الهي لست للفردوس اهلا # ولا اقوى على نار الجحيم
Suara lembutnya bersenandung. Di tengah kegelapan malam seraya menyelami pesan pesan yang terkandung di dalamnya. Air matanya meleleh di sepertiga malam yang ia ketahui dari dinginnya angin berembus.
Wahai Tuhanku, dengan kesadaran penuhku di pagi yang gelap ini.
Tubuh berlumur dosa tiada malu tetap mendamba surga-Mu.
Tiada pantas Robbi…
Tuk mencium nikmatnya saja tiada pantaslah yang kurasakan
Tapi makhluk-Mu yang lemah ini tiada berdaya, bahkan dengan kubangan api versi dunia.
Lalu bagaimana dengan neraka?
Wahai Tuhanku, andai wujud satu tempat lagi selain keduanya
Walau hamparan kosong
Adalah wujud belas kasihmu yang Maha Agung.
يا حي يا قيوم لا اله الا انت، سبحانك اني كنت من الظالمين
Anggi mengganti wiridnya setelah kulitnya memberitahu bahwa waktu shubuh sebentar lagi datang. Daun telinganya juga sayup-sayup mendengar qiro’ shubuh, pertanda adzan shubuh setengah jam lagi berkumandang.
Gadis bermukena putih itu terus-menerus melantunkan dzikir nabi Yunus, salah satu wirid kesenangannya menjelang shubuh.
Ya Rabb, Yang Maha Menghidupkan Yang Maha Berdiri Sendiri, Maha Suci Engkau, Sesugguhnya kami adalah hamba-Mu yang dzalim. Air mata Anggi semakin meleleh tiap kali melantunkan wirid tersebut. Dalam benaknya, ia seketika ingat pebuatan-perbuatan dzalim yang telah ia lakukan di masa lalu. Mulai dari tidak nderek shalat jama’ah, membully santri-santri baru, sampai drama mbedalnya yang berdampak kecelakan beberapa tahun lalu.
سبحانك اني كنت من الظالمين, Anggi terus-terusan mengulangnya, berharap penuh akan pengampunan dosa dari Allah.
Adzan shubuh berkumandang, tapi Anggi tetap istiqomah dalam tadabburnya seakan tidak terganggu dengan bel panjang yang membangunkan santri. Sampai seseorang menepuk pundaknya pelan.
“Mbak Anggi, ini jadwal Mbak Anggi jadi imam,” Anggi menangguk tenang, ia ingat ini memang jadwal gilirannya menjadi imam shalat jama’ah.
“Kerso dibantu?” Sekali lagi kepalanya mengangguk dengan tatapan mata yang tidak beralih dari arah bawah. Anggi tersenyum, dengan senang hati ia mau dibantu sekalipun ia suda hafal nglotok arah jalannya. Tapi ia tidak mau congkak apalagi dengan keadaan seperti ini. Bagaimanapun setiap manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Beberapa tahun yang lalu, Anggi nekat kabur dari pondok atau istilahnya mbedal. Dirinya nekat lompat dari tembok belakang pondok yang sudah dipasangi kawat berduri. Apakah Anggi berhasil? Tentu saja, denga tubuh small size membuatnya mudah melewati trowongan extra sempit sekalipun. Tapi naas, ketika ia melompat turun dari atas dinding dan berlari menyebrangi jalan menuju kota, sebuah kendaraan beroda dua menabraknya. Dan semenjak kecelakaan yang terjadi pada pukul 2 malam itu, Anggi fix kehilangan dua penglihatanya.
Santri lain bilang, kejadian itu harusnya menjadi kesempatan buat Anggi untuk tidak mondok. Tapi lucunya, Anggi justru bertekad kembali ke pondok setelah satu bulan beristirahat di rumah. Tentu saja hal ini mengundang rasa penasaran para santri lain soal mengapa Anggi mau mondok lagi, atau juga soal mengapa Anggi nekat kabur. Tapi rasa penasaran tersebut cepat menguap karena Anggi justru senang menceritakannya panjang lebar.
Anggi mengaku mengalami trauma dengan ketatnya peraturan pondok. Saking ketatnya Anggi merasa ia diserang insomnia yang membuatnya sulit tidur baik di malam ataupun siang hari. Acap kali hal itu terjadi, yang Anggi rasakan adalah seakan alam bawah sadarnya terus menyala, teringat akan ta’ziran-ta’ziran yang akan ia timpa. Dan pada hari itu, pukul 9 malam usai seluruh kegiatan berlangsung, Anggi disidang oleh keamanan karena sudah 5 kali melewati jam malam. Hal itu memang benar terjadi karena setiap kali Anggi tidak bisa tidur, ia memutuskan untuk membaca buku, tidak terkecuali novel yang memang tidak boleh dibaca saat jam malam. Merasa tidak terima dan hari itu adalah genap sepuluh hari Anggi tidak tidur malam, Anggi akhirnya memutuskan untuk kabur.
Dan ketika kecelakaan itu terjadi, di tengah pingsannya ia bermimpi yang sebenarnya adalah bagian dari memori masa lalunya. Seorang Mbak pondok yang selalu sangat sabar dalam mengajari sekaligus menghadapi kenakalannya. Mbak Yuli itu melakukan pidato singkat sebelum ia boyong. Di sela-sela air mata yang terus mengalir, mbak Yuli berpesan.
“Adek-adekku semua, belajarlah sungguh-sungguh. Gunakan setiap kesempatan yang kamu miliki. Tidak semua orang bisa berutung mendapat kesempatan belajar di pondok. Ditambah lagi tidak semua santri yang mondok bisa seberuntung kalian yang bisa mondok di pondok pesantren Al-Manar ini. Saestu! Aku sendiri merasakannya.”
Mbak Yuli adalah sosok yang sebenarnya sangat ia kagumi. Ia ingin mengikuti jejaknya sebenarnya, jika waktu itu setan yang ada dalam dirinya tidak sebesar gunung. Setiap sepertiga malam, mbak Yuli selalu bangun untuk shalat tahajjud dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat, kemudian mbak Yuli melanjutkannya dengan mendaras Al-Qur’an.
Karena memori itu, Anggi sekan mendapat hidayah untuk kembali memperbaiki diri sekalipun sekarang penglihatannya tidak berfungsi. Ia justru menjadikan hal itu cambuk pengingat, bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan yang harus terus dipermak. Sekalipun begitu, Anggi tidak pernah pesismis. Belajar itu hukumnya fardlu ‘ain sebagaimana shalat fardlu. Selagi seseorang masih bisa bernapas, maka wajib baginya menegakkan shalat. Begitupun dengan belajar. Bagi Anggi tidak ada tembok yang tidak bisa ditembus selagi kita memiliki tekad kuat, اذا صدق العزم، وضح السبيل.
Soal traumanya akan ketatnya peraturan pondok, Anggi tidak lagi mengambil pusing hal tersebut. Peraturan pondok diciptakan untuk kebaikan masing-masing santri, agar menjadi pribadi yang lebih baik tentunya. Misal, jam malam diadakan agar santri tidak membuang waktu istirahatnya dengan tidak bijak, seperti gosip ria (membicarakan hal yang tidak penting), membaca novel romance yang kurang mendidik, dan paginya justru mengantuk ketika pelajaran berlangsung di kelas. Walaupun begitu, jam malam tidak membatasi santri yang ingin belajar, rapat pengurus, beribadah, serta hal bermanfaat lainnya. Dan lucunya, hal ini justru menuntut para santri nakal yang tetap ingin melekan untuk belajar sambil jagong dan tidak jarang berujung musyawarah.
Walau sebagai tuna netra, Anggi tidak dibeda-bedakan apalagi diistimewakan, seperti boleh tidak jama’ah, misalnya. Setiap pagi Anggi tetap berangkat sekolah. Beruntung madrasah tempat ia belajar tidak menolak penyandang disabilitas sepertinya. Ia juga diperbolehkan merekam pelajaran sehingga ia dapat belajar dengan maksimal. Ketika liburan datang, Anggi menggunakan kesempatan itu untuk mengikuti kursus belajar braile. Kemudian membeli buku-buku dengan bahasa braile. Baginya, biarlah dunia gelap di matanya, tapi hati dan akal pikirannya tetap dapat melihat dunia. Ia juga tidak mau ketinggalan informasi, maka tak jarang ia meminta bantuan untuk membacakan koran untuknya. Beruntung sekali ia memiliki teman-teman yang sangat baik, sehingga mereka justru dengan senang hati bahkan sampai berebut membacakan koran untuknya.
Kalau sudah bercerita panjang kali lebar seperti itu, biasanya Anggi teringat sosok bapak yang terus mensupportnya. Dulu, pasca kecelakaan, ketika mata Anggi masih dibebat perban melingkari kepalanya, bapak dawuh, “Dewi Anggia, ANGgening Gigih setIA. Maksudnya nduk, Bapak ingin kamu jadi sosok dewi yang istiqomah dalam berusaha. Pantang menyerah dan justru terus menantang segala keadaan yang membuatmu kesulitan. Jadilah sosok yang seperti itu ya, Nduk, الاءستقامة خير من الف كرامة” Ujar beliau seraya mengelus rambut Anggi waktu itu.
“Mbak Anggi mau kemana?” Tanya salah seorang santri yang melihat Anggi sibuk menata jilbabnya.
“Piye, wis ayu?” Yang ditanya justru balik tanya.
“Walah, Mbak Anggi mah cuantik terus pokok’e.” Jawab santri itu dengan acungan dua jempol ke arah Anggi. Ia sedikit bersyukur, Anggi tidak salah menoleh ke arahnya. Kalau tidak, dirinya yang bingung nanti.
“Aku mau ke ndalem, Fi. Ini sudah jam delapan to?”
“Oalaaah, iya Mbak, niki sudah jam delapan. Lha Mbak Anggi mau ke ndalem sek ruapine pol kayak mau ketemu mertua kok.”
Mereka berdua tertawa bersama. Kemudian Anggi menuju ke ndalem dengan bantuan Shofi. Tiba di sana beberapa santri yang juga menghafal Al-Qur’an sudah berkumpul. Anggi berjalan nggangsut masuk ke ndalem bersama Al-Qur’an yang sudah dirancang bagi penyandang tuna netra di pelukannya.
Beberapa menit setelahnya Ummi masuk dan semakan hafalan berlangsung. Karena datang terakhir, Anggi mendapat giliran terakhir. Begitulah salah satu budaya santri yang diambil dari sebutannya sendiri. Santri ‘sabar mengantri’.
Sambil menunggu gilirannya, Anggi mendaras hafalannya yang kini sudah sampai jus 15.
“Nduk Anggi, kamu disemak sama si Wafda ya. Mendadak aku pengin hajat.”
“Nggeh, Ummi.” Anggi hanya manut. Padahal jika disuruh memilih, Anggi lebih suka menunggu Ummi ba’do hajat dari pada semakan dengan lawan jenis sekalipun itu gusnya sendiri.
Anggi mulai melantunkan Al-Qur’an juz 11 yang mana memang jatahnya waktu itu. Ayat demi ayat ia lantunkan. Sebenarnya ia risi sehingga membuat nada hafalannya sedikit berbeda dari biasanya. Jika yang biasanya ia bernada murottal, khusus kali ini ia ngaji biasa!.
“Mbak Anggi.” Panggil Gus-nya tiba-tiba.
“Dalem, Gus.” Jawabnya cepat, efek jantungnya yang mendadak berdegup kencang. Di sela-sela suara jantunya, terdengar suara tarikan napas panjang Gus Wafda seakan beliau juga gugup. Ia sadar sejak matanya buta indra lain yang ia miliki sedikit demi sedikit menajam. Tapi entah kenapa kini terdengar lebih kencang dari biasanya.
“Saya mau ngomong sama sampean.”
“Sumonggo!” Jawabnya cepat. Gus Wafda tersenyum kecil melihat kelakuan Anggi yang terkesan gugup, seperti dirinya.
“Aku sudah matur sama Abah dan Ummi, juga sudah matur sama Bapak dan Ibu sampean. Saya hendak ndodok lawang sampean, Mbak Anggi.”
“Saru, Gus.” Jawab Anggi masih cepat. Malahan terkesan menyela pembicaraan.
“Eh, kok bisa? Sekarang di belakang sampean ada Abah sama Ummi duduk di sofa. Bagian mana yang saru coba jelaskan.” Tutur Gus Wafda. Jujur, dirinya sempat terkejut.
“Saru, apabila keturunan kyai seperti njenengan bersanding dengan perempuan tuna netra seperti saya.” Jawabnya terus terang.
“Ya Allah Ya Robbi Ya Kariiim, Mbak Anggi, gusti Allah itu tidak melihat hamba-Nya lewat fisik, tapi lewat akhlak juga ilmunya. Mbak Anggi tau sendiri itu. Lagi pula, saya justru bersyukur, dengan begitu potensi saya untuk ketahuan mengamati sampean selama bertahun-tahun sedikit sekali to?”
Sontak Anggi mendongak seakan dapat melihat sosok tampan di depannya. Mendengar hal yang baru saja dikatakan Gusnya tentu saja membuatnya terkejut! “Bagaimana bisa?” Tanyanya dalam hati. Menyadari kelakuannya barusan, Anggi kembali tertunduk.
“Anu, Gus. Nanti bagaimana dengan omongan orang terhadap keluarga Kyai?” Ujar Anggi terus terang. Ia memutuskan untuk mengeluarkan semua uneg-unegnya. Bagaimanapun sebisa mungkin ia tidak mau ada penyesalan bagi siapapun. Utamanya bagi keluarga kyai yang sangat ia hormati.
“Lha wong yang nikah saya kok yang susah orang lain. Saya sih be happy saja asal kalihan Mbak Anggi.” Mendengarnya, membuat wajah Anggi memerah. Gus Wafda tersenyum nakal karena merasa sukses menggombal.
“Ada yang ditanyakan lagi mbak Anggi?” Anggi meringis sekarang, sampai terlihat deretan gigi putih miliknya. Ia merasa malu, pertanyaan gus Wafda barusan seakan tukang tanya di bahtsul masaail. Walau begitupun akhirnya ia bertanya lagi.
“Apa yang Njenengan dapat setelah mengamati saya bertahun-tahun, Gus? Jujur, saya ini tidak punya apa-apa.” Kali ini Anggi bertanya pelan-pelan.
“Mbak Anggi, dengarkan saya. ان الله يحب المتقين، واحسنوا ان الله يحب المحسنين، ان الله يحب التوابين والله يحب الصابرين
Lhah, kalau gusti Allah mencintai sampaean, فاحبك! Jelas to?”
Kali ini Anggi benar-benar terdiam lama. Ia tenggelam antara bahagia sekaligus sedih. Satu sisi ia bersyukur, tapi di sisi lain dirinya menolak untuk percaya, sebagian hatinya masih saja merasa ini tidaklah benar.
“Tapi hafalan saya belum khatam, Gus. Ummi pernah sanjang kalo belum khatam hafalannya, lebih baik jangan menikah dulu. Takut tidak bisa ngrekso sekaligus melanjutkan hafalan.”
Mendengar itu, Gus Wafda melirik Umminya. “Ya beda kalau sama saya tho..” Balasnya cengengesan.
“Gimana Mbak Anggi, sudah tidak bisa mengelak lagi tho?”
Anggi terdiam lagi, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia bingung, tapi ia harus membuat keputusan yang bijak. Semakin cepat, semakin baik.
“Ya, berhubung saya tidak bisa melihat siapa-siapa, yang sudah pasti saja.” Putus Anggi pada akhirnya.
Gus Wafda tertawa renyah setelah itu. Ia tahu nada bicara pasrah yang dikeluarkan Anggi itu dibuat-buat.
“Ya sudah kalau begitu, hafalannya dilanjut seperti murottal biasanya nggeh? “Tutur Gus Wafda sengaja menyindir sosok putih dengan pipi memerah 2 meter di hadapannya.
Oleh: Ikrima Elok Zahrotul Jannah, Santri Mansajul Ulum.