Menu

Mode Gelap

Opini Santri · 4 Jun 2024 13:10 WIB ·

Menyikapi Problem Kemiskinan di Indonesia


 Menyikapi Problem Kemiskinan di Indonesia Perbesar

Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa merupakan sebuah perjalanan panjang dan melelahkan setelah 78 tahun silam mengumandangkan kemerdekaannya. Dengan waktu yang lama tersebut pergantian suatu kepemimpinan serta kabinetnya niscaya akan sering terjadi. Melalui berbagai model kepemimpinan yang ada pasti tak luput dari program-program yang mereka usung serta ide-ide terobosan dengan tujuan sama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Salah satu metode yang diusulkan oleh pakar ekonomi guna menciptakan kesejahteraan rakyat selain mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan adalah mengentaskan problematika kemiskinan.

Demi tercapainya tujuan tersebut berbagai program, gagasan serta ide telah dilaksanakan oleh pemerintah. Mulai dari Bansos (bantuan sosial), BLT (Bantuan Langsung Tunai) hingga kartu kesejahteraan sosial. Namun realitanya tingkat penurunan kemiskinan di Indonesia bergerak sangat lambat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun sepuluh tahun terakhir tingkat kemiskinan hanya menurun sekitar 2 poin persen atau sekitar 0,2 persen per tahun. Apabila kasus ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan, maka dapat dipastikan penurunan angka kemiskinan di Indonesia mustahil dapat terjadi. 

Dengan demikian, kesejahteraan rakyat terkendala dalam pelaksanaannya. Hal ini akan menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia untuk mengusung cita-cita Indonesia Emas pada tahun 2045. Karena pada tahun tersebut, ditargetkan Indonesia akan menjadi negara maju. Padahal, istilah “Negara Maju” adalah julukan bagi sebuah negara yang mempunyai kekuatan ekonomi yang maju, kualitas hidup, dan pendapatan per kapita yang tinggi.

Perlu kita ketahui, akar masalah dari isu kemiskinan di Indonesia sendiri sangat kompleks. Sehingga problem-problem yang ada perlu dikaji satu persatu agar penurunan angka kemiskinan dapat terealisasi. Seperti rata-rata penduduk miskin di Indonesia merupakan pekerja di sektor pertanian, informal, dengan pendidikan kepala keluarga SMP sederajat ke bawah. Terlebih kawasan penduduk miskin identik dengan daerah yang terasingkan, termarginalisasi, dengan kondisi lingkungan yang kumuh. Selain fakta-fakta di atas, akar masalah dalam isu kemiskinan terletak pada pihak pelaksana program pengentasan kemiskinan, kondisi kemandirian penduduk miskin serta kurangnya stabilitas harga barang pokok dalam negeri.

Korupsi

Seiring berjalannya waktu pemerintah dari masa ke masa dibantu pakar-pakar di bidangnya tentu telah mengamati dan mendeteksi akar permasalahan kemiskinan secara komprehensif. Sayangnya, konsep hingga program yang diusung dan telah dilaksanakan masih belum mampu menuntaskan angka kemiskinan hingga saat ini. Faktanya juga penurunan angka kemiskinan selama satu dekade terakhir relatif lambat. Oleh sebab itu, kemungkinan besar akar permasalahan mendasar terletak pada bagaimana keberlangsungan pelaksanaan program.

Menteri keuangan, Sri Mulyani Indrawati pernah membeberkan praktik oknum pemerintah daerah (pemda) berupa pemalsuan data penerima bantuan sosial untuk kepentingan tertentu. Manipulasi data tersebut dilakukan dengan cara memasukkan nama kerabat, sanak saudara atau tim pendukung dan tim suksesnya ke dalam data penerima bansos. Bagaimana mungkin angka kemiskinan bisa menurun jika penerima bantuan bukan mereka yang benar-benar miskin?

Sepintas kita lihat, korupsi demikian mungkin bernilai sangat kecil bahkan tidak diketahui dari pada praktik-praktik korupsi yang pernah dilakukan oleh para pejabat negara. Namun demikian, dampak yang terjadi sangatlah berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup para penduduk miskin serta berpengaruh pada hasil akhir dari program pengentasan kemiskinan itu sendiri. 

Ketergantungan Penduduk Miskin

Menurut data Susenas (Survei sosial ekonomi nasional), penduduk miskin yang menerima bansos kebanyakan tidak mengubah pola konsumsinya. Seperti, antara Maret 2021 dan Maret 2022, peningkatan pola konsumsi penduduk miskin penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sama dengan bukan penerima PKH, yakni sekitar Rp.29.000. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang diterima penduduk miskin menyebabkan meningkatnya pola konsumsi sehingga bantuan yang ada dapat menambah nilai pengeluaran konsumsi rumah tangga melewati garis kemiskinan.

Selain itu, ketika keluarga miskin mendapatkan bantuan-bantuan subsidi dari pemerintah alih-alih menjadi modal usaha guna mengeluarkan mereka dari tekanan kemiskinan, justru yang terjadi adalah ketergantungan penduduk miskin terhadap ulur tangan pemerintah. Lebih parah lagi, ketika pola pikir buruk ini tetap dilakukan tentu sangat berdampak pada semakin minimnya penduduk miskin yang dapat keluar dari kubangan kemiskinan.

Fluktuasi Harga Barang Pokok

Dengan adanya pola konsumsi yang meningkat dari penduduk miskin niscaya perlu adanya kestabilan nilai harga jual barang. Karena harga bahan pokok mempunyai dampak dalam meningkatkan nilai garis kemiskinan. Umumnya pola konsumsi masyarakat miskin ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok. Mengingat pendapatan mereka yang relatif rendah, maka pola konsumsi harus disesuaikan dengan harga. Ketika nilai jual barang mengalami peningkatan, mau tidak mau kuantitas barang juga harus terkurangi menyesuaikan pendapatan. Dengan demikian, kesejahteraan mereka akan semakin menurun. 

Isu kemiskinan merupakan isu primadona. Tak luput jika capres-cawapres Indonesia tahun 2024 juga menjadikan isu kemiskinan sebagai program prioritas. Terbukti masing-masing dari ketiga kandidat memasang target yang fantastis dalam menyikapi penurunan angka kemiskinan tersebut. Pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar misalnya, ingin menurunkan angka kemiskinan yang semula 9,36 persen per Maret 2023 menjadi 4-5 persen pada tahun 2029. Target yang lebih ekstrem dipatok oleh pasangan Ganjar Pranowo-Mahfudh MD, dengan penurunan sebesar 2,5 persen pada 2029. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Griban Rakabuming Raka tidak terlalu ambisius dalam menentukan target, yakni hanya 6 persen pada tahun 2029.

Memasang target yang ambisius bagi kontingen pemilu dalam menyikapi penurunan angka kemiskinan boleh boleh saja dilakukan. Akan tetapi persoalannya adalah inovasi dan program apa yang hendak dikembangkan dan dilaksanakan guna tercapainya target tersebut pada masa kepemimpinannya. Sebab semakin tinggi target yang dipatok, program yang ditawarkan juga harus sepadan. Seperti yang kita ketahui, bahwa penurunan angka kemiskinan pada 10 tahun terakhir tidak sampai angka 1%, sehingga perlu adanya terobosan-terobosan progam yang lebih inovatif sehingga mampu menyelesaikan akar permasalahan dari isu kemiskinan tersebut.

Dari poin-poin yang telah diuraikan di atas, solusi yang dapat diterapkan selain mengagendakan program-progam pemerintah tersebut adalah bagaimana komitmen para pelaksana dalam melaksanakan program-program untuk menuntaskan kemiskinan serta berjanji untuk menghapuskan perilaku koruptif samar tersebut. Selain itu, menjaga kestabilan harga barang juga perlu terlaksana, terlebih harga barang pokok, terutama beras. Selain itu, terdapat hal penting lainnya, yaitu menghapus sifat ketergantungan penduduk miskin terhadap bantuan subsidi dari pemerintah melalui aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung menyentuh kebutuhan mereka.

MA. Sahal Mahfudh, dalam bukunya “Nuansa Fiqih Sosial” juga mengutarakan pendapat yang selaras. Hanya saja dalam bukunya beliau menanggapi masalah zakat yang kurang profesional sehingga program tersebut belum dapat mengatasi permasalahan kemiskinan secara signifikan. Beliau mengatakan “Karena gerakan sporadis dan tidak dikelola dengan baik, akhirnya fakir miskin cenderung menjadi orang yang thama’. Maksud saya, pengembangan masyarakat miskin tidak begitu carannya. Kita jangan memberi ikan terus menerus, tapi juga harus memberi kailnya. Tetapi dengan memberi kail tentu saja tidak cukup, karena mereka harus juga diberitahu cara mengail yang baik, lahan yang baik dan bagaimana ia dapat menggunakan kail untuk mendapatkan ikan”.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa selain memberikan bantuan subsidi berupa modal, pemerintah juga harus memberdayakan penduduk miskin dengan menyediakan sarana bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan dan meyakinkan kepada mereka agar tidak selalu tergantung terhadap bantuan subsidi pemerintah serta berusaha mengoptimalkan kemampuan yang mereka miliki.

Oleh: Vicky Oktavianto, Santri Mansajul Ulum.

Tulis Komentar
Artikel ini telah dibaca 117 kali

Baca Lainnya

Pentingnya Nilai Moral dalam Pendidikan

17 September 2024 - 19:46 WIB

Cantik dari Dalam atau Cantik dari Luar?

10 September 2024 - 19:03 WIB

Peran Negara Lain dalam Kemerdekaan Indonesia di Kancah Internasional

3 September 2024 - 10:47 WIB

Gotong Royong dalam Perspektif Islam

27 Agustus 2024 - 11:19 WIB

Pondok Pesantren: Konsep, Sejarah dan Urgensinya

20 Agustus 2024 - 16:51 WIB

Jangan Berteman dengan Rokok!

13 Agustus 2024 - 08:49 WIB

Trending di Opini Santri