KOLOM JUM’AT CI
Jum’at, 28 Juni 2024
Sebagai umat Islam, ketika kita melihat dakwah agama Islam semakin masif, khususnya di media sosial pada era modern saat ini, tentu saja terdapat perasaan bangga dan bahagia dalam benak kita, karena agama Allah SWT yang rahmatan lil alamin ini menjadi semakin tersebar dan terkenal ke segala penjuru dunia. Akan tetapi, teradapat hal yang perlu kita kritisi tentang fenomena ini. Kita hendaknya kritis terhadap konten-konten dakwah yang kita jumpai di media sosial, terlebih di era saat ini yang kebanyakan orang mengikuti konten dakwah dari segi viralitasnya, bukan lagi berdasarkan segi validitas kebenaran isi dan sumber referensi datanya.
Dalam melihat realita demikian ini, sudah semestinya kita sebagai umat Islam perlu kritis dan meng cross-check validitas kebenaran isi suatu konten dakwah yang kita jumpai di media sosial. Kita mesti meneliti dulu, apakah isinya sesuai dengan nilai Islami atau tidak? Siapa orang yang menyampaikan konten tersebut? Bagaimana latar belakang keilmuan dia? dan seterusnya. Hal ini perlu dilakukan demi kebaikan umat Islam sendiri.
Di samping itu, kehadiran realita demikian ini melahirkan suatu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual atau cendekiawan muda Islam –masyhur disebut dengan istilah “santri” dalam melestarikan perjuangan dakwah Islam di negeri ini. Tantangan dakwah yang dimaksud ialah bagaimana cendekiawan muda Islam atau kaum santri ini mampu membumikan dan melestarikan ajaran agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui media sosial. Kaum santri harus mampu menjawab tantangan ini dengan apik. Mengingat bahwa perkembangan media sosial kian masif, bila para santri tidak mau turut mengambil peran dan kesempatan, maka media sosial akan dikuasai oleh konten-konten dakwah ‘negatif’ yang sangat berpotensi meracuni kehidupan umat.
Sebagai bekal perjuangan dan menjawab tantangan dakwah tersebut, maka kaum santri era modern saat ini setidaknya butuh dua kemampuan utama. Kaum santri harus fasih secara lisan juga tulisan. Maksudnya, kaum santri tidak hanya harus mahir dalam menyampaikan dakwah model ceramah atau orasi, tetapi juga harus pandai menata diksi secara ringkas dan mudah dipahami, serta tidak melupakan kredibilitas keilmuan dalam wujud konten dakwah yang kemudian disampaikan melalui media sosial. Mengapa demikian? Sebab, dewasa ini banyak dai yang pandai ceramah/ orasi, tetapi masih belum begitu banyak yang pandai ceramah/ orasi sekaligus mahir dalam menuliskan diksi dakwahnya di media sosial. Dengan adanya inovasi ‘Kaum santri harus fasih lisan juga tulisan’, maka ke depan konten-konten dakwah yang muncul di beranda media sosial akan bermuatan positif dan tidak lagi membahayakan kehidupan umat.
Di samping itu, ketika kaum santri fasih secara tulisan itu berdakwah di media sosial, hal ini akan membawa berbagai kemaslahatan lainnya, di antaranya:
1) Perdebatan kusir di media sosial, khususnya seputar agama, tidak lagi mewabah.
2) Konten-konten dakwah ‘negatif’ yang tidak kredibel bisa tertandingi oleh konten-konten dakwah positif.
3) Budaya gemar membaca netizen perlahan tumbuh, sehingga grade literasi bangsa ini yang menurut survey PISA masih rendah, perlahan bisa naik.
Lantas, bagaimana kiat yang harus ditempuh untuk melahirkan generasi ‘Kaum santri yang fasih lisan juga tulisan’ ini? Guna mewujudkan hal itu, sejak masih nyantri, para calon cendekiawan muda Islam ini harus dikader dan dibekali dua softskill ini. Pesantren harus adaptif dan responsif dalam mewujudkan hal ini dengan membuatkan wadah pelatihan jurnalistik dan orasi ilmiah. Wadah pelatihan jurnalistik dan orasi ilmiah ini dalam skala kecil dapat diwujudkan melalui pembentukan UKS (Unit Kegiatan Santri) dan dalam skala besar dapat diwujudkan melalui seminar pelatihan jurnalistik & orasi ilmiah pesantren, pembinaan santri secara masif dalam mengikuti event lomba tingkat regional maupun nasional, dan sebagainya.
Selain itu, dibutuhkan pula pembinaan strategi dakwah Islami era modern yang menyesuaikan kebutuhan zaman dan tidak menimbulkan konflik internal di kalangan santri. Hal ini dimaksudkan agar andaikan ada satu orang santri tidak bisa sepenuhnya menguasai (mahir) dua softskill tadi, tapi menguasai salah satunya saja, setidaknya nanti ketika sudah terjun di masyarakat dapat bersinergi antara satu sama lain sesama santri dalam dakwah Islamiyah. Sesama dai dari kalangan santri semestinya bisa saling bahu membahu, bukan malah saling menjatuhkan. Mereka harus mampu saling dukung, bukan malah saling tikung dalam berjuang di jalan dakwah.
Terakhir, semoga dengan adanya langkah pembelajaran jurnalistik & orasi ilmiah di berbagai pesantren di Indonesia yang dikemas secara apik dan dilaksanakan secara masif, cendekiawan-cendekiawan muda Islam ideal dapat terlahir pada masa mendatang, sehingga mereka dapat melanjutkan estafet perjuangan dakwah Islamiyyah para santri yang fasih lisan dan tulisan terdahulu seperti KH. Ma’ruf Khozin, Gus Rijal Mumazziq Z., Gus Abdul Wahhab Ahmad, dan lainnya. Wallahu a’lam.
Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo, Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Universitas Negeri Semarang.
___________________________
Referensi:
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/12/06/narasi-skor-pisa-indonesia-jangan-seolah-olah-prestasi (Diakses pada tanggal 18 Juni 2024)