Indonesia merupakan negara yang majemuk plural dengan berbagai perbedaan dan keberagaman di dalamnya. Ribuan pulau yang ada di Indonesia tak luput memberikan berbagai perbedaan yang bermacam-macam. Mulai dari suku, etnis, golongan, maupun bahasa, dan agama. Indonesia memiliki berbagai kepercayaan atau keyakinan di setiap daerah. Bahkan Indonesia sendiri telah mengakui enam agama yang tersebar dan dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Berbagai agama atau keyakinan yang terdapat di Indonesia niscaya menimbulkan berbagai problem atau masalah yang berkembang di masyarakat. Salah satunya adalah isu mengenai mayoritas dan minoritas agama. Isu seputar mayoritas dan minoritas agama boleh jadi menjadi isu yang sensitif jika dibiarkan. Sebab isu ini pasti akan berujung pada diskriminasi hingga pertikaian agama.
Dalam negara yang memiliki berbagai keberagaman, isu mengenai mayoritas dan minoritas agama timbul karena kekuasaan suatu kelompok agama yang lebih dominan dibandingkan dengan kelompok agama lain. Kelompok yang berkuasa merasa berhak untuk menuntut keistimewaan-keistimewaan tertentu (Majority Privilege) dan menganggap dirinya sebagai warga negara kelas utama. Sedangkan kelompok minoritas selalu dipandang sebagai warga negara kelas dua. Isu tersebut kebanyakan terjadi di kalangan pemeluk agama, khususnya antara kaum muslim dan nonmuslim.
Kelompok minoritas nonmuslim yang bertempat tinggal di daerah yang mayoritas muslim akan terbatasi hak, kewajiban, kesetaraan, dan kebebasan publik. Sehingga seiring berjalannya waktu kelompok minoritas akan termarginalisasi dengan adanya perbedaan perlakuan dari kelompok mayoritas. Dengan adanya hak dan kewajiban yang berbeda antara kelompok minoritas dan mayoritas tersebut muncullah berbagai bentuk dominasi. Di antaranya adalah perbudakan, rezim diskriminasi terhadap kelompok minoritas, despotisme, kapitalisme dan feodalisme.
Hal demikian justru sangat bertentangan dengan pancasila sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selain itu, bertentangan dengan konsep demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia. Di mana setiap warga negara memiliki hak, kewajiban, dan keadilan hukum yang sama dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Negara juga menjamin kebebasan penduduknya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi antar pemeluk agama.
K.H. Abdurrohman Wahid atau akrab dipanggil dengan sebutan Gus Dur, presiden Republik Indonesia kelima, bahkan pernah membebaskan pemeluk agama konghucu untuk mengembangkan ajarannya. Keyakinan konghucu yang awalnya belum diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia pada awal tahun 2001, telah disahkan oleh K.H. Abdurahman Wahid sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Hal tersebut menuai berbagai kontroversi di kalangan masyarakat. Anggapan Gus Dur yang banyak membela kaum minoritas sering dianggap salah oleh sebagian kelompok. Namun, Gus Dur membantah segala komentar tersebut dengan mengatakan.
“Kalau saya disalahkan karena membela hak orang-orang Konghuchu untuk menganggap apa yang mereka yakini sebagai agama, saya konsisten dengan perkembangan sejarah dan keputusan NU sendiri. Apakah enam ribu kiai yang pintar membaca kitab itu salah kaprah semua?”
Apa yang disampaikan gus Dur tersebut mencerminkan sikap yang ingin memperlakukan rakyat secara adil. Gus Dur juga mengajak masyarakat muslim untuk menghormati dan berlaku adil kepada siapapun termasuk umat nonmuslim dan kaum minoritas yang ada di Indonesia. Islam sendiri memiliki prinsip toleran, adil, egaliter, serta menjalin hubungan antar umat beragama bedasarkan asas kedamaian dan toleransi tanpa adanya konflik dan diskriminasi. Islam tidak memandang perbedaan sebagai penyebab dari adanya konflik. Karena seluruh perbedaan yang ada merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai mana dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Hujurat : 13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Dengan demikian isu seputar mayoritas dan minoritas agama, marginalisasi dan hegemonisasi terhadap kaum minoroitas tidak perlu dicanangkan kembali. Terlebih di era modern seperti saat ini yang menganut sistem demokrsai. Isu ini justru sangat bertolak belakang terhadap prinsip dasar sistem demokrasi yang menghargai dan mengakui kesetaraan antar manusia. Serta bertentangan terhadap prinsip dari agama Islam sendiri yakni toleransi, adil, egaliter serta menjalin hubungan antar agama melalui jalur perdamaian. Wallahu ‘Alam.
Oleh: Vicky Oktavianto, Santri Mansajul Ulum.