Menu

Mode Gelap

Literasi Santri · 10 Mar 2023 15:50 WIB ·

Bintang Putih


 Sumber gambar: Id.pinterest.com Perbesar

Sumber gambar: Id.pinterest.com

(Bagian Dua)

Aku menatap adikku tak percaya. Astaga! Apa yang telah dilaluinya selama ini? Bagaimana bisa aku tidak diberitahu olehnya sedikitpun masalah di rumah. Tubuhku bergetar, aku mulai terisak pelan. Adikku mendekat, mengusap air mataku yang berjatuhan. Aku menatap garis wajahnya yang tegas, rahangnya yang kokoh membuktikan bahwa dia telah melalui semua badai itu. Lintang Seta, anak nakal yang ku rawat bersama ibu dulu, bintang putih keluarga kami, kini sudah tumbuh dewasa.

“Jangan nangis, Mbak. Nanti hilang ayunya.” Guraunya.

Ku pukul bahunya pelan. Dasar Seta! Bisa-bisanya dia bergurau di saat seperti ini. Seta terkekeh, dia menatapku dalam-dalam.

“Saat itu aku ndak pernah berpikir akan bisa kembali hidup-hidup,” lanjut Seta. “Bahkan untuk bertemu mbak pun, aku masih takut.”

Aku mengusap air mataku, mulai kembali fokus mendengarkan Seta bercerita. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, membuat jilbab yang kukenakan melambai-lambai. Seta mendongak menatap bintang-bintang di langit malam yang cerah.

Salah satu anak buah bos itu–yang lebih mirip preman–maju mulai menyerangku. Aku bersiap, lawanku adalah laki-laki dewasa dengan tubuh tinggi kekar. Dia mulai melancarkan tinjunya ke arah wajahku. Aku menghindar ke samping, membalasnya dengan tinjuan di perut. Meski begitu aku lumayan jago berkelahi. Preman itu mengaduh pelan, seranganku tak terlalu berefek kepadanya, namun hal itu membuat amarahnya tersulut.

“Kau berani memukulku!?” geramnya.

Aku diam, mencoba untuk tetap fokus. Preman tadi kini mulai menyerang secara brutal, bahkan teman-temannya yang lain mulai menyorakinya memberikan semangat. Aku mencoba untuk menghindari serangannya yang brutal. Hal itu membuatku kesulitan untuk membalas serangannya. Dua menit berlalu dan aku masih kepayahan menghindari serangannya.

BUGH!

Satu pukulanku nyasar mengenai pelipisnya, preman itu sedikit terhuyung. Satu celah terbuka, segera saja kulepaskan pukulan kuat di ulu hatinya. Preman itu mengaduh kesakitan. Baru saja aku hendak bernapas lega, serangan lain mulai berdatangan.

BUGH! BUGH!

Aku mengaduh, pukulan-pukulan mulai mengenai tubuhku. Kutahan rasa sakit ini sekuat tenaga. Bos mereka terus mengamati pertarungan, tetap diam. Tempat judi ini mulai berantakkan akibat pertarungan kami. Para pelanggan sudah pulang dari tadi, mereka tidak mau terlibat masalah apapun dengan sang pengelola tempat. Sementara itu aku harus segera melumpuhkan mereka. Tenagaku mulai terkuras. Satu anak remaja tanggung melawan tujuh laki-laki dewasa, benar-benar tidak imbang.

BUGH! BUGH!

Aku tersungkur, seorang preman hendak menginjakku. Aku berguling ke samping lalu cepat-cepat bangkit. Baru saja hendak kembali memasang kuda-kuda, sebuah pukulan kembali mengenaiku. Aku kembali tersungkur, kali ini mereka sigap langsung menindih tubuhku.

UHUK!

Salah satu preman tadi menekan injakannya, membuatku terbatuk. Mereka tertawa mengelilingiku. Aku kalah, bayangan mbak Ayu yang sedang mondok melintas dipikiranku.

“Cuih! Makannya lu jangan berani nantang bos gua! Denger ya, bapak lu udah kalah taruhan, dan anak perawannya itu yang dijadiin taruhan. Jadi, lu nggak bakal bisa ngambil dia lagi, PAHAM!” aku diam.

“Cukup!”

Semua menoleh ke sumber suara. Si bos berjalan mendekat,“Nama?” tanyanya

“Lintang Seta” Jawabku tanpa rasa gentar sedikit pun, meski sedang kepayahan. Si bos tertawa, tawa yang sangat kencang. Anak buahnya kembali berkumpul di belakang bos mereka.

“Aku menyukaimu, bocah! Kau mengingatkanku pada seorang kawan lama yang mati konyol demi seseorang yang tak begitu penting.” Ucap si bos. Kedua matanya nampak sayu saat mengucapkannya walau tidak terlihat karena tertutup wajahnya yang garang.

“Baiklah, demi mengenang kematian kawan lamaku, dan demi keberanianmu yang rela berkorban demi kakakmu itu. Akan ku lepaskan kakakmu.” Ucapnya sambil tersenyum, wajahnya malah tambah terlihat mengerikan.

Aku yang sedang bersusah payah untuk duduk reflek mendongak, tak percaya dengan kalimat yang baru saja diucapkannya. Salah satu dari anak buahnya nampak tidak terima, tapi perkataan bos tidak bisa dibantah.

“Terimakasih.” Ucapku terbata.

Si bos terkekeh, “Kapan-kapan kemarilah, akan ku ceritakan kisah kawanku yang bodoh itu.”

Aku mengangguk pamit undur diri. Di perjalanan pulang tak henti-hentinya ku ucapkan rasa syukur. Entah sejak kapan air mata mulai mengalir deras di wajahku, mengenai luka yang berada di sana –perih. Luka-lukaku mulai kurasakan sakitnya, benar-benar sakit sampai rasanya mau mati. Tapi tak apa, sebentar lagi akan kususul Mbak Ayu di sana.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 180 kali

Baca Lainnya

Khifdzul Lisan

10 Oktober 2023 - 08:05 WIB

Muhammad

6 Oktober 2023 - 08:32 WIB

Muhammad

Bentuk Memuliakan Ilmu Dalam Kitab Ta’limul Muta’allim

3 Oktober 2023 - 16:09 WIB

Bapak Tidak Datang

22 September 2023 - 12:46 WIB

Purnama : Rindu Pulang

8 September 2023 - 07:12 WIB

Dinamika

25 Agustus 2023 - 13:52 WIB

santri
Trending di Literasi Santri