Dalam sejarah pendidikan klasik hingga modern, selalu ada pergesekan antara dua metode pendidikan yang saling bertolak belakang satu sama lain. Kedua metode tersebut adalah metode pendidikan ala kaum Sofis dan metode pendidikan Dialektis.
Pendidikan Sofis, secara linguistik tersusun dari dua kata, yaitu kata “Pendidikan” dan “Sofis”. Pendidikan merupakan proses membantu siswa dalam belajar secara efektif. Sedangkan Sofis sendiri merupakan serapan kata dari bahasa Yunani, yakni Shopistes. Secara etimologi, kata tersebut memiliki arti orang yang bijaksana atau orang yang pintar. Sedangkan pendidikan Sofis secara istilah yang dimaksud di sini adalah: suatu metode pendidikan yang disusun dan digunakan oleh kaum Sofis.
Kaum Sofis, merupakan sekelompok orang di Athena yang hidup disekitar abad 5-4 SM, mereka dikenal sebagai orang yang berpendidikan, ahli retorika dan cakap dalam memberikan makul (mata kuliah). Mereka dikenal suka memanfaatkan kapabilitas pengetahuanya untuk menarif harga setiap makul yang telah disampaikan.
Adapun spesifikasi metode pendidikan yang digagas oleh kaum Sofis dikenal dengan metode monolog (percakapan yang disampaikan oleh satu orang) dan pengajaranya dilakukan dengan cara diskursus parade, yaitu teknik berpidato yang ditujukan untuk mempersuasi audien. Oleh karena itu, dalam pendidikan Sofis hanya ada satu speaker saja di dalam kelas, yakni guru. Sedangkan murid tidak lebih hanya diposisikan sebagai objek yang menerima informasi saja. Sehingga kondisi tersebut akan memberikan suatu gambaran kelas di mana guru aktif dalam menyampaikan materi, sedangkan murid pasif dalam berfikir. Lantaran mereka hanya dapat menerima informasi dari satu speaker, dan mereka juga tidak memiliki space untuk berpendapat atau pun memberikan feedback.
Sedangkan, metode pendidikan dialektis, merupakan suatu metode pendidikan yang digagas oleh salah-satu filsuf besar Athena. Yakni Socrates ( 470-399 SM ) dan kemudian diteruskan oleh muridnya Plato ( 428-348 SM ). Secara linguistik, dialektika merupakan kata serapan dari bahasa Yunani “Dialegesthai “ bermakna berdialog atau bercakap-cakap. Metode ini tentu sangat bertolak belakang apabila kita komparasikan dengan metode kaum Sofis, lantaran metode pendidikan dialektis lebih menekankan keaktifan dialog antara guru dan murid, atau bahasa mudahnya adalah pengajaran melalui diskusi. Sehingga keadaan semacam ini akan memberikan keaktifan antara guru dan murid dalam berpikir. Serta membuat ruang kelas menjadi lebih aktif dan interaktif.
Di abad ke 21 ini, dua gaya pendidikan tersebut sekarang telah berkembang dengan varian nama yang berbeda-beda serta perseteruan antara keduanya pun masih terasa hingga sekarang, termasuk di Indonesia sekalipun. Hal itu dapat kita lihat dari perbedaan corak antara gaya pendidikan di perguruan tinggi dan gaya pendidikan di lembaga-lembaga konservatif yang ada di Indonesia.
Perseteruan ini tidak cukup berhenti di sini, tetapi juga melahirkan jual beli serangan komentar dan kritik antara keduanya. Hal itu dapat dibuktikan dengan komentar para pakar pendidikan atas kedua metode tersebut. Bagi kelompok kontra metode Sofis, seperti Paulo Freire ( Pakar pendidikan asal Brasil ) dan Muhammad Abduh ( Reformis Islam & pengajar Universitas Al-Azhar, Mesir ), mereka mengkritik keras metode kaum Sofis. Lantaran cara pendidikan semacam ini sama saja kita akan membatasi siswa untuk mengembangkan pikiranya. Sebab mereka dituntut untuk taqlid buta atas informasi yang ada, tanpa diberi ruang untuk berdialog.
Hal serupa pun dilakukan oleh kelompok kontra metode dialektis. Metode ini secara general biasanya dimotori oleh kelompok-kelompok konservatisme yang memposisikan pemahaman etika di atas pengetahuan. Mereka juga melontarkan kritik kepada metode Sofis yang dikira terlalu liberal dalam hal memberikan kebebasan dalam berpikir, serta metode ini juga dikhawatirkan akan menghilangkan nilai-nilai etika antara guru dan murid. Sebab kebebasan berdialektika yang tajam secara tidak sengaja juga akan melunturkan nilai-nilai etisisme siswa terhadap guru.
Pada analisis akhir, kedua metode pendidikan baik Sofis maupun dialektis sebenarnya sama-sama memilki value plus dan minus. Hal itu dapat dipahami dari lontaran kritik yang bersalingan di antara keduanya. Namun, di negara Indonesia ini, kita memiliki kultur yang sama sekali berbeda dengan kultur orang barat. Karena kita memiliki karakteristik yang sangat kental berkaitan dengan beretika kepada yang lebih tua.
Tapi di sisi lain, dalam dunia pendidikan, murid juga butuh penalaran kritis guna mengembangkan suatu pemikiran. Oleh karena itu, hemat penulis, alangkah baiknya apabila kita mengambil sisi positif antara metode Sofis dan Dialektis, di mana terdapat sebuah sistem pendidikan yang memberikan dialektika, dan critical thinking tetapi juga dibarengi dengan nilai-nilai etisisme dalam dialektika yang menjaga hubungan antara guru dan murid. Sehingga murid dapat berkembang, tetapi di sisi lain juga menjaga nilai-nilai etisime yang ada. Wallahu ‘alam.
Oleh: Ahmad Ainun Niam, Redaktur EM-YU.
Daftar pustaka:
- Gaarder, Joestin, Dunia Shopie, Mizan.
- Kamaluddin, Undang Ahmad, Filsafat Manusia, Penerbit Pustaka Setia.
- Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal, Filsafat Ilmu, Pustaka pelajar.
- Burhani MS & Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Lintas media Jombang.
- Abdurrochman Assegaf & Suyadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat.Gama Media
- https://www.britannica.com/topic/Sophist-philosophy