Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 5 Nov 2024 17:17 WIB ·

Kesetaraan Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan


 Kesetaraan Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan Perbesar

Istilah kesetaraan laki-laki dan perempuan memiliki definisi operasional sendiri. Kalangan ahli dan juga aktivis menggunakan istilah “gender”. Istilah ini mungkin baru bagi kalangan tertentu. “Gender” berasal dari bahasa Inggris. Secara literal di dalam kamus-kamus bahasa inggris, istilah ini dimaknai sebagai jenis kelamin. Namun, jenis kelamin yang dimaksud adalah jenis kelamin sosial, budaya, politik, serta keagamaan yang didasarkan pada fisik perempuan dan laki-laki. Misalnya, laki-laki menjadi pemimpin karena dia kuat fisiknya dan perempuan menjadi ibu rumah tangga karena lemah fisiknya.

Sebagai contoh ketidaksetaraan yang muncul dari adat dan tradisi, bisa kita lihat dari adat dan tradisi Jawa yang meyakini adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran sosial dan budaya mereka. Perbedaan itu muncul karena konsepsi orang Jawa tentang perempuan dan perbedaan seks merupakan faktor determinan untuk membedakan peran sosial dan budaya mereka. Dalam tradisi Jawa dikenal dengan peran “konco wingking”, di mana peran istri tidak terlepas dari tiga domain, yaitu kasur, dapur, dan sumur. Ketiga domian itu secara nyata bisa disaksikan dalam tata ruang rumah Jawa, di mana ketiganya berada di belakang.

Kesetaraan gender juga harus didukung dengan instrumen-instrumen internasional dan nasional. Seperti dalam hukum perundang-undangan. Perlu kita tahu, bahwa kesetaraan gender bukanlah kemauan orang perorang, tetapi kesepakatan publik yang dirumuskan oleh rakyat dari berbagai negara di dunia dalam dokumen penting.

Beberapa dokumen penting dunia yang berkaitan dengan hak-hak kesetaraan gender:

  1. DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

DUHAM adalah bentuk kondifikasi (pembukuan) yang merupakan hasil diskusi panjang di kalangan lembaga dan masyarakat dunia. Adapun hak-hak DUHAM antara lain adalah hak atas persamaan kebebasan keamanan setiap orang, kebebasan dari segala macam perbudakan, siksaan atu perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan, pengakuan kesetaraan di dalam hukum, kebebasan berekspresi, berkeyakinan, dan berpolitik, serta lain-lainnya.

  1. CEDAW (Convention on Ellimination of all Froms of Discriminatio Against women)

Lembaga ini didirikan untuk memonitor situasi perempuan dan menjamin hak-hak mereka. Dalam pembukuan konvensi menyatakan “the role of women in procteation should not by a basis for discrimination” artinya, perempuan dalam pro-kreasi harus tidak didominasi pada diskriminasi.

Hal penting lain yang disinggung di dalam konvensi ini adalah perluasan atas pemahaman konsep hak asasi manusia yang seolah-olah memberikan pengakuan formal atas pengaruh budaya dan tradisi yang membatasi perempuan menikmati hak-hak dasar mereka. Karena itu ditekankan bahwa harus ada perubahan atas peranan tradisional laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan keluarga untuk memperoleh kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan.

Jika kita lihat dari Undang-undang dasar negara Indonesia, tidak ada pasal yang mendiskriminasi laki-laki maupun perempuan. UUD memberikan hak dasar berupa kesetaraan ke seluruh warga negara tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, dan latar belakang lainnya. Indonesia juga memilih serangkaian peraturan yang mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Selain isu di atas, terdapat hal yang sangat dekat dengan perempuan, yaitu kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan Terhadap Perempuan adalah tindakan agresif yang menyebabkan kerusakan atau kesakitan pada seseorang, dan pada tingkat tertentu, juga terjadi pada hewan dan kekayaan. Namun, sayangnya tidak semua jenis tindak kekerasan bisa dengan mudah diekspresikan, dibicarakan, dan sekaligus menarik simpati publik. Contohnya adalah tindak kekerasan terhadap perempuan.

Hannan Najmah, seorang intelektual perempuan Islam berlatar belakang Timur Tengah, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bagian dari jenis kekerasan yang selalu didiamkan (al-maskut anhu) oleh masyarakat. Maksudnya, didiamkan karena tidak dianggap sebagai permasalahan publik. Terutama kekerasan yang terjadi di ranah domestik (KDRT). Hal ini terjadi karena adanya asumsi bahwa perempuan wajar menerima kekerasan. Berkaitan dengan posisinya sebagai anak, ibu rumah tangga, istri, dan sebagainya.

Setelah UU diresmikan pada tahun 2003, cara pandang masyarakat tentang tindak kekerasan terhadap perempuan pada ranah domestik mengalami perubahan yang signifikan. Anak perempuan atau istri yang dicederai oleh suami atau orang tua laki-laki bisa melapor ke polisi. Hal ini merupakan sebuah revolusi baik yang terjadi di Indonesia. Capaian ini tidak terlepas dari perjuangan kaum perempuan baik pada tingkat lokal maupun global.

Bentuk-bentuk kekerasan perempuan salah satunya adalah pengebirian eksisitensi perempuan. Pada era modern sekarang ini, tidak memberikan hak pendidikan anak perempuan sama dengan mematikan masa depan kehidupan mereka. Dengan tidak adanya bekal pendidikan yang mereka miliki, akan menjadikan perempuan yang sepenuhnya tergantung pada suami, orang tua, dan saudara laki-laki mereka. Menempatkan mereka dalam keadaan yang lemah dan rentan.

Bentuk lain dari kekerasan terhadap perempuan adalah praktek pernikahan dini. Hal ini dilarang oleh negara karena berpotensi sebagai alasan penyebab tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan. Misalnya penghilangan masa muda dan hak kesehatan reproduksi.

Fenomena yang patut kita syukuri akhir-akhir ini adalah semakin banyak jumlah kalangan perempuan Islam yang muncul ke permukaan untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka. Buku dan tulisan-tulisan mereka tersebar di penjuru dunia. Satu dari seribu kalangan laki-laki juga ikut andil dalam memperjuangkan perempuan.

Masdar, seorang tokoh kontroversi dalam perjuangan hak-hak perempuan di kalangan masyarakat pesantren. Masdar menulis buku kecil bertujuk Islam dan hak -hak reproduksi perempuan ,dialog fiqh pemberdayaan buku ini adalah buku awal yang fokus atas isu kesehatan reproduksi dari sudut pandang Islam.

Al-Haddad di dalam mukaddimah buku imra’atuna di asy-syari’ah wa al-mujtama’ menyampaikan kalimat yang indah untuk perempuan; “Perempuan adalah ibu manusia. Dialah yang mengandungnya di dalam perutnya, dan mendekapnya dalam pelukannya. Lalu, dialah yang menyusuinya dan memberinya makan dari darah dan hatinya.” Wallahu ‘alam.

Oleh: Tria Agustin, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 79 kali

Baca Lainnya

Apakah Utang Negara Menjadi Tanggung Jawab Warga Indonesia?

18 Februari 2025 - 16:49 WIB

Hari Valentine: Sejarah, Latar Belakang dan Hukum Merayakan

11 Februari 2025 - 17:15 WIB

Tantangan Santri dalam Menghadapi Gelombang Informasi di Dunia Maya

4 Februari 2025 - 20:06 WIB

Membangun Karakter Sehat dan Tanggung Jawab di Kalangan Santri

28 Januari 2025 - 18:49 WIB

Strategi Mitigasi Kriminalitas Keuangan

21 Januari 2025 - 17:57 WIB

Manfaat Pupuk Organik terhadap Tanah

14 Januari 2025 - 16:30 WIB

Trending di Opini Santri