama’

8 November 2024 - 14:45 WIB

Trending di Kolom Jum'at