Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 8 Apr 2025 15:16 WIB ·

Mengulik Keunikan “Bodo Kupat”: Tradisi Lebaran Masyarakat Jawa


 Sumber: id.pinterest.com. Perbesar

Sumber: id.pinterest.com.

Lebaran Ketupat atau dalam frasa Jawa disebut bodo kupat atau kupatan, merupakan salah satu tradisi unik yang sudah membudaya di belahan daerah khususnya Jawa. Ketupat ini bahkan menjadi ikon perayaan hari raya Islam. Tak kalah dengan pamor lontong yang juga menjadi makanan khas lebaran, tepatnya tanggal 7 Syawal. Seperti julukannya yaitu “Lebaran Ketupat”, masyarakat meramaikannya dengan membuat Ketupat. Hal inilah yang menjadi asal muasal istilah bodo kupat atau bodo cilik. Meskipun ada pula menu lepet yang mendampingi ketupat, jamak masyarakat yang menamakannya dengan bodo kupat.

Hakikatnya, lebaran merupakan suatu kemenangan umat Islam karena telah menahan nafsu dan godaan. Lantas, apa yang dirayakan dari lebaran ketupat ini? Apakah lebaran ini suatu tradisi atau syariat Nabi? Sebelum penulis menjawabnya, akan lebih menarik jika kita menilik makna filosofis makanan khas Indonesia ini.

Filosofi Ketupat dan Lepet

Ketupat merupakan suatu makanan yang terbuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa muda atau janur. Ketupat sendiri dibentuk dengan berbagai macam. Salah satunya adalah berbentuk persegi. Dengan bentuk dasar persegi inilah, banyak literatur yang menyatakan bahwa kupat merupakan akronim dari laKU paPAT yaitu puasa ramadan, shalat tarawih, zakat, dan shalat Idul Fitri.

Sebenarnya, terdapat ragam pendapat terkait makna ketupat.  Melansir dari laman PATINEWS.com, ada pendapat yang mengatakan bahwa kupat berasal dari singkatan dari frasa berbahasa jawa yaitu “ngaku lepat’ yang berarti mengakui kesalahan. Pendapat ini mengusung konsep idul fitri yaitu saling bermaafan dengan sesama muslim. Tidak ada salahnya jika kita mengakui kesalahan. Bahkan MCcloy John pernah berkata, “Mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan merupakan bentuk tertinggi penghormatan atas diri sendiri.” (Kompasiana.com)

Namun, marak pula yang mengasalkan kata kupat dari bahasa Arab “kafa atau kuffat” yang dimaknai kesempurnaan, dalam arti kembalinya manusia kepada fitrah saat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Akan tetapi, tafsir ini menuai kontra sebab dalam naskah-naskah kuno seperti Kakawin Kresnayana (abad IX) dan Kidung Sri Tanjung (abad XIV-XV), istilah “kupat” telah disebutkan. Ini menunjukkan bahwa ketupat sudah ada sebelum pengaruh Islam masuk ke Nusantara.

Sementara itu, bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Sedangkan beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya (Idul Fitri).

Berbeda bentuk dengan ketupat,  lepet terbuat dari campuran beras ketan dan kelapa dengan bentuk memanjang dan diikat dengan bilahan bambu. Lepet sendiri merupakan kependekan kata “silep kang rapat” yang berarti menutup rapat kesalahan di masa lalu.

Sejarah Bodo Kupat

Tradisi Kupatan menurut jejak sejarah diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-16 M, tepatnya pada masa Kesultanan Demak dipimpin oleh Raden Fatah. Terlepas dari ragam filosofi ketupat dan lepet, Bodo kupat ini merupakan bentuk ekspresi spiritual yang berhasil ditradisikan Sunan Kalijaga dalam masyarakat. Bodo cilik ini menjadi salah satu strategi dakwah Sunah Kalijaga yang menjadikan beragama tidaklah bersifat statis. Namun membuatnya selalu hidup karena bersinergi dengan situasi, kondisi, dan sosio-cultural masyarakat

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lebaran ketupat bukanlah berakar dari zaman Nabi Muhammad SAW. Namun merupakan tradisi yang sudah mengakar kuat di masyarakat.

Esensi Bodo Kupat

Berbeda dengan Lebaran Idul Fitri yang menyemarakkan purnanya puasa Ramadan, Bodo Kupat ini merayakan tuntasnya puasa enam hari yang dilakukan pada bulan Syawal. Puasa enam hari ini dianjurkan oleh nabi muhammad SAW. karena keutamaannya. Bahkan pahala puasa ini dihitung seperti halnya puasa 1 tahun. Hal ini termaktub dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ اتَّبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya: Siapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari dibulan syawal, maka yang demikian itu seolah-olah berpuasa sepanjang tahun.”

Dalam laman Jaringan Santri, ditulis bahwa Ibu Majah dan Al-Darimi dalam sunannya mengutip hadist riwayat Tsauban menjelaskan hitungan matematis yang didasarkan pada ayat berikut.

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ اَمْثَالِهَا

Artinya:Barangsiapa melakukan amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat dari amalnya.” (QS. Al-An’am: 160)

Puasa merupakan suatu amal yang baik. Dengan demikian diketahui bahwa puasa ramadan setara dengan 10 bulan, sedangkan puasa enam hari bulan syawal setara dengan puasa 2 bulan. Sehingga ketika ditotal mendapat pahala puasa satu tahun penuh.

Hukum puasa enam hari di bulan syawal ini adalah sunnah. Umat Islam dapat mempraktikkannya dengan puasa secara berturut-turut maupun terpisah selama masih dibulan Syawal. Akan tetapi, dalam buku Daqu Method dalam Tinjauan Pendidikan Islam karya Tarmizi As-Shidiq, dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i dan Imam An-Nawawi, puasa Syawal paling utama jika dikerjakan selama enam hari berturut-turut di awal bulan Syawal. Yaitu dimulai dari hari ke-2 hingga ke-7 bulan syawal.

Sangat disayangkan, jika ditelisik lebih jauh terdapat umat muslim yang justru lebih memfokuskan lebarannya tanpa menghiraukan puasanya. Bagai ketupat tanpa isi atau hampa, orang yang melakukan lebaran tanpa puasa maka akan merayakan tanpa keutamaan pahala puasa itu sendiri.

Meskipun puasa ini termasuk amalan sunnah, alangkah baiknya kita tetap menyemarakkan bodo kupat dengan puasa enam hari dibulan Syawal. Tentunya, sebagai bangsa Indonesia kita harus tetap mempertahankan tradisi bodo kupat beserta puasanya agar tidak tergerus zaman. Dengan begitu di samping dapat melestarikan budaya, kita juga dapat menyempurnakan ibadah puasa ramadhan kita sebelumnya.  Insyaallah. Wallahu ‘alam.

Oleh: Dyasahrin Khaszahra, Redaktur EM-YU.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 61 kali

Baca Lainnya

Tindak Kekerasan di dalam Pesantren, Kenapa Bisa?

6 Mei 2025 - 09:49 WIB

Memanfaatkan Game Sebagai Pendorong dalam Proses Belajar

29 April 2025 - 11:37 WIB

R.A. Kartini: Seorang Ningrat yang Merakyat

22 April 2025 - 07:29 WIB

Musik dalam Pandangan Islam 

15 April 2025 - 17:28 WIB

Degradasi Moral di Era Digital: Faktor dan Cara Mengatasinya

1 April 2025 - 15:23 WIB

Penaklukan Konstantinopel: Taktik dan Pengaruhnya

25 Maret 2025 - 14:11 WIB

Trending di Opini Santri