“Brak..!”
Sontak lelaki dengan badan jangkung dan berkepala gundul itu terkaget dari mimpinya.
“Apa sih!.”
“Halu mulu.”
“Siapa yang halu, gua tidur. Semalam ngebut nonton pertandingan Em-Yu vc Barcelona.”
“Nggak hilang-hilang kebiasaanmu sejak SMP, sadar cuy kita sekarang ada di pesantren, masih saja kebiasaan seperti itu kamu lakukan sampai berani melanggar peraturan jam malam pergi ke warnet.”
Satu bulan lalu, Roy diantar dengan paksa oleh sang kakak, Joy. Karena sang adik ketahuan nge-punk sana-sini tidak jelas.
“Nambah polusi Indonesia saja, mau jadi apa negara kita kalau generasi mudanya tidak ada yang mutu dan berkualitas.”
“Urusan gua! Kamu gak usah sok peduli dan sering nyeramahi, pengeng lama-lama ini kuping.”
“Astagfirullah, kalau kamu ketahuan lagi, aku tidak mau bantuin!.”
“Terserah, gua nggak butuh bantuan siapapun!.” Bentak Roy, sambil menatap tajam mata Bram, lawan bicara sekaligus shohib nya itu.
***
Angin malam yang menggebu kian menusuk paru-paru. Desiran ombak menghantam perahu kecil yang berjajar rapi di bibir pantai, bergelayung ke samping kanan dan kiri. Hanya angin, hantaman ombak, dan kepulan asap rokok yang mendominasi suasana serba semrawut malam itu. Ia sang tokoh utama, Roy, menyisir pantai seperti orang yang tak berselera hidup dan merasa seakan sedang menyanggah beban sedunia di pundaknya.
Ia akhirnya duduk termenung di antara hamparan pasir dan suara lolongan burung hantu. Ia mencoba mengingat kejadian satu Minggu yang lalu, tepat saat ia sudah hampir diboyongkan pengurus. Jelas itu semua terjadi karena semua pelanggaran-pelanggaran yang telah ia lakukan, terlepas karena tidak mengindahkan semua peringatan shohib nya, Bram.
Walaupun ia bandel, tak terbesit sedikitpun darinya untuk keluar dari pondoknya itu. Mungkin karena terpaan masalah sedari kecil yang membuat Roy tumbuh menjadi anak yang bebas. Itu saja sebenarnya ia tidak benar-benar bebas, karena kakaknya selalu memperhatikannya bila sang kakak, Joy co Saputra, tidak sibuk bekerja dan kuliah.
Sedari kecil, Roy tumbuh tanpa gemblengan sosok kedua orang tua. Karena bisa dikatakan, dunia yang berisi keluarganya secara utuh hanya bisa ia rasakan ketika berumur belum genap satu tahun. “Ntah bagaimana rasanya,memori itu sudah tidak ada sama sekali.” celetuk Roy.
Hembusan cerita yang pernah ia dengar dari kakek dan neneknya, memang benar apa adanya ataukah tidak. Bahwa kedua orang tuanya meninggal sebab kecelakaan saat membawanya ke rumah sakit, karena demam yang tak kunjung mereda.
“Kang saya tidak mau diboyongkan!,” Ucapnya dengan melirik beberapa keamanan pondok yang sedang mengemasi barang-barang di lokernya.
Tak ada jawaban.
“Kang aku ngomong kok nggak ada yang dengerin sih.”
“CK Kang.” Ucapnya lagi sambil mendengkus.
“Ini semua kan kamu sendiri yang kepengen to?.”
Akhirnya ada jawaban.
“Sudah ayo segera bergegas. Sudah dipesankan bentor untuk keterminal, tidak ada yang jemput. Tadi, kakakmu yang bilang ia tidak mau menjemputmu, kecewa katanya.”
“Kang, apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, jangan diboyongkan to, Kang.” Ucap Roy dengan nada memelas. Baru kali ini ada gejolak dalam batinnya, ia merasa berat sekali meninggalkan pondok ini. Padahal dalam lubuk hati yang paling dalam ia ingin segera bebas dan keluar dari lorong yang penuh aturan ini.
“Wes ora iso, iki keputusan final sangkeng Bapak.”
“CK” gerutu Roy
Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas Roy akhirnya pasrah digiring dengan beberapa kang keamanan. Beratus-ratus pasang mata tertuju padanya karena kepo dengan sang narapidana. Terdengar bisik-bisik yang tak berkesudahan.
“Pasti membicarakan kasusku kali ini.” Lirih Roy.
“Ssssttt, Abah.” Ucap salah satu santri yang sedang mutholaah kitab sembari menunggu ngaos beliau. Sontak beberapa kang keamanan, si narapidana itu sendiri dan ratusan santri menunduk dan mati kutu tidak berani berkutik lagi. Saat Romo yai Abah miyos dari ndalem menuju aula utama. Suara kursi roda yang didorong salah satu santri ndalem, menghiasi keheningan. Selang beberapa saat kemudian, langkah Roy dan para kang keamanan kembali berlanjut setelah sekian menit menunggu Abah lewat. Sampai pada akhirnya.
“Cung.” Sambil menunjuk mereka berempat
“Nggih, Bah.” Dengan tergopoh-gopoh salah satu dari kang yang menggiring Roy segera bergegas menuju arah suara berasal.
“Nggih, Bah.” Ulangnya lagi.
“Iku sopo cung?”
“Santri gedung F, Bah.” Jawab santri itu sekenanya.
“Meh mok gowo ngendi?”
“Niku piyambake badhe diboyongaken, Bah.”
“Undang Rene!“
Segera tanpa waktu lama, Roy sudah dihadapkan Abah.
“Kwe kok ameh boyongno wong seng ijeh gelem ngaji pye to cung?” Tanya Abah dengan nada sedikit menekan dan sambil melirik ke empat orang di depannya.
“Niku ngapunten, Bah, piyambake mpon beberapa kali melanggar peraturan garis merah. Mpon mboten saget ditoleran, mpon atas persetujuan sangkeng bapak.” Jawab kang Ulyan, salah satu kang keamanan.
Roy terheran bukan kepalang, hatinya bertanya-tanya, kenapa Abah sangat repot-repot menanyakan hal yang sangat sepele, terlebih mengenai sang narapidana sepertinya, sedang Abah sendiri pasti sudah jelas tahu kalau ada santri yang mau diboyongkan pastilah sudah melanggar peraturan jalur garis merah. Terlebih tanggung jawab mengenai urusan hal semacam ini sudah diberikan sepenuhnya kepada bapak, salah satu dari tujuh putra Abah, KH Nidhom Ma’mun. Abah sendiri hanya sesekali mengisi ngaos selasanan seperti tafsir jalalain, rutinan qosidah khadijah dan sesekali berbagi wejangan. Mengingat usia beliau yang tidak lagi muda, sembilan puluh tahun.
“Wes Ben Melu ngaji meneh. Nek iseh bandel, tak boyongne dewe bocahe.” Ucap Abah sambil menepuk bahu Roy.
” Nggih, Bah.” Sahut kang ulyan.
“ Ntah ini keberuntungan atau simalakama” batin Roy. Ia tak tahu harus bicara apa, upaya agar ia tak jadi diboyongkan sudah ia lakukan, namun nihil. Dan tidak disangka, bagai mimpi disiang bolong, rasanya takdir memang aneh.
“Aku harus berubah.” Tekat Roy. “Abah sudah percaya padaku.” Imbuhnya.
Hari itu, rasanya beberapa channel berita TV pindah menghinggapinya.
“Trending topik.” Keluh Roy. Kanan kiri terdengar suara bisik-bisik orang satu pondok. Sesekali ada yang menunjuk dan bahkan ada yang sampai menyindir.
“Khusnul khotimah kisahe.” Celetuk salah satu kang dari ujung lantai dua.
***
Kenalin gue “Roy co Saputra” santri gedung F, panggil aja Roy.” Paparnya sok-sokan di depan anak baru.
“Sa….sa….saya.” sambil menepuk bahunya sendiri.
“Saya Joko kang, santri baru.”
“Lu gagap?” Tanya Roy dengan terpingkal-pingkal, Roy menertawakan Lawan bicaranya itu.
“Jangan suka menertawakan kekurangan orang lain.” Ssssttt, mendadak ingatan itu muncul di benak Roy, seputar materi tentang beberapa penyakit hati yang dipaparkan salah satu ustadz di dalam kelas dua muhadaroh Diniyah. Dalam kitab minhaj al abidin.
“Eh, sorry, Jok. Tidak ada niatan ngeledek kamu.” Sambil melipat kedua tangannya, menunjukkan permintaan maaf.
” Tidak apa-apa mas, sudah biasa.” Balas Joko dengan senyum sumringah.
“Huft lega.” Tandas Roy.
***
“Sedikit ada perubahan, Kak. Alhamdulillah.” Terang seseorang dari balik telepon.
” Makasih ya Bram, kamu selalu jadi teman Roy, selalu ngertiin dia, sabar dengan semua kejengkelannya, dan sudah banyak bantu kakak.” Balas Joy.
“Santai, Kak. Kayak sama siapa saja.”
Sejak saat pertama kali Roy dipondokkan, Bramlah yang sudah diberi amanah sang kakak untuk menemani dan memantaunya, mengingat si Roy agak berbeda, bandelnya tingkat akut, Semua kasus Roy adalah sekumpulan berita yang tidak boleh luput dan wajib disampaikan pada sang kakak. Dan benar saja, dari pertama kali Roy mondok hingga sekarang belum ada teman yang menetap selain Bram.
***
Lu laporin gue lagi ke Kakak ya?, Dasar cupu!” Hardik Roy sembari memakan mendowan khas kantin. Di seberang kursinya, Bram hanya mengaduk-aduk teh hangat yang hampir dingin itu. Timpalan seperti itu sudah biasa ia dengar dari sang shohib, karena memang Roy hanya bisa meluapkan nada kasar dan bahasa yang khas hanya dengannya. Kalo tidak, ya takziran.
” Eh, dengar gak?” Ulang Roy lagi.
“Hm, apa?” Bram balik bertanya seperti tidak tahu apa-apa.
“Kamu tuh sebenarnya teman siapa sih, gue apa kakak gue?” Sambil mendengkus kesal.
Tak ada jawaban.
Sambil bersiul Bram tidak menggubris pertanyaan Roy.
“CK” gumam Roy.
“Perlu ku jawab?” Tanya Bram dengan enteng.
“Adanya gua nanya, ya butuh jawaban!” Nada suara yang semakin memekik di telinga membuat orang-orang yang berada di kantin bergantian memandang mereka berdua.
” Sekarang aku mau balik nanya, kenapa kamu tidak mengindahkan pertolongan Allah SWT melalui perantara Abah agar kau tidak jadi diboyongkan.”
“Maksudmu?.” Jawab Roy mulai serius.
“Alah, pura-pura nggak tahu.” Balas Bram mulai kesal. “Gini, langsung saja, aku sudah bilang padamu, kalau kamu ada kasus lagi, aku nggak mau bantu, nah kamu dikasih tahu saja ngeyel, dan sekarang malah nambah kasus lagi.
“Kasus apa yang kamu maksud sih, Bram?.”
“Et dah nih bocah gak ngerti-ngerti beneran apa pura-pura sih. Kasusmu yang tempo hari pergi nonton bola lagi, apa kamu gak kapok setelah digundul dan hampir diboyongkan pihak pondok. Kamu itu ya, mikir lah, Roy. Setidaknya untuk Abah yang sudah percaya dan bela-belain mertahanin kamu di sini, ntah apa yang sebenarnya Abah inginkan darimu. Tapi setidaknya hargailah. Terang Bram kesal.
Tak ada jawaban.
“Mana keberanianmu? Kenapa diam!.” Timpal Bram lagi.
Roy tertunduk lesu teringat petuah Abah saat mengisi rutinan ngaos selasanan tempo hari.
على العاقل ان يكون عارفا بزمانه مستقبلا في شانه عارفا بربه
“Manusia berakal, terlebih remaja zaman sekarang harus mengetahui keadaan di masanya, senantiasa mengetahui tugas-tugasnya dan yang paling penting adalah mengetahui Tuhannya. Seperti halnya zaman sekarang itu serba ada, dan canggih. Tidak kok malah sadar dan menggunakan semua itu pada hal-hal yang baik dan bermanfaat malah dibuat ajang bersenang-senang, dibela-belain keluar pondok buat nonton bola, contohnya. Itu kan namanya santri tidak tahu situasi dan kondisi. Buat apa coba. Kita semakin kesini harus tahu dan harus mempersiapkan tantangan zaman, namun juga diimbangi dengan pengetahuan ukhrowi yang cukup. Agar kita tetap bisa mengikuti perkembangan zaman dan menfilternya dengan pengetahuan yang pas dan tepat. Dan itu kita dapatkan hanya di pondok. Karena di akhir zaman ini tidak ada pekerjaan yang selamat selain mengaji. Sehingga antara kehidupan dunia dan akhirat seimbang. Serta hubungan dengan Sang Pencipta terjalin dengan benar dan tepat.”
“Roy.” Tegur Bram sambil menepuk shohib nya itu.
” O, iya.”
” Kenapa? Kenapa melamun?.”
“Nggak apa-apa, Bram. Kamu benar Bram aku harus berubah, dan menebus kesalahan ini dengan menjalankan ta’ziran dan meminta maaf pada Abah karena telah mengecewakannya. Bukan hanya karena Abah, tapi orang tuaku di sana pasti seneng kalau aku tidak bandel lagi dan bisa kirim do’a untuk mereka.” Jawab Roy sambil berlinang air mata.
“Alhamdulillah, itu yang namanya santri sejati.” Ucap Bram dengan terharu, sambil menepuk-nepuk bahu Roy.
Genap 16 tahun yang lalu kalian pergi
Bapak, ibu
Hati ini terlihat keras dari luar
Namun dari dalam, ku tetap seorang anak yang ingin merasakan belaian orang tua
Sekedar ingatan tentang kalian saja ku tak punya
Betapa menyedihkannya diri ini
Oh ya, aku mau bilang, Pak, Bu. Sekarang aku sudah bisa tahlil, dan kan ku hadiahkan sebagai obat rindu dariku
Anak bandel
Karya: Ana Fatimatuz Zahro’, Santri Mansajul Ulum.